![]() |
(Dok. manado.tribunnews.com) |
Perayaan Hari Raya Idul Fitri (Lebaran) 1436
Hijriyah oleh seluruh umat Islam di negara ini baru saja usai. Akan tetapi bagi
para perantau, ritual lebaran itu belumlah sepenuhnya usia karena mereka harus
kembali ke tempat perantauannya untuk bekerja lagi. Pada titik inilah kita
kerap dihadapkan pada fenomena yang sering dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara
(ASN), yakni penyalahgunaan kendaraan dinas, baik yang digunakan sebelumnya
untuk mudik maupun arus balik pascalebaran. Ironisnya lagi, tak sedikit kepala
daerah yang justru “melegalkan” penyalahgunaan kendaraan dinas tersebut
meskipun dengan menyertakan persyaratan tertentu. Misalnya saja, Gubernur
Gorontalo Rusli Habibie yang mengizinkan penggunaan kendaraan dinas untuk
keperluan mudik dan arus balik namun seluruh biaya harus ditanggung menggunakan
uang pribadi, mulai dari biaya bahan bakar minyak (BBM), biaya pergantian oli,
hingga biaya perbaikan bila terjadi kerusakan.
Setali tiga uang, Bupati Bogor
Nurhayanti juga melegalkan penggunaan kendaraan dinas untuk keperluan mudik dan
sekaligus arus balik lebaran. Menurutnya, dari pada kendaraan dinas hilang di
kantor dinas saat libur lebaran, maka lebih baik kendaraan dinas tersebut
“dititipkan” pada ASN-nya. Lebih jauh, Nurhanyanti mengungkapkan bahwa
kendaraan dinas yang dipinjam untuk mudik (dan arus balik) lebaran harus
dirawat seperti milik pribadi. Merujuk data dari bagian Inventarisasi dan
Administrasi pada Dinas Pendapatan, Keuangan, dan Barang Daerah (BPKBD)
Kabupaten Bogor, jumlah kendaraan dinas yang dimiliki kabupaten tersebut mencapai
2.020 kendaraan yang terdiri dari 400 unit kendaraan roda empat, 120 kendaraan
roda enam, dan 1.500 unit kendaraan roda dua. Tercatat pula, masih ada beberapa
pemerintah daerah (Pemda) lainnya yang turut memberikan keleluasaan bagi para
ASN-nya untuk mudik dan arus balik lebaran menggunakan kendaraan dinas,
diantaranya Pemda Purwakarta, Pemda Aceh Tamiang, dan Pemda Sidoarjo.
Tidak
Masuk Akal
Jika dicermati, alur pola pikir kepala
daerah yang melegalkan penggunaan kendaraan dinas untuk mudik dan arus balik
pascalebaran bagi para ASN-nya itu sesungguhnya justru tidak masuk akal. Semisal,
pola pikir Gubernur Gorontalo Rusli Habibie yang pada intinya mewajibkan
seluruh biaya operasional dan perawatan kendaraan dinas selama mudik dan arus
balik mutlak ditanggung menggunakan biaya pribadi. Faktanya, tidak ada jaminan
bahwa biaya operasional dan perawatan kendaraan dinas yang digunakan mudik dan
arus balik lebaran itu akan sepenuhnya menggunakan biaya pribadi ASN yang
bersangkutan. Ambil contoh biaya pergantian oli, lazimnya pergantian oli
kendaraan akan dilakukan bila telah mencapai kilo meter (KM) sekitar 2.500
hingga 3.000. Sementara bila ASN itu mudik dari Jakarta ke Yogyakarta dan arus
balik dari Yogyakarta ke Jakarta, itu berarti selama pulang pergi (PP) hanya
menempuh jarak sekitar 1.102 KM. Maka, biaya pergantian oli kendaraan dinas itu
hampir pasti akan ditanggung pemda, bukan ASN yang meminjam kendaraan dinas
itu.
Demikian pula dengan alur pemikiran
Bupati Bogor, Nurhayanti yang intinya menyebut bahwa kendaraan akan lebih aman
bila dibawa oleh ASN-nya dari pada ditinggal di kantor dinas. Pemikiran
tersebut jelas sangat serampangan, sebab kendaraan yang sering dibawa bepergian
pada dasarnya jauh lebih berpotensi untuk hilang dicuri. Hal ini berbeda
tentunya bila kendaraan dinas itu “dirumahkan” di kantor dinas. Karena,
biasanya kantor dinas itu tidak sepenuhnya sepi meskipun pada saat libur lebaran
atau libur hari-hari besar lainnya. Pada umumnya masih ada pegawai keamanan
(sekuriti) yang selalu berjaga bergantian selama 24 jam untuk menjaga keamanan
kantor dinas tersebut. Maka, kendaraan dinas sesungguhnya jelas jauh lebih aman
bila “dirumahkan” dari pada dipinjamkan kepada ASN-nya untuk keperluan mudik
(dan arus balik) sebagaimana pemikiran Bupati Bogor, Nurhayanti.
Menyalahi
Konstitusi
Pada hakikatnya, penggunaan kendaraan
dinas tidak diperkenankan untuk keperluan lain selain dipergunakan untuk
menjalankan tugas dan fungsi kedinasan. Hal itu tegas termaktub dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 7 Tahun 2006 tentang Standarisasi
Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintah Daerah. Diantaranya diatur dalam Pasal 15
ayat (1) yang pada pokoknya menyatakan bahwa kendaraan dinas operasional/
kendaraan dinas jabatan disediakan dan dipergunakan untuk kegiatan operasional
perkantoran. Sementara, pada Pasal 16 ayat (1) mengatur kendaraan dinas
operasional khusus/lapangan disediakan dan dipergunakan untuk pelayanan
operasional khusus/lapangan dan pelayanan umum. Itu berarti, di luar
kepentingan untuk menjalankan fungsi dan tugas kedinasan, penggunaan kendaraan
dinas untuk keperluan lain, tak terkecuali untuk keperluan pribadi ASN seperti
mudik dan arus balik lebaran jelas dapat dikatakan menyalahi ketentuan
konstitusi.
Pun demikian bila merujuk Peraturan
Menteri (Permen) PAN Nomor 87 Tahun 2005 tentang Pedoman Peningkatan
Pelaksanaan Efisiensi, Penghematan, dan Disiplin Kerja. Dalam lampiran II poin
5 Permen tersebut dinyatakan bahwa penggunaan mobil dinas dibatasi hanya pada
hari kerja. Sementara, baik mudik maupun arus balik pada umumnya dilakukan pada
saat telah memasuki masa libur kerja. Walhasil, dari perspektif mana pun sulit
dipungkiri bahwa penggunaan kendaraan dinas untuk mudik maupun arus balik
merupakan bentuk pelanggaran terhadap ketentuan konstitusi. Itulah sebabnya,
kepala daerah yang melegalkan penggunaan kendaraan dinas untuk mudik dan arus
balik, serta para ASN yang tetap membandel menggunakan kendaraan dinas untuk
mudik dan arus balik patut diberikan sanksi yang relevan. Sehingga, selain
potensi kerugian keuangan negara/ daerah akibat penyalahgunaan kendaraan dinas
dapat dihindarkan, publik pun ke depan dapat mempunyai ASN yang betul-betul bisa
menjadi teladan. Semoga!.
Dimuat dalam opini Lampost edisi 28 Juli 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar