(Dok. geotime.co.id) |
Sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) yang dipelopori oleh Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(F PDIP) mengajukan inisiatif untuk merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Tak tanggung-tanggung, dalam
draf revisi UU KPK yang diusung kali ini tak hanya mengandung skenario
pelemahan terhadap KPK saja. Namun lebih dari itu, karena dalam draf RUU yang
diusung mengandung skenario untuk mematikan komisi antirasuah tersebut. Realitas
itu tercermin jelas pada Pasal 5 draf revisi UU KPK yang secara spesifik
menyebutkan bahwa KPK dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak UU KPK
diundangkan. Pun demikian pada Pasal 73 yang secara tegas menyebutkan bahwa UU KPK
mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan berakhir setelah 12 tahun sejak
diundangkan. Dengan demikian, setelah lewat masa 12 tahun sejak diundangkan,
baik KPK maupun UU KPK akan dianggap sudah tidak ada lagi.
Nahasnya lagi, sebelum sampai pada tahap
mematikan KPK, usulan pemretelan kewenangan-kewenangan KPK seperti yang lazim
direncanakan oleh anggota dewan tak luput juga untuk dilakukan. Semisal terkait
penanganan perkara, dalam draf revisi UU KPK yang baru dinyatakan bahwa KPK
hanya diizinkan untuk mengangani perkara yang menyebabkan kerugian negara
paling sedikit Rp 50 miliar (Pasal 13 huruf b). Sementara, apabila KPK telah
melakukan penyidikan dan ditemukan kerugian negara di bawah Rp 50 miliar, maka
KPK wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti
dan dokumen lain yang diperlukan kepada polisi dan kejaksaan (Pasal 13 huruf
c). Padahal dalam UU KPK saat ini, batasan kerugian negara pada perkara korupsi
yang dapat ditangani KPK hanya sebesar Rp 1 miliar. Dengan menaikkan batas
kerugian negara hingga 50 kali lipat, maka jelas motivasi di balik inisiatif
revisi UU KPK kali ini ialah agar KPK tidak leluasa dalam menangani
perkara-perkara korupsi, utamanya yang melibatkan anggota dewan.
Pun demikian terkait
kewenangan-kewenangan vital KPK lainnya, seperti penyadapan, penyelidikan, dan
tak bisa mengeluarkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) ikut pula
masuk ke dalam agenda revisi. Jika ditelaah secara seksama, mekanisme yang
ditempuh oleh para anggota dewan untuk mematikan KPK serupa dengan strategi
perang kuno yang kerap diterapkan untuk menumpas lawan-lawan dalam peperangan.
Yakni, strategi perang yang lazim disebut mematikan kepiting. Strategi ini
dilakukan dengan mempreteli satu per satu kaki kepiting, setelahnya kepala
kepiting akan mudah saja dapat dimatikan. Hal serupa sekarang sedang terjadi
pada KPK di mana para anggota dewan kini berusaha mempreteli
kewenangan-kewenangan vital KPK melalui revisi UU KPK. Jika kewenangan-kewenangan
KPK sudah tidak lagi mumpuni, maka mudah ditebak KPK sebagai lembaga tidak akan
sulit untuk dimatikan. Bahkan, rakyat pun bukan tidak mungkin akan mendukung
upaya mematikan KPK itu karena KPK dianggap sudah tidak kompeten lagi untuk
memberantas praktik-praktik korupsi yang terjadi di negara ini.
Peran
Publik dan Media
Sesungguhnya bukan hal yang sulit untuk
menganalisa sebab anggota dewan yang terhormat kerap melakukan manuver-manuver
yang bertujuan membonsai atau bahkan mematikan KPK. Paling tidak itu bisa
dilihat dari kerancuan pemahaman para anggota dewan terkait argumentasi rencana
revisi UU KPK yang kerap disuarakan. Pada umumnya, anggota dewan menyatakan
bahwa diperlukannya revisi UU KPK karena UU KPK sudah tidak relevan lagi untuk
diterapkan. Tak jarang pula, ada anggota dewan yang berbasa-basi menyatakan
revisi UU KPK diperlukan untuk meningkatkan kinerja pemberantasan korupsi KPK. Jika
dianalisa secara mendalam, argumentasi para anggota dewan terkait upaya
pemberantasan korupsi tentu sangat naif dan sempit. Apabila benar-benar ingin meningkatkan
kinerja pemberantasan korupsi, mengapa hanya (kewenangan) KPK yang selalu
diutak-atik. Padahal, tanpa diutak-atik pun kewenangan yang dimiliki KPK saat
ini sudah mumpuni untuk menumpas para koruptor.
Di sisi lain, agak menggelikan ketika
(kewenangan) kepolisian dan kejaksaan terkait pemberantasan korupsi tidak
pernah menjadi pembahasan para legislator sekali pun sudah mahfum kinerja
pemberantasan korupsi kedua institusi tersebut masih jauh di bawah KPK. Hemat
penulis, apabila anggota dewan memang serius ingin menggiatkan pemberantasan
korupsi, maka sudah tentu perbaikan diterapkan terlebih dahulu kepada institusi
penegak hukum lain yang kinerjanya belum optimal. Pada titik ini, sulit
dipungkiri bahwa inisiatif para anggota dewan yang ingin mengutak-atik UU KPK
hanya bertujuan untuk melemahkan bahkan mematikan KPK saja. Itulah sebabnya,
apa pun alasan yang dikemukan anggota dewan terkait rencana revisi UU KPK harus
ditolak. Sebab jika benar-benar ingin menggiatkan pemberantasan korupsi, revisi
UU Kepolisian dan UU Kejaksaanlah yang harus dilakukan, bukan revisi UU KPK.
Karenanya, dalam konteks kekinian peran
publik dan media sangat diperlukan untuk mendorong para legislator merevisi UU
Kepolisian dan UU Kejaksaan. Paling tidak upaya tersebut diperlukan agar
kinerja pemberantasan korupsi Kepolisian dan Kejaksaan tidak ketinggalan
terlalu jauh dengan kinerja pemberantasan korupsi KPK. Selain itu, upaya revisi
UU Kepolisian dan Kejaksaan juga diperlukan untuk menggiatkan pemberantasan
korupsi bagi internal Kepolisian dan Kejaksaan sendiri. Sebagai institusi
penegak hukum, maka sudah sepatutnya mempunyai citra bersih (baca:
antikorupsi), tidak seperti sekarang ini, baik Kepolisian maupun Kejaksaan
justru dikenal sebagai salah satu institusi yang dikenal korup. Akhirnya, peluang
untuk merevisi UU KPK harus segera ditutup agar wacana/ inisiatif revisi tidak
terus berulang dari waktu ke waktu. Sehingga, kemampuan KPK untuk memberantas
korupsi dengan ganas dan garang tetap terjaga. Semoga.
Dimuat dalam opini Lampung Post edisi 22 Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar