Tunjangan para Wakil Rakyat


(Dok. medan.tribunnews.com)

Sudah menjadi rahasia umum bila di periode awal Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi-JK) kondisi perekonomian nasional sedang mengalami perlambatan. Hal tersebut diakui sendiri oleh Presiden Jokowi, hanya saja presiden memberikan penekanan bahwa perekonomian Indonesia tidak mengalami krisis sebagaimana yang pernah terjadi di tahun 1998 silam. Dari perspektif makro paling tidak itu bisa dilihat dari menurunnya angka pertumbuhan ekonomi negara ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat angka pertumbuhan ekonomi nasional menurun, yakni dari 5,1 persen pada triwulan IV tahun 2014 menjadi hanya sebesar 4,1 persen pada triwulan I tahun 2015. Dampaknya, pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi secara masif di beberapa daerah. Mengutip pernyataan Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri hingga akhir Agustus 2015 angka PHK sudah menyentuh 26 ribu pekerja dari potensi PHK yang mencapai 30 ribu pekerja.
Di samping itu, perlambatan ekonomi nasional juga berimbas pada menurunnya daya beli masyarakat, meningkatnya ketimpangan pendapatan (koefisien gini), dan meningkatnya jumlah penduduk miskin. Pada titik ini, sulit dipungkiri bila kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah (lower middle class) menjadi lebih sulit. Nahasnya, di tengah kondisi mayoritas masyarakat yang demikian, Pemerintahan Jokowi-JK melalui Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang PS Brodjonegoro justru menyetujui usulan kenaikan tunjangan yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Persetujuan tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan (SK) Menkeu Nomor S.520/MK.02/2015 perihal Persetujuan Prinsip tentang Kenaikan Indeks Tunjangan Kehormatan, Tunjangan Komunikasi Intensif, Tunjangan Peningkatan Fungsi Pengawasan dan Anggaran, serta Bantuan Langganan Listrik dan Telepon bagi Anggota DPR.
Berdasarkan SK Menkeu tersebut maka tunjangan para wakil rakyat meningkat berdasarkan posisi (jabatan) masing-masing. Yakni, tunjangan kehormatan bagi ketua komisi naik menjadi Rp 11,15 juta dari Rp 6,69 juta, wakil ketua komisi naik menjadi Rp 10,75 juta dari Rp 6,45 juta, dan anggota naik menjadi Rp 9,3 juta dari Rp 5,58 juta. Tunjangan komunikasi intensif ketua komisi naik menjadi Rp 18,71 juta dari Rp 16,46 juta, wakil ketua komisi naik menjadi Rp 18,19 juta dari Rp 16 juta, dan anggota naik menjadi Rp 17,67 dari Rp 15,55 juta. Tunjangan peningkatan fungsi dan pengawasan anggaran ketua komisi naik menjadi Rp 7 juta dari  Rp 5,25 juta, wakil ketua komisi naik menjadi Rp 6 juta dari Rp 4,5 juta, dan anggota naik menjadi Rp 5 juta dari Rp 3,75 juta. Sedangkan untuk bantuan langganan listrik dan telepon, naik dari Rp 5,5 juta menjadi Rp 7,7 juta.
Tiga Alasan
Jika ditelaah secara mendalam, disetujuinya usulan kenaikan tunjangan para wakil rakyat  oleh pemerintah (baca: Kemenkeu) jelas bukan tanpa orientasi politik apa-apa. Besar kemungkinan hal tersebut merupakan suatu wujud politik transaksional dari eksekutif ke legislatif dengan tujuan agar setiap kebijakan yang dibuat pemerintah dapat diloloskan tanpa hambatan berarti dari DPR. Mengonfirmasi hal itu, pemikiran yang dilahirkan oleh para pemikir Frankfurt School yang notabene berasal dari kalangan Marxisme, mengungkapkan bahwa dunia politik adalah panggung transaksional antara kepentingan ekonomi/ bisnis dan politik/ kekuasaan (Supadiyanto, 2015). Sementara itu, mafhum disadari bahwa pertarungan politik di negara ini tidak saja terjadi antar partai politik (Parpol) ketika dalam pemilihan umum (Pemilu), tetapi juga terjadi antara pemerintah dan DPR ketika dalam pembahasan kebijakan maupun anggaran. Maka wajar bila kemudian, praktik politik transaksional yang kerap terjadi pada Pemilu, ikut merambah pula terjadi di level pemerintahan mengingat aktor-aktor politik pada Pemilu maupun pada pemerintahan sejatinya adalah orang yang sama.
Paling tidak ada tiga alasan utama yang dapat mendukung hal tersebut. Pertama, disetujuinya usulan kenaikan tunjangan bagi para wakil rakyat terkesan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Bahkan, pada tataran anggota dewan sendiri pun ada yang tidak mengetahui perihal adanya kenaikan tunjangan tersebut. Padahal, sebagaimana diberitakan pelbagai media SK Menkeu Nomor S.520/MK.02/2015 tersebut sudah ditanda tangani sejak 9 Juli 2015 lalu. Hal ini secara tidak langsung membuktikan bahwa telah terjadi deal-deal politik yang dilakukan antara pemerintah dan sebagian anggota DPR. Tak heran bila kemudian sebagian anggota DPR lainnya yang merasa tidak tahu menahu terkait kenaikan tunjangan tersebut pada akhirnya menolak kenaikan tunjangan bagi DPR tersebut.
Kedua, momentum kenaikan tunjangan DPR terkesan dipaksakan, yakni ketika kondisi perekonomian nasional sedang mengalami perlambatan. Padahal, lazimnya ketika kondisi perekonomian sedang tidak ideal, fokus utama pemerintah maupun para wakil rakyat ialah bersinergi menyiapkan kebijakan yang dapat memperkuat struktur perekonomian nasional itu sendiri. Bukan malah sebaliknya, menghambur-hamburkan uang negara hanya untuk kepentingan golongan tertentu, tak terkecuali kepentingan anggota dewan itu sendiri.
Ketiga, besaran kenaikan tunjangan yang tidak wajar, yakni mencapai 40 persen. Bila dibandingkan dengan besaran kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS) misalnya, besaran kenaikan tunjangan DPR hampir empat kali lipat lebih besar dari besaran kenaikan tunjangan PNS yang biasanya tak lebih dari 10 persen saja. Akhirnya, segala bentuk kebijakan yang berbau “transaksional” mutlak harus dibumi hanguskan karena pada akhirnya hanya akan menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat. Maka, menjadi harga mati bagi publik untuk terus menyuarakan penolakannya terhadap kenaikan tunjangan anggota DPR, baik melalui media massa maupun media sosial agar kebijakan tersebut segera direvisi oleh pemerintah. Semoga!.

Dimuat dalam opini Bali Post edisi 29 September 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar