Menyoal Indeks Persepsi Korupsi



(Dok. aticle.wn.com)

Bandung menjadi kota dengan indeks persepsi korupsi (IPK) terendah dari 11 kota yang menjadi sasaran survei Transparency International Indonesia (TII) tahun. Dari skala IPK 0 sampai 100 (0 berarti sangat korup dan 100 berarti sangat bersih),  Bandung hanya mendapatkan skor 39. Itu artinya, Bandung dipersepsikan menjadi salah satu kota yang paling korup di negeri ini. Sementara itu, tiga kota dengan IPK tertinggi yang artinya dipersepsikan menjadi kota paling bersih (baca: tidak korup) secara berturur-turut diduduki oleh Banjarmasin (skor 68), Surabaya (skor 65) dan Semarang (skor 60). Terlepas dari itu semua, secara keseluruhan efektivitas pemberantasan korupsi di daerah yang dipimpin oleh Ridwan Kamil itu tetap dapat dikatakan meningkat. Paling tidak ada dua indikator utama yang dapat dijadikan pijakan.
Pertama, IPK Bandung masih berada di atas IPK nasional yang sebelumya telah dirilis secara global oleh Transparency International (TI) pada tahun 2014 lalu. Dalam rilis TI tersebut, skor IPK Indonesia adalah 34. Walhasil, Indonesia berada pada posisi ke 117 dari total 175 negara yang disurvei. Kedua, IPK Bandung mengalami peningkatan sebesar 7 poin dari IPK periode tahun sebelumnya. Mafhum disadari, dalam rilis IPK tahun 2014 Bandung hanya memperoleh skor 32, sedangkan dalam rilis IPK tahun 2015 ini Bandung memperoleh skor 39 dari TII. Maka sekalipun dari sisi peringkat hasil survei TII tahun 2015 Bandung berada pada posisi paling buncit, akan tetapi secara nyata dapat dilihat bahwa telah terjadi perbaikan terhadap pemberantasan korupsinya.
Penghargaan Antikorupsi
Selaras dengan hal itu, Pemerintahan Kota (Pemkot) Bandung pun mendapatkan tiga penghargaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yakni, penghargaan laporan gratifikasi terbanyak, laporan gratifikasi tepat waktu, dan unit pengendalian gratifikasi (UPG) terbaik tahun 2014. Penghargaan antikorupsi yang diberikan pada Pemkot Bandung khususnya dan masyarakat Bandung pada umumnya tak hanya berhenti sampai di situ. Pasalnya karakter antikorupsi yang terus menguat pada Bandung “memaksa” KPK untuk tidak menjatuhkan pilihan pada kota lain sebagai kota percontohan untuk program-program antikorupsi. Teranyar, Bandung diganjar sebagai tuan rumah untuk peringatan Hari Antikorupsi Internasional (HAKI) yang puncaknya akan digelar pada 9 Desember 2015 mendatang.
Hal senada diungkapkan oleh Direktur Direktorat Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) KPK, Guntur Kusmeyono. Menurutnya, ditetapkannya Bandung sebagai kota percontohan program antikorupsi dan tuan rumah peringatan HAKI tahun 2015 karena Bandung mencerminkan karakter antikorupsi. Maka rendahnya IPK Bandung selain menjadi sebuah ironi di tengah persepsi kuatnya karakter antikorupsi kota tersebut, juga secara tidak langsung menjustifikasi bahwa Bandung belum layak sepenuhnya untuk menjadi tuan rumah event-event bergengsi antikorupsi.
Karena itu, Pemkot Bandung perlu menggiatkan kembali pelbagai usaha untuk menanamkan karakter antikorupsi, khususnya pada internal Pemkot Bandung dan masyarakat Bandung itu sendiri. Semisal dengan mengintensifkan pendidikan antikorupsi, mengintensifkan sosialisasi antikorupsi, dan memfasilitasi kampanye-kampanye antikorupsi. Sementara untuk penguatan karakter antikorupsi internal, Pemkot Bandung dapat menambahkannya dengan perbaikan pada transparansi sistem layanan publik, sistem pengendalian gratifikasi, dan koordinasi super visi bidang pencegahan.
Menyikapi Secara Bijak
Harus diakui, meskipun secara keseluruhan efektivitas pemberantasan korupsi di Bandung meningkat, tetapi hasil survei TII yang menempatkan Bandung di posisi paling buncit jelas menunjukkan bahwa kota tersebut masih mempunyai resiko korupsi yang cukup tinggi. Oleh sebab itu, selain perlu menggiatkan kembali pelbagai usaha menanamkan karakter antikorupsi, penting pula bagi Pemkot Bandung untuk memetakan ulang locus-locus basah yang menyebabkan masih suburnya praktik-praktik korupsi di Kota Kembang tersebut. Maka tak salah rasanya jika kemudian rilis IPK yang baru saja dikeluarkan oleh TII tersebut disikapi secara bijak oleh Pemkot Bandung.
Dalam konteks ini, Pemkot Bandung tidak boleh begitu saja menyepelekan atau bahkan cenderung apatis terhadap rilis IPK yang dikeluarkan oleh TII. Akan tetapi, Pemkot Bandung justru harus mau menelaah dan menganalisa rilis IPK tersebut secara cermat. Dengan demikian, sektor-sektor yang mempunyai resiko korupsi tinggi dapat dipetakan secara jelas dan tepat. Di samping itu, merujuk rilis IPK tersebut Pemkot Bandung juga dapat menjadikannya sebagai landasan untuk mengadopsi sistem-sistem yang digunakan oleh kota-kota lain yang berdampak pada relatif tingginya IPK mereka. Misalnya saja, sistem yang diterapkan Pemkot Surabaya yang mampu menempatkan kota tersebut berada pada posisi dua dengan IPK 65.
Salah satu sistem yang berperan signifikan mampu meningkatkan IPK kota tersebut yaitu Surabaya Single Window (SSW). Merujuk pernyataan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, sistem perizinan online terpadu tersebut selain mampu menghemat anggaran daerah juga dapat mendorong semakin tingginya tingkat transparansi proses perizininan di Surabaya. Walhasil, praktik-praktik korupsi di sektor yang kerap dicap sebagai salah satu “lahan basah” itu sulit berkembang. Akhirnya, posisi buncit IPK yang didapat Bandung pada tahun 2015 ini harus menjadi pelecut, baik bagi Pemkot Bandung, masyarakat Bandung, maupun stake holter terkait untuk lebih menggiatkan sinergisitas dan upaya pemberantasan korupsinya. Dengan demikian, ke depan diharapkan Kota Bandung akan benar-benar layak menjadi tuan rumah untuk event-event bergengsi antikorupsi sekaligus layak pula menjadi ikon kota antikorupsi di negara ini. Semoga!.

Dimuat dalam opini Harian Galamedia edisi  8 Oktober 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar