Mencermati Revisi Mematikan KPK



(Dok. geotime.co.id)

Sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dipelopori oleh Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F PDIP) mengajukan inisiatif untuk merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Tak tanggung-tanggung, dalam draf revisi UU KPK yang diusung kali ini tak hanya mengandung skenario pelemahan terhadap KPK saja. Namun lebih dari itu, karena dalam draf RUU yang diusung mengandung skenario untuk mematikan komisi antirasuah tersebut. Realitas itu tercermin jelas pada Pasal 5 draf revisi UU KPK yang secara spesifik menyebutkan bahwa KPK dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak UU KPK diundangkan. Pun demikian pada Pasal 73 yang secara tegas menyebutkan bahwa UU KPK mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan berakhir setelah 12 tahun sejak diundangkan. Dengan demikian, setelah lewat masa 12 tahun sejak diundangkan, baik KPK maupun UU KPK akan dianggap sudah tidak ada lagi.
Nahasnya lagi, sebelum sampai pada tahap mematikan KPK, usulan pemretelan kewenangan-kewenangan KPK seperti yang lazim direncanakan oleh anggota dewan tak luput juga untuk dilakukan. Semisal terkait penanganan perkara, dalam draf revisi UU KPK yang baru dinyatakan bahwa KPK hanya diizinkan untuk mengangani perkara yang menyebabkan kerugian negara paling sedikit Rp 50 miliar (Pasal 13 huruf b). Sementara, apabila KPK telah melakukan penyidikan dan ditemukan kerugian negara di bawah Rp 50 miliar, maka KPK wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan kepada polisi dan kejaksaan (Pasal 13 huruf c). Padahal dalam UU KPK saat ini, batasan kerugian negara pada perkara korupsi yang dapat ditangani KPK hanya sebesar Rp 1 miliar. Dengan menaikkan batas kerugian negara hingga 50 kali lipat, maka jelas motivasi di balik inisiatif revisi UU KPK kali ini ialah agar KPK tidak leluasa dalam menangani perkara-perkara korupsi, utamanya yang melibatkan anggota dewan.

Mengkritisi Kinerja “Mandul” MKD


(Dok. merdeka.com)

Kinerja Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) belakangan ini menjadi sorotan publik pasca dilaporkannya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto, Wakil Ketua DPR Fadli Zon, dan sejumlah anggota DPR lainnya yang turut menghadiri kampanye politik bakal calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump. Tak sedikit publik yang menilai bahwa MKD tidak akan sanggup berbuat banyak untuk menangani dugaan pelanggaran kode etik yang melibatkan unsur pimpinan DPR tersebut. Penilaian mayoritas publik terhadap MKD tersebut bukan tanpa alasan, sebab sudah menjadi rahasia umum bila kinerja MKD selama ini memang terkesan “mandul”. Realitas tersebut dapat dilihat dari lambatnya penanganan setiap kasus dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota dewan, baik terkait perkara pengaduan maupun perkara tanpa pengaduan.

Menyoal Indeks Persepsi Korupsi



(Dok. aticle.wn.com)

Bandung menjadi kota dengan indeks persepsi korupsi (IPK) terendah dari 11 kota yang menjadi sasaran survei Transparency International Indonesia (TII) tahun. Dari skala IPK 0 sampai 100 (0 berarti sangat korup dan 100 berarti sangat bersih),  Bandung hanya mendapatkan skor 39. Itu artinya, Bandung dipersepsikan menjadi salah satu kota yang paling korup di negeri ini. Sementara itu, tiga kota dengan IPK tertinggi yang artinya dipersepsikan menjadi kota paling bersih (baca: tidak korup) secara berturur-turut diduduki oleh Banjarmasin (skor 68), Surabaya (skor 65) dan Semarang (skor 60). Terlepas dari itu semua, secara keseluruhan efektivitas pemberantasan korupsi di daerah yang dipimpin oleh Ridwan Kamil itu tetap dapat dikatakan meningkat. Paling tidak ada dua indikator utama yang dapat dijadikan pijakan.
Pertama, IPK Bandung masih berada di atas IPK nasional yang sebelumya telah dirilis secara global oleh Transparency International (TI) pada tahun 2014 lalu. Dalam rilis TI tersebut, skor IPK Indonesia adalah 34. Walhasil, Indonesia berada pada posisi ke 117 dari total 175 negara yang disurvei. Kedua, IPK Bandung mengalami peningkatan sebesar 7 poin dari IPK periode tahun sebelumnya. Mafhum disadari, dalam rilis IPK tahun 2014 Bandung hanya memperoleh skor 32, sedangkan dalam rilis IPK tahun 2015 ini Bandung memperoleh skor 39 dari TII. Maka sekalipun dari sisi peringkat hasil survei TII tahun 2015 Bandung berada pada posisi paling buncit, akan tetapi secara nyata dapat dilihat bahwa telah terjadi perbaikan terhadap pemberantasan korupsinya.

Ngampet Ngelih



(Dok. www.solopos.com)

Hari minggu lalu (13/9) bisa jadi merupakan salah satu hari yang paling sibuk buat Koplo. Pasalnya, banyak tetangga yang sudah janjian dengan Koplo meminta tolong untuk diangkutkan barang-barangnya. Salah satunya Tom Gembus, beliau meminta tolong diangkutkan pelbagai keperluan untuk hajatan 2 tahun kematian Ayah mertuanya ke Klaten. Karena jadwal di pagi hari sudah penuh, maka Koplo menyanggupi untuk mengangkut barang-barangnya itu siang hari sehabis shalat dzuhur. Nahasnya, menjelang shalat dzuhur ternyata Koplo belum dapat menyelesaikan mengangkut barang-barang milik tetangga yang lain. Sementara itu, Koplo juga belum sempat makan siang. Untuk menghemat waktu, akhirnya Koplo memutuskan untuk membeli nasi bungkus saja. Rencananya ketika Tom Gembus menaikkan barang-barangnya ke kendaraan angkut, Koplo akan makan nasi bungkus itu terlebih dahulu.

Izin Presiden dalam Pemeriksaan Anggota Dewan


(Dok. ngaler-ngidul.blogspot.com)

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi atas Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang diajukan oleh Supriyadi Widodo E dan Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana. Dalam amar putusannya, Ketua MK Arief Hidayat menyatakan bahwa frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)” dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 diubah menjadi “persetujuan tertulis dari presiden”. Itu berarti, terhadap anggota dewan yang diduga melakukan pelanggaran pidana umum, aparat penegak hukum mesti meminta izin tertulis kepada presiden sebelum melakukan pemeriksaan. Walhasil, keputusan MK tersebut menuai polemik di aras publik. Terlebih lagi, baik Supriyadi Widodo E maupun Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana yang menjadi pemohon atas uji materi tersebut sejatinya menginginkan keseteraan di depan hukum. Dengan kata lain, pemohon bermaksud untuk menggugurkan ketentuan Pasal 245 ayat (1) UU MD3, bukan malah hanya mengubah mekanismenya saja.
Nahasnya lagi, jika dicermati amar putusan MK terhadap uji materi Pasal 245 ayat (1) UU MD tersebut justru menimbulkan kerancuan hukum. Pasalnya, terhadap ketentuan Pasal 245 ayat (2) yang notabene merupakan penegasan ayat (1) pasal tersebut MK tidak melakukan melakukan perubahan apapun. Pasal 245 ayat (2) berbunyi, “Dalam  hal  persetujuan  tertulis  sebagaimana  dimaksud pada  ayat  (1)  tidak  diberikan  oleh  MKD  paling  lama  30  hari terhitung  sejak  diterimanya  permohonan,  pemanggilan, dan  permintaan  keterangan  untuk  penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan”. Dengan demikian, sejatinya kewenangan MKD untuk memberikan izin pemeriksaan kepada aparat penegak hukum masih tetap ada. Pun demikian dengan ketentuan Pasal 224 ayat (6) dan ayat (7) UU MD3, tidak dilakukan perubahan oleh MK meskipun pada dasarnya ketentuan ayat (6) dan ayat (7) tersebut merupakan penegasan dari ketentuan Pasal 224 ayat (5) perihal permintaan izin pemeriksaan anggota dewan kepada MKD.

Tunjangan para Wakil Rakyat


(Dok. medan.tribunnews.com)

Sudah menjadi rahasia umum bila di periode awal Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi-JK) kondisi perekonomian nasional sedang mengalami perlambatan. Hal tersebut diakui sendiri oleh Presiden Jokowi, hanya saja presiden memberikan penekanan bahwa perekonomian Indonesia tidak mengalami krisis sebagaimana yang pernah terjadi di tahun 1998 silam. Dari perspektif makro paling tidak itu bisa dilihat dari menurunnya angka pertumbuhan ekonomi negara ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat angka pertumbuhan ekonomi nasional menurun, yakni dari 5,1 persen pada triwulan IV tahun 2014 menjadi hanya sebesar 4,1 persen pada triwulan I tahun 2015. Dampaknya, pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi secara masif di beberapa daerah. Mengutip pernyataan Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri hingga akhir Agustus 2015 angka PHK sudah menyentuh 26 ribu pekerja dari potensi PHK yang mencapai 30 ribu pekerja.
Di samping itu, perlambatan ekonomi nasional juga berimbas pada menurunnya daya beli masyarakat, meningkatnya ketimpangan pendapatan (koefisien gini), dan meningkatnya jumlah penduduk miskin. Pada titik ini, sulit dipungkiri bila kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah (lower middle class) menjadi lebih sulit. Nahasnya, di tengah kondisi mayoritas masyarakat yang demikian, Pemerintahan Jokowi-JK melalui Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang PS Brodjonegoro justru menyetujui usulan kenaikan tunjangan yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Persetujuan tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan (SK) Menkeu Nomor S.520/MK.02/2015 perihal Persetujuan Prinsip tentang Kenaikan Indeks Tunjangan Kehormatan, Tunjangan Komunikasi Intensif, Tunjangan Peningkatan Fungsi Pengawasan dan Anggaran, serta Bantuan Langganan Listrik dan Telepon bagi Anggota DPR.

Ancaman Kriminalisasi Pembuat Kebijakan


(Dok. legacyinwords.wodprss.com)

Instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada seluruh penegak hukum untuk tidak mudah mengkriminalisasikan para pembuat kebijakan, baik pada tataran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah patut diapresiasi. Dalam jangka pendek, paling tidak hal tersebut akan dapat berkontribusi positif pada perbaikan perekonomian nasional. Terlebih lagi, pada saat ini perekonomian nasional tengah mendapatkan tekanan bertubi-tubi, mulai dari terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar amerika serikat (U$ D), rendahnya daya beli masyarakat, hingga melambatnya penyaluran kredit perbankan. Maka, dengan adanya instruksi presiden tersebut diharapkan para pejabat tidak lagi khawatir untuk bertindak cepat dalam membuat atau pun mengeksekusi sebuah kebijakan. Dengan demikian, penyerapan anggaran akan dapat berjalan lebih optimal.
Dalam konteks saat ini, optimalisasi penyerapan anggaran menjadi penting dilakukan tidak semata-mata hanya agar ketentuan konstitusi (baca: APBN/APBD) terpenuhi. Akan tetapi, penting pula dilakukan untuk memitigasi pelemahan di sektor ekonomi yang diprediksi masih akan terus terjadi. Dengan tingginya tingkat penyerapan anggaran, maka paling tidak pelemahan di sektor ekonomi yang diakibatkan oleh faktor-faktor internal (dalam negeri) dapat ditekan seminimal mungkin. Di sisi lain, perlu dipahami bahwa instruksi presiden untuk tidak mengkriminalisasi pembuat kebijakan bukan dimaksudkan untuk menghambat pemberantasan korupsi. Itulah sebabnya, bila dalam kebijakan yang dibuat tetap ditemukan motif buruk (mens rea), pembayaran kembali (kick back), atau suap (bribery), maka aparat penegak hukum tidak perlu ragu untuk mempidanakan pejabat bersangkutan.

Salah Lokasi



(Dok. gaul.solopos.com)
Kisah ini terjadi beberapa bulan lalu ketika masa tahun ajaran di sekolah-sekolah akan berakhir. Jon Koplo mendapatkan pesanan dari salah seorang wali murid taman kanak-kanan (TK) di daerah Pleret untuk menyewa panggung pentas miliknya. Rencananya, panggung itu akan digunakan oleh para siswa-siswi di TK itu untuk pentas seni acara perpisahan. Karena Koplo sedang mempunyai acara keluarga sendiri, maka Koplo pun menghubungi Tom Gembus untuk membantu mengangkut sekaligus memasang panggung pentas itu. Singkat cerita, Gembus kemudian ke tempat Koplo menaikkan bagian-bagian panggung ke dalam colt t milik Gembus. Selanjutnya Gembus berangkat menuju ke lokasi TK yang dimaksud Koplo.

Tahu Tempe Gratis


(Dok. jogja.solopos.com)

Suatu pagi, Jon Koplo berangkat bersama Tom Gembus menuju lahan melon bersama-sama. Di tengah perjalanan, Gembus meminta berhenti di warung terlebih dahulu untuk sarapan. Sungguh apes, sampai di warung ternyata nasi dan sayurnya masih dimasak. Karena terlanjur berhenti, Koplo dan Gembus memutuskan untuk menunggu hingga nasi dan sayurnya matang sembari memesan es teh manis. Sambil minum es teh mata Koplo clingak-clinguk melihat seisi ruangan warung. “Siapa tahu ada sesuatu yang dapat digunakan untuk mengganjal perut sementara” batin Koplo. Dan benar saja, di meja yang terletak di sudut warung terdapat tumpukan panci rantang. Setelah dibuka, isinya ada mendoan dan tahu bacem.

Menyoal Penyerahan LHKPN ke KPK



(Dok. photo.liputan6.com)

Sungguh sangat mengherankan ketika membaca pemberitaan pelbagai media beberapa waktu lalu yang menyebutkan bahwa Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Budi Waseso mengungkapkan keengganannya menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lebih jauh, Komjen Budi Waseso juga mengungkapkan bahwa akan lebih objektif hasilnya bila KPK sendiri yang menulis LHKPN penyelenggara negara bersangkutan. Walhasil, pernyataan Kabareskrim yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Gorontalo itu pun dalam waktu singkat menjadi pergunjingan di ruang publik. Sebagian besar publik mengecam pernyataan Kabareskrim Polri itu. Belakangan seiring membesarnya kecaman publik, Kabareskrim pun menepis bila pernyataannya terkait LHKPN dipersepsikan sebagai penolakan penyerahan LHKPN ke KPK.
Namun demikian, terlepas dari pernyataan Kabareskrim Komjen Budi Waseso, sejatinya keengganan penyelenggara negara untuk menyerahkan LHKPN ke KPK bukanlah sesuatu yang tabu di antara para penyelenggara negara sendiri. Faktanya, penyelenggara negara yang enggan, lambat dan bahkan sama sekali tidak menyerahkan LHKPN ke KPK pascapelantikan atau mutasi jabatan sudah menjadi pemandangan yang wajar. Padahal dalam konteks pemberantasan korupsi, LHKPN mempunyai fungsi yang cukup signifikan, baik pada tahap pencegahan (preventif) maupun tahap penindakan (kuratif). Pada tahap pencegahan LHKPN dapat digunakan untuk menelusuri potensi tindak pidana korupsi (tipikor) yang dilakukan oleh para penyelenggara negara. Sedangkan pada tahap penindakan, LHKPN dapat digunakan sebagai barang bukti yang memberatkan penyelenggara negara yang melakukan tipikor.

Ihwal Ke(tidak)adilan Komplain Tulisan

(Dok. juraganloundry.blogspot.com)
Belakangan ini, saya sebagai penulis maupun tulisan-tulisan saya kerap "diusili" bahkan cenderung "dibunuh" secara karakter. Tujuannya sederhana, agar nama saya secara pribadi dan tulisan-tulisan saya tidak kembali mewarnai media massa. Atau dalam bahasa sederhananya, agar tulisan saya tidak lagi dipublikasikan oleh media massa (tertentu). Celakanya lagi, si oknum yang jahil itu juga mengarahkan amunisinya pada Forum Kolumnis Muda Jogja (FKMJ). Padahal, saya jarang menggunakan forum tersebut dalam daftar riwayat kepenulisan saya. Saya lebih sering menggunakan ID lembaga (Research Center for Democratic Education) atau alumnus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) atau bahkan menggunakan keduanya sekaligus. Sementara, FKMJ biasanya saya gunakan bila saya mengirimkan tulisan ke Kompas atau Tempo saja. Maka, orientasi si oknum tersebut sangatlah jelas. Yakni, tak hanya ingin "membunuh" karir kepenulisan saya, akan tetapi juga "membunuh/ menjelekkan" FKMJ.
Pada titik ini, siapa oknum pelakunya menjadi sangat mudah ditebak. Tak lain dan tidak bukan adalah orang yang tidak senang dengan saya (mungkin iri, merasa tersaingi, atau karena alasan lain) dan juga mantan anggota FKMJ. Itulah sebabnya, nama FKMJ turut dibawa, harapannya tentu saja agar forum itu mempunyai nama buruk di jagad kepenulisan. Maka dengan gampang mengerucutlah sebuah nama yakni BA atau kalau dalam Kompasiana menggunakan ID Wartawan Abal-abal atau #Gusrie1980 (kadang kalau komplain juga menggunakan email Ayu Jogja). Bagaimana saya tahu kalau BA, #Gusrie1980 (Wartawan Abal-abal), dan Ayu Jogja adalah orang yang sama??? Jawabannya gampang, tapi tidak akan saya jelaskan, karena saya tahu si jahil cenderung munafik itu suka ngintip blog saya ini (wkwkwkkw...kasian ketahuan). Namun demikian, saya sudah menyiapkan bukti valid yang mampu membuktikan bahwa ketiga ID itu adalah orang yang sama. Sekedar buat berjaga-jaga saja, kalau suatu waktu nanti akan berguna.

Angpau Lebaran


(Dok. Pribadi)
Hari Raya Idul Fitri kali ini aku harus berfikir keras untuk menambah pemasukan. Soalnya, pendapatanku dari berdagang di bulan puasa ini malah menurun. Sementara, di depan mata para ponakan pasti minta jatah angpau di hari lebaran nanti. Untung ada teman yang menawari saya pekerjaan sampingan, yaitu merambatkan dahan tumbuhan melon ke potongan bambu. Tujuannya agar buah melon yang dihasilkan bisa bulat utuh, tidak benjol seperti kalau dahan melon hanya diletakkan di atas tanah. Meski belum pernah melakukan pekerjaan itu, tanpa pikir panjang aku menerima tawaran dari teman ku itu. Sebab bayaran yang ditawarkan lumayan, 100 ribu per harinya. Esok harinya aku langsung ikut dia ke lahan tempat menanam melon di daerah Pundong, Bantul.
Dia berpesan agar berhati-hati, sebab di tanaman melon ada semacam lugut yang gatal kalau mengenai kulit. Tapi dari situ lah musibah justru datang menghampiriku. Saking semangatnya merambatkan dahan melon ke potongan bambu, dahan melon yang aku tarik malah mengenai mata kiri ku. Alhasil, mata kiriku terasa sangat perih. Celakanya lagi, aku obati pake obat mata biasa tidak mempan. Rasa sakit dan perih di matanya tidak mau hilang. Aku menduga pasti ada lugut dahan melon yang tertinggal di mata kiriku itu. Lalu aku bawa ke RSUD Wates, di sana saya langsung diperiksa di Poli Mata. Dan benar, dokter yang memeriksa mengatakan ada lugut dahan melon yang tertinggal di dalam mata. Dokter itu lantas meneteskan semacam cairan yang membuat mata terasa dingin. Sehingga, waktu lugut diambil dengan jepitan kecil mata tidak terasa sakit

Idulfitri, ASN, dan Kendaraan Dinas


(Dok. manado.tribunnews.com)

Perayaan Hari Raya Idul Fitri (Lebaran) 1436 Hijriyah oleh seluruh umat Islam di negara ini baru saja usai. Akan tetapi bagi para perantau, ritual lebaran itu belumlah sepenuhnya usia karena mereka harus kembali ke tempat perantauannya untuk bekerja lagi. Pada titik inilah kita kerap dihadapkan pada fenomena yang sering dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN), yakni penyalahgunaan kendaraan dinas, baik yang digunakan sebelumnya untuk mudik maupun arus balik pascalebaran. Ironisnya lagi, tak sedikit kepala daerah yang justru “melegalkan” penyalahgunaan kendaraan dinas tersebut meskipun dengan menyertakan persyaratan tertentu. Misalnya saja, Gubernur Gorontalo Rusli Habibie yang mengizinkan penggunaan kendaraan dinas untuk keperluan mudik dan arus balik namun seluruh biaya harus ditanggung menggunakan uang pribadi, mulai dari biaya bahan bakar minyak (BBM), biaya pergantian oli, hingga biaya perbaikan bila terjadi kerusakan.
Setali tiga uang, Bupati Bogor Nurhayanti juga melegalkan penggunaan kendaraan dinas untuk keperluan mudik dan sekaligus arus balik lebaran. Menurutnya, dari pada kendaraan dinas hilang di kantor dinas saat libur lebaran, maka lebih baik kendaraan dinas tersebut “dititipkan” pada ASN-nya. Lebih jauh, Nurhanyanti mengungkapkan bahwa kendaraan dinas yang dipinjam untuk mudik (dan arus balik) lebaran harus dirawat seperti milik pribadi. Merujuk data dari bagian Inventarisasi dan Administrasi pada Dinas Pendapatan, Keuangan, dan Barang Daerah (BPKBD) Kabupaten Bogor, jumlah kendaraan dinas yang dimiliki kabupaten tersebut mencapai 2.020 kendaraan yang terdiri dari 400 unit kendaraan roda empat, 120 kendaraan roda enam, dan 1.500 unit kendaraan roda dua. Tercatat pula, masih ada beberapa pemerintah daerah (Pemda) lainnya yang turut memberikan keleluasaan bagi para ASN-nya untuk mudik dan arus balik lebaran menggunakan kendaraan dinas, diantaranya Pemda Purwakarta, Pemda Aceh Tamiang, dan Pemda Sidoarjo.

Pemilukada, Parlemen, dan Islah Golkar


(Dok. www.liputan6.com)

Mudah ditebak, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang mengabulkan sebagian gugatan Partai Golkar versi Munas Bali atas SK Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH- 01.AH.11.01 Tahun 2015 tentang pengesahan AD/ART serta komposisi DPP Partai Golkar versi Munas Jakarta tidak berimplikasi apa pun terhadap peluang keikutsertaan Partai Golkar dalam kontestasi elektoral pilkada serentak. Pasalnya, baik Menkumham selaku tergugat maupun Golkar versi Munas Jakarta selaku tergugat intervensi sama-sama telah mengajukan upaya banding atas putusan PTUN tersebut. Itu artinya, sebagaimana ketetapan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dapat dikatakan belum ada keputusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang dapat digunakan oleh Golkar sebagai partai yang tengah berkonflik untuk mendaftarkan diri dalam kontestasi elektoral pilkada.
Pun demikian dari perspektif putusan PTUN itu sendiri, tegas disebutkan pada Pasal 115 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN bahwa hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap tidak memiliki kekuatan eksekusi atau dengan kata lain putusan pengadilan yang masih mempunyai upaya hukum tidak dapat dimintakan eksekusinya (Harahap, 2008). Prinsip yang sama tegas pula tertuang dalam norma Pasal 19 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, disebutkan bahwa keputusan pejabat PTUN atau administrator negara baru dianggap sah setelah ada putusan berkekuatan hukum tetap. Kulminasinya, Partai Golkar saat ini benar-benar sedang berada dalam situasi yang sangat mengkhawatirkan. Sebab, meskipun menjadi partai kedua pemenang pemilu legislatif (Pileg) 2014, namun bukan tidak mungkin partai berlambang pohon beringin itu justru akan absen dalam perhelatan pilkada serentak pada 9 Desember 2015 mendatang.

Revisi UU KPK, Konstitusi, dan Pelemahan KPK


(Dok. nasional.vivanews.co.id)

Belum cukup pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui “kriminalisasi” jajaran pimpinan dan pegawainya, kini upaya serupa tampaknya kembali digagas melalui mekanisme yang berbeda. Kali ini dan untuk yang kesekian kalinya, upaya itu kuat dugaan akan dilakukan melalui revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Pasalnya, sejumlah politisi Senayan telah bersepakat untuk mendorong agar revisi UU KPK bisa masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2015. Untuk itu, seharusnya pemerintah dan internal KPK dapat satu suara menolak upaya revisi itu. Ironisnya, baik pihak pemerintah maupun internal KPK justru terbelah. Terbukti Wakil Presiden Jusuf Kalla tidak keberatan dengan wacana revisi yang diusung oleh sejumlah politisi Senayan itu meskipun Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara tegas telah menolaknya.
Pun demikian dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna H Laoly yang notabene adalah kepanjangan tangan langsung presiden bidang hukum dan HAM. Meskipun di media mengungkapkan akan satu suara dengan presiden, tetapi dalam realisasinya Menkumham tidak mampu berkutik untuk menolak masuknya revisi UU KPK dalam Prolegnas Prioritas tahun 2015. Setali tiga uang, Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK Taufiequrachman Ruki juga tidak keberatan bila UU KPK akan direvisi. Hal ini bertentangan dengan pandangan Komisioner KPK lainnya, salah satunya Plt Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Aji. Menurutnya, revisi UU KPK dalam waktu dekat belum diperlukan. Lebih jauh, revisi UU KPK kuat dugaan justru akan melemahkan kewenangan-kewenangan yang dimiliki KPK. Walhasil, revisi UU KPK pun akhirnya dengan mulus dapat masuk dalam Prolegnas Prioritas tahun 2015.

Quo Vadis Pemberantasan Prostitusi


(Dok. www.muslimdaily.net)

Penangkapan artis sekaligus model yang juga mimiliki pekerjaan sampingan (side job) sebagai pekerja seks komersial (PSK) berinisial AA bersama mucikarinya yang berinisial RA oleh Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan justru mempertegas potret buram pemberantasan bisnis prostitusi di negara ini. Faktanya, hingga kini hanya mucikarinya saja yang telah ditetapkan sebagai tersangka, yakni dijerat dengan Pasal 296 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sedangkan, PSK yang ditangkap bersamanya, yaitu AA maupun PSK lain yang berada dalam jaringan (daring) RA, serta para pengguna jasanya masih bebas berkeliaran tanpa tersentuh sanksi pidana sedikit pun. Realitas penegakan hukum yang demikian jelas sangat ironis dan melukai rasa keadilan di masyarakat. Di samping itu, dapat dipastikan penegakan hukum semacam itu tidak akan dapat menciptakan efek jera bagi para pelaku bisnis haram tersebut.
Karenanya, dalam rangka memberantas habitus bisnis protitusi hingga ke akar-akarnya, sangat diperlukan upaya penegakan hukum terhadap semua pelaku yang terlibat, baik itu mucikari, PSK, maupun pengguna jasanya. Namun demikian, perlu menjadi catatan khusus terhadap upaya penegakan hukum yang diterapkan kepada para PSK. Mengutip pemikiran pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel, hanya PSK yang menggeluti profesi itu secara sadar dan tanpa adanya unsur keterpaksaan yang harus diberikan sanksi hukum. Sementara, PSK yang menggeluti profesi itu karena pelbagai unsur keterpaksaan yang mengikutinya, seperti terjerat kemiskinan, terperangkap hutang, tidak mempunyai keterampilan memadai, dan rupa-rupa kemalangan hidup lain hendaknya tidak diberikan sanksi hukum, melainkan harus diselamatkan dengan upaya pembinaan dan pelatihan keterampilan hidup yang memadai.

LKHPN dan Sanksi Penyelenggara Negara


(Dok. www.kabarpns.com)

Pernyataan Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komjen Pol Budi Waseso (BW) terkait Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) menuai polemik di aras publik. Pasalnya, sebagaimana pemberitaan di pelbagai media BW menyatakan enggan melaporkan LHKPN ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya, akan lebih objektif bila LHKPN ditelusuri sendiri oleh KPK, bukan dilaporkan oleh penyelenggara negara yang bersangkutan. Jika ditelaah, pernyataan BW memang ada benarnya, akan tetapi bila dikaitkan dengan kewajiban sebagai penyelenggara negara menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku pernyataan BW jelas tidak tepat. Pelaporan LHKPN bagi setiap penyelenggara negara sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) adalah wajib hukumnya. Artinya, menjadi keharusan bagi setiap penyelenggara negara untuk menyerahkan LKHPN sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pun demikian yang tertuang dalam Keputusan KPK Nomor Kep.07/KPK/02/2005 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pemeriksaan dan Pengumuman LHKPN dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara, pelaporan LHKPN menjadi tanggung jawab yang tidak dapat dielakkan bagi setiap orang yang berkedudukan sebagai penyelenggara negara. Ironisnya, meskipun pelaporan LHKPN dalam UU dipandang sebagai kewajiban, namun jelas tidak diimbangi dengan sanksi yang memadai bila kewajiban itu dilanggar. Pada Pasal 20 UU Nomor 28 Tahun 1999 misalnya, setiap penyelenggara negara yang melanggar ketentuan (baca: tidak melaporkan LHKPN) hanya dikenai sanksi administratif saja. Maka tak heran, banyak penyelenggara negara yang terkesan mengesampingkan dan menyepelekan pelaporan LHKPN ke KPK. Padahal, LHKPN pada hakikatnya merupakan salah satu instrumen penting bagi KPK untuk mencegah praktik korupsi yang kerap dilakukan oleh oknum-oknum penyelenggara negara.

Memproteksi Bonus Demografi



(Dok. cahyapuspitar.blogspot.com)
Badan Kependudukan PBB (UNFPA) mengungkapkan bahwa saat ini Indonesia memiliki sekitar 65 juta anak muda berusia 15-29 tahun. Dengan jumlah anak muda sebanyak itu, UNFPA memperkirakan Indonesia akan mencapai puncak bonus demografi (demografic deviden) pada tahun 2028-2031 mendatang. Kondisi ini tentu menjadi peluang bagi Indonesia untuk melesat menjadi sebuah negara maju sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Korea Selatan (Korsel), Thailand, dan Singapura. Dengan mengoptimalkan bonus demografi yang dimilikinya, Korsel mampu meningkatkan pertumbuhan negara itu dari 7,3 persen menjadi 13,2 persen, Thailand dari 6,6 persen menjadi 15,5 persen, dan Singapura dari 8,2 persen menjadi 13,6 persen (Agus Wibowo, 2015).
Nahasnya, peluang Indonesia untuk dapat mengoptimalkan bonus demografi belakangan ini justru mendapatkan ancaman yang sangat serius dari dua hal utama, yaitu semakin merajalelanya peredaran narkoba dan pesatnya perkembangan prostitusi. Mafhum disadari, peredaran narkoba di negara ini memang telah berada pada titik yang sangat mengkhawatirkan. Menurut data Badan Narkotika Nasional (BNN) paling mutakhir, prevalensi pengguna narkoba di Indonesia telah mencapai 5,1 juta orang. Lebih jauh, data BNN tersebut juga mengungkapkan bahwa angka kematian akibat penyalahgunaan barang haram itu tergolong cukup tinggi, yakni antara 40-50 kematian per harinya. Celakanya lagi, pada umumnya para pengguna narkoba justru berada dalam usia produktif.

Momentum Kebangkitan Hukum Nasional

(Dok. www.antaranews.com)
Hukum di negara ini belakangan justru mengalami dengan apa yang disebut oleh mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof. Dr. Moh. Mahfud MD sebagai degradasi penegakan hukum. Yaitu, kondisi dimana terjadi kemerosotan moral dan etika terhadap praktik penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Pada akhirnya, penegakan hukum tidak bermuara pada upaya memperoleh kebenaran dan keadilan hakiki, melainkan hanya digunakan untuk kepentingan tertentu belaka. Nahasnya, di negara ini tidak hanya aparat penegak hukum dari satu instansi saja yang kerap terjerumus dalam degradasi penegakan hukum. Akan tetapi, hampir seluruh instansi penegakan hukum, mulai dari Kejaksaan, Polri, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun kerap terjerumus dalam degradasi penegakan hukum tersebut.
Polri misalnya, realitas terjadinya degradasi penegakan hukum begitu kasat mata terlihat pada penanganan kasus Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Novel Baswedan. Dalam hal ini, sulit bagi Polri untuk memungkiri bahwa kasus-kasus tersebut ditangani murni hanya karena adanya masalah hukum semata. Faktanya, munculnya dugaan pelanggaran hukum yang dialamatkan pada Abraham Samad, Bambang Widjojanto, maupun Novel Baswedan terjadi melalui skenario yang sama, yaitu setelah KPK melakukan upaya penegakan hukum terhadap para petinggi Polri yang diduga terlibat korupsi. Setali tiga uang, KPK yang dikenal mempunyai integritas mumpuni pun kuat dugaan telah terjerumus dalam degradasi penegakan hukum. Dua kekalahan KPK di praperadilan melawan gugatan yang diajukan Komjen Pol Budi Gunawan dan mantan Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin membuktikan bahwa penetapan tersangka oleh KPK serampangan. Namun di balik itu, dapat disimpulkan pula bahwa penetapan tersangka oleh KPK mempunyai unsur kepentingan “terselubung” di belakangnya.

Membaca Skenario Di Balik Pelantikan BG

(Dok. nasional.news.viva.co.id)
Komjen Pol Budi Gunawan (BG) akhirnya secara resmi telah dilantik sebagai Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Wakapolri) mendampingi Komjen Pol Badrodin Haiti. Namun berbeda dari biasanya, proses pelantikan Wakapolri periode kali ini terkesan dilakukan secara tertutup. Bahkan, pelantikannya pun hanya dilakukan di ruang pertemuan Kapolri yang notabene ruangannya tidak terlalu luas. Padahal lazimnya, pelantikan perwira tinggi Polri selalu dilakukan di Ruang Rapat Utama (Rupatama) Mabes Polri yang mempunyai luas ruangan memadai. Selain itu, merujuk Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), M. Nasser, prosesi pelantikan BG berlangsung sangat singkat, konon tak lebih dari tiga puluh menit. Lebih lanjut, M. Nasser juga mengungkapkan bahwa dalam agenda prosesi pelantikan tak ada sambutan dari Kapolri maupun Wakapolri baru seperti yang lazim terjadi pada pelantikan petinggi Polri lainnya.
Prosesi pelantikan seorang pejabat tinggi Polri baru yang demikian, tentu menimbulkan kecurigaan di mata publik. Bukan tidak mungkin skenario pelantikan yang terkesan singkat dan tertutup itu memang sengaja dirancang agar pelantikan BG sebagai Wakapolri dapat berlangsung lancar tanpa hambatan dari publik. Sebab, pada dasarnya BG masih mempunyai kasus hukum yang belum terselesaikan secara tuntas. Seperti diketahui, setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melemparkan berkas perkara dugaan kepemilikan rekening gendut BG ke Kejaksaan Agung (Kejagung) yang selanjutnya oleh Kejagung dilimpahkan ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim), pihak Bareskrim belum mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3). Maka sangat jelas, dari perspektif integritas BG sesungguhnya belum layak untuk menduduki jabatan sebagai Wakapolri. Maka, menjadi logis bila kemudian prosesi pelantikan terhadap BG dilakukan secara singkat dan tertutup. Bila BG resmi telah dilantik, publik tentu tak akan dapat berbuat apa-apa. 

Antara Kasus Novel, Udin, dan Munir

(Dok. penulispro.com)
Penangkapan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan melalui surat perintah penangkapan bernomor Sp.Kap/19/IV/2015/ Dittipidum beberapa waktu lalu menyisakan pertanyaan besar di aras publik. Pasalnya, selain dinilai penuh dengan kejanggalan, proses penangkapan itu juga terjadi setelah petinggi Polri yang pernah “vis a vis” dengan KPK, baik secara langsung maupun tidak langsung menduduki jabatan strategis di internal Polri. Sebut saja nama seperti Komisaris Jenderal (Komjen) Pol Budi Gunawan yang pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dan kini menduduki kursi Wakil Kepala Polri (Wakapolri). Atau, Komjen Pol Budi Waseso yang dikenal sebagai “loyalis” Komjen Pol Budi Gunawan yang telah terlebih dahulu menduduki jabatan strategis, yaitu sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
Adanya keterkaitan hal tersebut dengan penangkapan Novel Baswedan semakin tak terbantahkan ketika instruksi langsung dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Kapolri, Komjen Pol Badrodin Haiti agar tidak menahan Novel justru diabaikan oleh Polri. Faktanya, Novel malah dibawa ke Bengkulu untuk menjalani rekonstruksi kasus setelah sebelumnya terlebih dahulu dibawa ke tahanan Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob) di Kelapa Dua, Depok. Dalam konteks ini, sulit untuk memahami sikap Polri yang terkesan ambisius untuk menuntaskan dugaan kasus hukum yang dialamatkan kepada Novel Baswedan tersebut. Bila penegakan hukum tanpa pandang bulu yang dijadikan sebagai alasan utama, lantas bagaimana dengan penegakan hukum terkait kasus-kasus lain, khususnya kasus hukum yang tidak mempunyai unsur benturan langsung dengan Polri. Sebut saja seperti kasus pembunuhan terhadap aktivis hak asasi manusia (HAM), Munir Said Thalib dan kasus penganiayaan berujung kematian yang menimpa jurnalis Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin.

Idealisme Semu Rumah Aspirasi



(Dok. seputarnusantara.com)

Bagi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) kekinian, sepertinya ada saja jalan untuk mengeruk pundi-pundi keuangan negara. Skenario teranyar yaitu dengan menyertakan nomenklatur Rumah Aspirasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara- Perubahan (APBN P) 2015. Nomenklatur itu disertakan setelah DPR mendapatkan alokasi anggaran tambahan sebesar Rp 1,635 triliun dalam pembahasan rancangan APBN- P 2015 yang dilakukan pada Februari 2015 lalu. Sehingga dalam APBN-P 2015, keseluruhan anggaran yang dialokasikan untuk dewan yang terhormat itu nilainya tak kurang dari Rp 5,192 triliun. Imbas dari keberadaan nomenklatur Rumah Aspirasi itu, ke depan setiap anggota dewan akan mendapatkan alokasi anggaran sekitar Rp 150 juta per tahun atau setara Rp 12,8 juta per bulan untuk keperluan biaya operasional Rumah Aspirasi tersebut (Pasal 213 Peraturan Tata Tertib DPR).
Mengacu pada Peraturan Tata Tertib DPR Pasal 1 angka 18, Rumah Aspirasi merupakan pelaksanaan fungsi DPR terhadap kerangka representasi rakyat dilakukan antara lain, melalui pembukaan ruang partisipasi publik, transparansi pelaksanaan fungsi, dan pertanggungjawaban kerja DPR kepada rakyat. Alasan klasik di balik program kerja yang diajukan dewan tersebut yaitu untuk meningkatkan kinerja anggota dewan sekaligus mengoptimalkan penyerapan aspirasi publik, utamanya di daerah pemilihan (dapil) masing-masing. Jika ditelaah, gagasan yang dituangkan oleh anggota dewan dalam Rumah Aspirasi tersebut tentu tidak ada yang salah. Pasalnya, keberadaan Rumah Aspirasi memang sangat diperlukan untuk meningkatkan efektivitas penyerapan aspirasi publik dan sekaligus mengawal artikulasi aspirasi tersebut oleh anggota dewan di parlemen. Sehingga, bila kemudian terjadi perbedaan antara aspirasi publik di akar rumput (grass root) dan artikulasi aspirasi oleh anggota dewan di parlemen, Rumah Aspirasi dapat menjadi tempat yang tepat untuk menemukan titik temu pokok persoalannya. Pada titik ini, akan dapat diketahui apakah anggota dewan benar-benar menyuarakan aspirasi publik atau hanya aspirasi golongannya saja.

Nalar Sesat Peluang Remisi untuk Koruptor


(Dok. rmol.co)

Di era Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla, kementerian yang paling sering mengeluarkan kebijakan kontroversial bisa jadi adalah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Kebijakan kontroversial yang pernah dikeluarkan oleh kementerian itu diantaranya terkait pengesahan kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) versi Romahurmuziy dan pengesahan kepengurusan Partai Golongan Karya (Golkar) versi Agung Laksono. Teranyar, kementerian yang dinahkodai oleh kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDIP), Yasonna H Laoly itu berencana memperlonggar cara memperoleh pemotongan tahanan (remisi) bagi narapidana, tak terkecuali bagi narapidana karupsi. Manuver itu akan dilakukan melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Masyarakat.
Menurut Yasonna, setiap narapidana harus diberikan perlakuan sama sebagaimana norma Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Itu artinya, besar kemungkinan keberadaan Pasal 34A PP Nomor 99 Tahun 2012 yang salah satunya mensyaratkan agar narapidana bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukan bakal akan diamputasi. Jika hal itu benar terjadi, maka akan sangat mudah bagi para koruptor untuk mendapatkan remisi. Kulminasi terburuknya, bukan tidak mungkin akan terjadi fenomena “hujan remisi” bagi koruptor. Apalagi, mafhum diketahui saat ini masih banyak oknum-oknum di lingkungan lembaga pemasyarakatan yang dengan gampang bisa disuap untuk memudahkan narapidana memperoleh remisi.

Urgensi E-Budgeting


(Dok. news.blogspot.com)

Polemik munculnya anggaran siluman dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta, membuka mata publik bahwa bukan tidak mungkin fenomena serupa terjadi pula di pelbagai daerah lain. Hanya saja, barang kali kepala daerah (Gubernur/ Bupati) di daerah lain tersebut tidak segarang dan seberani Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sehingga fenomena itu tidak mencuat ke permukaan. 
Fenomena penyisipan anggaran siluman, pada dasarnya bukanlah sesuatu hal yang baru. Di tataran pemerintah pusat, fenomena peyisipan anggaran siluman ini ditengarai kerap terjadi di lingkungan badan anggaran (Banggar) DPR RI. Itulah sebabnya, beberapa elemen masyarakat kala itu mengajukan gugatan judicial review Pasal 157 ayat (1), Pasal 159 ayat (5) huruf c Undang-Undang Nomor 17/ 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 17/ 2003 tentang Keuangan Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tujuannya, agar Banggar DPR RI yang dipandang oleh publik sebagai sarang para koruptor dan mafia proyek anggaran bisa dibubarkan. Meskipun pada akhirnya MK dalam putusannya tidak mengabulkan gugatan judicial review atas pasal-pasal tersebut, namun MK memberikan catatan bahwa kewenangan banggar perlu dibatasi. Mengutip Reza Syawawi (2015), yaitu didasarkan pada prinsip kekuasaan yang dibatasi kekuasaan (power limited by power).

Menyelamatkan Penegakan Hukum


(Dok. nasional-kompas.com)

Vis a vis “terselubung” yang terjadi diantara dua institusi penting penegak(an)  hukum negara ini, yaitu antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) melahirkan sebuah resistensi di masyarakat yang justru berpotensi meluluhlantahkan marwah penegak(an) hukum itu sendiri. Resistensi tersebut secara nyata terlihat dari realitas terbelahnya dukungan masyarakat terhadap dua institusi penegak(an) hukum itu. Sebagian masyarakat secara terang-terangan mendukung KPK dengan argumentasi pelemahan KPK akan berdampak pada terhambatnya pemberantasan korupsi.
Itulah sebabnya kemudian muncul wacana dari aktivis dan relawan antikorupsi untuk mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Imunitas bagi KPK. Sehingga, upaya “kriminalisasi” terhadap KPK yang terjadi secara masif, terstruktur, dan sistematis seperti belakangan ini dapat dihindarkan. Sementara sebagian masyarakat yang lain, meskipun dari segi jumlah secara kasat mata lebih sedikit dari masyarakat pendukung KPK, tetapi arus dukungan yang diberikan tetap kuat dan konsisten. Konsistensi itu terlihat dari hadirnya pendukung Polri dalam beberapa momen penting tertentu, salah satunya pada saat sidang perdana praperadilan Budi Gunawan digelar (2/2/2015).
Argumentasi yang diberikan oleh masyarakat pendukung Polri, jika ditelaah secara mendalam sebenarnya juga sangat relevan bagi KPK. Yaitu, tidak boleh ada “mafia hukum” yang bersembunyi di balik KPK. Ini penting, mengingat KPK dianggap sebagai institusi yang bersih, maka komisioner maupun penyidiknya harus bersih pula, utamanya dari kasus-kasus pelanggaran hukum. Tak heran mereka pun menentang keras atas adanya wacana untuk mengeluarkan Perppu Imunitas bagi KPK. Maka, bila ada anggota KPK termasuk jajaran pimpinan KPK yang terindikasi melakukan tindakan melanggar hukum harus segera diproses secara hukum. Tidak boleh ada tebang pilih dan pembedaan perlakuan di depan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”

Rumah Aspirasi dan Keputusan “Orang Kuat Partai”



(Dok. doa-bagirajatega.blogspot.com)
Manuver politik anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), lagi-lagi menuai polemik di aras publik. Kali ini DPR menyertakan nomenklatur anggaran baru dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara- Perubahan (APBN- P) 2015, yaitu Rumah Aspirasi. Nomenklatur itu disertakan setelah DPR mendapatkan alokasi anggaran tambahan sebesar Rp 1,635 triliun dalam pembahasan rancangan APBN- P 2015 yang dilakukan pada Februari lalu. Sehingga dalam APBN-P 2015, keseluruhan anggaran yang dialokasikan untuk dewan yang terhormat itu nilainya tak kurang dari Rp 5,192 triliun. Dampak dari keberadaan nomenklatur Rumah Aspirasi itu, ke depan setiap anggota dewan akan mendapatkan alokasi anggaran sekitar Rp 150 juta per tahun atau setara Rp 12,8 juta per bulan (Analisa, 6/3/2015). Merujuk Pasal 213 Peraturan Tata Tertib DPR, alokasi anggaran itu akan digunakan untuk membiayai pengelolaan rumah aspirasi, diantaranya untuk menggaji para tenaga ahli dan staf administrasinya.
Luput dari Publik
Manuver politik anggaran DPR itu sempat luput dari perhatian publik mengingat pada bulan Februari, di mana APBN- P 2015 itu disahkan, perhatian publik tersedot oleh vis a vis yang melibatkan KPK dan Polri. Namun demikian, tidak ada kata terlambat bagi publik untuk mengkritisi atau bahkan menggugat manuver politik anggaran DPR yang telah menambahkan nomenklatur Rumah Aspirasi tersebut. Ini penting dilakukan mengingat bergelimangnya anggaran tidak menjamin kinerja anggota dewan, utamanya terkait penyerapan aspirasi publik juga akan mengalami peningkatan. Sebagai gambaran, terkait fungsi penyerapan aspirasi publik, anggota dewan dalam satu bulannya rata-rata telah menerima anggaran sekitar Rp 64 juta, terdiri dari tunjangan dana reses sebesar Rp 150 juta per triwulan dan tunjangan komunikasi sebesar Rp 14 juta per bulan. Faktanya, apa yang disuarakan anggota dewan di parlemen kerap berbeda seratus delapan puluh derajat dengan aspirasi publik di akar rumput (grass root).

Multiplier Effect Putusan Hakim Sarpin


(Dok. harianterbit.com)

Dalam perpektif hukum dikenal adagium “Sumum ius summa inniora” atau hukum yang tertinggi adalah ketidakadilan yang terbesar. Itu bisa dengan mudah terjadi bila para penegak hukum hanya menerapkan hukum secara pragmatis, tanpa mempertimbangkan asas-asas penegakan hukum lainnya, seperti keadilan sosial (social justice), keadilan moral (moral justice), dan keadilan hukum (legal justice) itu sendiri. Realitas yang demikian sangat nyata tergambar dalam amar putusan praperadilan yang dibacakan oleh Hakim Sarpin Rizaldi (SR) atas gugatan praperadilan yang dilayangkan Komisaris Jenderal (Komjen) Pol Budi Gunawan (BG) terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hakim SR sepertinya menutup mata atas realitas kekhawatiran seluruh masyarakat di negara ini terhadap kelangsungan penegakan hukum, utamanya pemberantasan korupsi. Sulit dibayangkan tentunya nasib kelangsungan pemberantasan korupsi, terlebih lagi yang melibatkan jajaran internal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sendiri bila institusi penegak hukum tersebut justru dipimpin oleh figur yang berintegritas buruk.

Mengkritik Rencana Amandemen UU KPK



Dalam periode Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi- JK) saat ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampaknya benar-benar sedang mengalami ujian berat. Ujian Pertama, yaitu adanya pembiaran, baik oleh Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap terjadinya pelbagai upaya pelemahan KPK. Bukan rahasia umum lagi jika pada saat komisioner KPK mengalami serangan “geger celeng”, Pemerintah maupun DPR justru terkesan diam saja. Penulis katakan serangan “geger celeng” karena serangan yang dialamatkan kepada para komisioner KPK sangat masif dan begitu kasat mata jika hanya diada-adakan saja kasus hukumnya. Ambil contoh kasus Abraham Samad (AS) yang dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) atas tuduhan pemalsuan dokumen.
Selain kasus tersebut ditengarai terjadi sudah lama (tahun 2007), perbuatan yang disangkakan terhadap AS itu sama sekali tidak memberikan dampak kerugian terhadap siapa pun. Dalam perspektif hukum, hal itu disebut mala prohibita, yaitu perbuatan melanggar hukum karena memang telah diatur demikian oleh hukum, tetapi belum tentu ada yang dirugikan (Mahfud MD, 2015). Contoh pelanggaran hukum tergolong mala probihita lain misalnya, menerobos lampu merah ketika tengah malam atau mengendarai kendaraan tetapi lupa tidak membawa SIM (surat izin mengemudi). Secara hukum hal seperti itu memang salah karena di dalam konstitusi telah diatur demikian. Akan tetapi, di sisi lain tindakan seperti itu sama sekali tidak memberikan dampak kerugian bagi orang lain.

Mewaspadai Pelemahan UU KPK


(Dok inilah.com)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampaknya benar-benar sedang berada dalam fase ujian terberatnya di periode Pemerintahan Jokowi Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi- JK) saat ini. Setelah upaya kriminalisasi terhadap jajaran komisioner KPK berbuah hasil dengan ditetapkannya dua komisioner KPK sebagai tersangka, eksistensi KPK kembali terancam. Kali ini oleh ulah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berencana mengutak-atik kewenangan KPK melalui amandemen Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Manuver itu telah disiapkan oleh DPR dengan memasukkan rencana amandemen UU KPK ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR periode 2014-2019. Total terdapat 159 rancangan undang-undang (RUU) yang masuk daftar Prolegnas dan 37 RUU diantaranya akan menjadi prioritas diselesaikan pada tahun ini.
Publik tentu patut mewaspadai manuver DPR terkait rencana amandemen UU KPK tersebut. Pasalnya, menurut salah satu komisioner KPK, Zulkarnaen, UU KPK masih relevan dan memadai untuk diterapkan pada saat ini. Dengan kata lain, dari sisi esensi dan urgensi, amandemen terhadap UU KPK belum menemukan relevansinya yang memaksa untuk harus segera diamandemen. Pun demikian dari substansi materi yang akan diamandemen, berhembus kabar yang justru kontraproduktif dengan penguatan terhadap KPK itu sendiri. Misalnya, rencana menghilangkan kewenangan penyadapan (Pasal 7), rencana memberikan kewenangan penghentian perkara (Pasal 40), dan penyitaan harus dengan izin pengadilan (Pasal 47). Bila substansi materi itu terealisasi dalam amandemen UU KPK mendatang, maka KPK jelas bukan semakin kuat, melainkan semakin lemah dan mudah diintervensi.

Menggugat Perlakuan Istimewa pada Koruptor


(Dok. radarbangka.co.id)

Ada sebuah silogisme tentang korupsi yang mungkin saja relevan dengan kondisi masifnya tindak pidana korupsi di negara ini. Yaitu, tidak ada seni yang lebih cepat bisa dipelajari oleh suatu pemerintahan selain seni belajar menguras uang dari saku rakyatnya. Faktanya, meskipun telah berganti pemerintahan, tetapi tindak pidana korupsi masih tetap marak terjadi. Bahkan, data yang ada justru memperlihatkan bahwa tindak pidana korupsi semakin menyebar ke seluruh tingkatan struktur pemerintahan. Yaitu, sudah tidak lagi hanya dimonopoli oleh oknum-oknum pemerintah pusat saja, tetapi telah merambat hingga oknum-oknum yang terlibat dalam pemerintahan daerah itu sendiri. Realitas ini tercermin dari data Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait jumlah kepala daerah yang terlibat korupsi, sebanyak 327  dari 524 kepala daerah yang terkena kasus hukum, 86 persen diantaranya justru terjerat kasus korupsi.
Mahfum disadari, korupsi memang telah menjadi penyakit kronis bangsa yang hingga kini sulit disembuhkan. Bahkan, tiga institusi penegak hukum negara ini, yakni Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK, nampak dibuat tak “bertaring” dalam menghadapi kejahatan yang sesuai konsideran Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) ini telah dinyatakan sebagai kejatahan luar biasa (extra-ordiary crime). Korupsi telah tumbuh menjadi kultur dalam multidimensional kehidupan di masyarakat, bahkan di struktur masyarakat terendah sekalipun. Sehingga, memang bukan hal yang mudah untuk memutus mata rantai korupsi tersebut. Itulah sebabnya, dalam upaya pemberantasannya, sudah semestinya menggunakan cara-cara yang luar biasa. Dalam konteks ini, memperberat hukuman dan memberikan sanksi sosial bagi pelaku korupsi (koruptor) mutlak dilakukan.

Menagih Janji Politik Memperkuat KPK


(Dok. merdeka.com)

Mafhum disadari, salah satu motif pembentukkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2003 silam dilandasi atas kurang maksimalnya kinerja aparat penegak hukum, utamanya Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kepolisian dalam memberantas kasus korupsi. Bahkan, tak jarang ada oknum-oknum dari ke dua instansi penegak hukum tersebut yang justru malah terlibat praktik korupsi. Maka, pembentukkan KPK diharapkan mampu mempercepat akselerasi penegakkan hukum dalam rangka memberangus praktik kartel korupsi, utamanya yang dilakukan oleh para pejabat negara. Seiring berjalannya waktu dan pergantian komisioner KPK, prestasi KPK dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini pun semakin mengkilap. Terbukti tak hanya pejabat-pejabat negara biasa yang berhasil dibawa KPK ke meja hijau akibat terjerat kasus korupsi, tetapi pejabat tinggi negara seperti menteri pun tak luput dari jerat hukum KPK.
Masih ingat jelas dalam ingatan, setidaknya ada tiga menteri era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berhasil dijerat KPK ke jalur hukum karena terindikasi melakukan korupsi. Yaitu, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Alfian Malaranggeng, mantan Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali, dan mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik. Prestasi terbaru tentu saja keberanian dalam menetapkan calon tunggal Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Komisaris Jenderal (Pol) Budi Gunawan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi. Bila melihat track record KPK, tanpa mendahului proses hukum yang sedang berjalan, besar kemungkinan pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka pada akhirnya akan menjadi penghuni hotel prodeo. Sehingga, wajar bila prestasi KPK tersebut kemudian menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian orang, terutama para pejabat negara yang gemar memperkaya diri sendiri dan keluarganya melalui korupsi.

Potret Buram Jurnalis(me) Bencana


(Dok. soloposfm.com)

Pemberitaan mengenai musibah hilangnya pesawat Air Asia QZ8501 oleh sejumlah media beberapa waktu lalu, utamanya televisi mengundang kritik sekaligus keprihatinan banyak pihak. Puncaknya terjadi ketika sejumlah televisi nasional melakukan peliputan terkait penemuan serpihan pesawat dan jenazah yang diduga merupakan korban jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501 tersebut.  Dalam peliputan yang konon disiarkan langsung dan ekslusif itu, terdapat tayangan yang dengan jelas menggambarkan jenazah terapung di laut tanpa diblur sama sekali. Bagi para keluarga korban yang selalu memantau kondisi terkini di Crisis Center, hal itu jelas sangat menyakitkan hati. Di mana etika dan kepedulian kepada korban dan keluarga korban itu sendiri tidak dihiraukan sama sekali. Meskipun pada akhirnya sejumlah televisi yang melakukan tindakan tersebut secara terbuka telah mengungkapkann permohonan maaf baik pada keluarga korban maupun pada publik,  tetapi hal ini harus menjadi catatan jurnalistik yang tidak boleh terjadi lagi di kemudian hari.
Potret buram jurnalis(me) bencana sesungguhnya tak hanya terjadi pada musibah jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501 saja. Praktik serupa sesungguhnya kerap terjadi dalam setiap musibah atau bencana yang terjadi di negeri ini. Dalam buku Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme (2010) karya Ahmad Arif, dipaparkan seorang reporter televisi mencecar pertanyaan seorang ayah yang anaknya terjebak dalam sekolah ambruk akibat gempa yang mengguncang Sumatera Barat pada akhir September 2009 silam. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan reporter televisi itu diantaranya, “Bagaimana perasaan Anda saat ini?”, Bagaimana bila anak perempuan Anda tidak ditemukan?”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentunya hanya meruntuhkan mental dan psikologi sang ayah saja. Pun dari perspektif media sebagai penyampai informasi, pertanyaan-pertanyaan tersebut jelas tidak menyentuh ke ranah itu. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan lebih mengarah pada mekanisme untuk mengundang simpati dan belas kasih publik.

Bunuh “Kepiting” dengan Patahkan “Kaki-Kakinya”



(Dok. memobee.com)

Ada sebuah strategi perang kuno yang barang kali menemukan relevansinya dalam skenario terselubung pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang masif terjadi belakangan ini. Yaitu, membunuh “kepiting” dengan terlebih dahulu mematahkan satu per satu kaki-kakinya. “Kepiting” dalam hal ini dapat diartikan sebagai upaya pemberantasan korupsi, sementara “kaki-kaki kepiting” dapat diartikan sebagai institusi atau pun orang-orang yang berada di garda terdepan upaya pemberantasan korupsi. Maka, mengacu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK), institusi yang berada pada garda terdepan pemberantasan korupsi ialah KPK dan orang-orang yang berada di garda terdepan pemberantasan korupsi ialah jajaran komisionernya. Sehingga dalam rangka melemahkan atau bahkan melumpuhkan pemberantasan korupsi, “mematahkan” satu per satu komisioner KPK tentu menjadi sebuah cara yang tepat dan efektif.
Realitas yang terjadi belakangan ini, terminologi “mematahkan” komisioner KPK jelas tersirat dari masifnya tindakan menjerat komisioner KPK dalam kasus hukum tertentu yang entah ada atau memang hanya diada-adakan. Pascapenetapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sebagai tersangka atas dugaan melanggar Pasal 242 jo Pasal 55 KUHP perihal sumpah palsu dan keterangan palsu, secara berturut-turut jerat hukum juga coba dilakukan terhadap komisioner-komisioner KPK lainnya. Adnan Pandu Praja dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) oleh kuasa hukum PT Desy Timber, Mukhlis Ramlan atas dugaan perampasan saham dan aset perusahaan, sedangkan Abraham Samad dilaporkan oleh direktur eksekutif KPK Watch Indonesia, Muhammad Yusuf Sahide atas dugaan melanggar Pasal 36 dan Pasal 65 UU KPK. Belakangan, santer terdengar kabar nama komisioner KPK yang tersisa, Zulkarnaen juga akan dilaporkan ke Bareskrim atas dugaan korupsi dana hibah Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) pada tahun 2008.