Quo Vadis Pemberantasan Prostitusi


(Dok. www.muslimdaily.net)

Penangkapan artis sekaligus model yang juga mimiliki pekerjaan sampingan (side job) sebagai pekerja seks komersial (PSK) berinisial AA bersama mucikarinya yang berinisial RA oleh Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan justru mempertegas potret buram pemberantasan bisnis prostitusi di negara ini. Faktanya, hingga kini hanya mucikarinya saja yang telah ditetapkan sebagai tersangka, yakni dijerat dengan Pasal 296 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sedangkan, PSK yang ditangkap bersamanya, yaitu AA maupun PSK lain yang berada dalam jaringan (daring) RA, serta para pengguna jasanya masih bebas berkeliaran tanpa tersentuh sanksi pidana sedikit pun. Realitas penegakan hukum yang demikian jelas sangat ironis dan melukai rasa keadilan di masyarakat. Di samping itu, dapat dipastikan penegakan hukum semacam itu tidak akan dapat menciptakan efek jera bagi para pelaku bisnis haram tersebut.
Karenanya, dalam rangka memberantas habitus bisnis protitusi hingga ke akar-akarnya, sangat diperlukan upaya penegakan hukum terhadap semua pelaku yang terlibat, baik itu mucikari, PSK, maupun pengguna jasanya. Namun demikian, perlu menjadi catatan khusus terhadap upaya penegakan hukum yang diterapkan kepada para PSK. Mengutip pemikiran pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel, hanya PSK yang menggeluti profesi itu secara sadar dan tanpa adanya unsur keterpaksaan yang harus diberikan sanksi hukum. Sementara, PSK yang menggeluti profesi itu karena pelbagai unsur keterpaksaan yang mengikutinya, seperti terjerat kemiskinan, terperangkap hutang, tidak mempunyai keterampilan memadai, dan rupa-rupa kemalangan hidup lain hendaknya tidak diberikan sanksi hukum, melainkan harus diselamatkan dengan upaya pembinaan dan pelatihan keterampilan hidup yang memadai.

LKHPN dan Sanksi Penyelenggara Negara


(Dok. www.kabarpns.com)

Pernyataan Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komjen Pol Budi Waseso (BW) terkait Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) menuai polemik di aras publik. Pasalnya, sebagaimana pemberitaan di pelbagai media BW menyatakan enggan melaporkan LHKPN ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya, akan lebih objektif bila LHKPN ditelusuri sendiri oleh KPK, bukan dilaporkan oleh penyelenggara negara yang bersangkutan. Jika ditelaah, pernyataan BW memang ada benarnya, akan tetapi bila dikaitkan dengan kewajiban sebagai penyelenggara negara menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku pernyataan BW jelas tidak tepat. Pelaporan LHKPN bagi setiap penyelenggara negara sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) adalah wajib hukumnya. Artinya, menjadi keharusan bagi setiap penyelenggara negara untuk menyerahkan LKHPN sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pun demikian yang tertuang dalam Keputusan KPK Nomor Kep.07/KPK/02/2005 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pemeriksaan dan Pengumuman LHKPN dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara, pelaporan LHKPN menjadi tanggung jawab yang tidak dapat dielakkan bagi setiap orang yang berkedudukan sebagai penyelenggara negara. Ironisnya, meskipun pelaporan LHKPN dalam UU dipandang sebagai kewajiban, namun jelas tidak diimbangi dengan sanksi yang memadai bila kewajiban itu dilanggar. Pada Pasal 20 UU Nomor 28 Tahun 1999 misalnya, setiap penyelenggara negara yang melanggar ketentuan (baca: tidak melaporkan LHKPN) hanya dikenai sanksi administratif saja. Maka tak heran, banyak penyelenggara negara yang terkesan mengesampingkan dan menyepelekan pelaporan LHKPN ke KPK. Padahal, LHKPN pada hakikatnya merupakan salah satu instrumen penting bagi KPK untuk mencegah praktik korupsi yang kerap dilakukan oleh oknum-oknum penyelenggara negara.