![]() |
(Dok. doa-bagirajatega.blogspot.com) |
Manuver politik anggaran Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), lagi-lagi menuai polemik di aras
publik. Kali ini DPR menyertakan nomenklatur anggaran baru dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara- Perubahan (APBN- P) 2015, yaitu Rumah Aspirasi. Nomenklatur
itu disertakan setelah DPR mendapatkan alokasi anggaran tambahan sebesar Rp
1,635 triliun dalam pembahasan rancangan APBN- P 2015 yang dilakukan pada
Februari lalu. Sehingga dalam APBN-P 2015, keseluruhan anggaran yang
dialokasikan untuk dewan yang terhormat itu nilainya tak kurang dari Rp 5,192
triliun. Dampak dari keberadaan nomenklatur Rumah Aspirasi itu, ke depan setiap
anggota dewan akan mendapatkan alokasi anggaran sekitar Rp 150 juta per tahun
atau setara Rp 12,8 juta per bulan (Analisa,
6/3/2015). Merujuk Pasal 213 Peraturan Tata Tertib DPR, alokasi anggaran
itu akan digunakan untuk membiayai pengelolaan rumah aspirasi, diantaranya
untuk menggaji para tenaga ahli dan staf administrasinya.
Luput
dari Publik
Manuver politik anggaran DPR itu sempat
luput dari perhatian publik mengingat pada bulan Februari, di mana APBN- P 2015
itu disahkan, perhatian publik tersedot oleh vis a vis yang melibatkan KPK dan Polri. Namun demikian, tidak ada
kata terlambat bagi publik untuk mengkritisi atau bahkan menggugat manuver
politik anggaran DPR yang telah menambahkan nomenklatur Rumah Aspirasi
tersebut. Ini penting dilakukan mengingat bergelimangnya anggaran tidak
menjamin kinerja anggota dewan, utamanya terkait penyerapan aspirasi publik
juga akan mengalami peningkatan. Sebagai gambaran, terkait fungsi penyerapan
aspirasi publik, anggota dewan dalam satu bulannya rata-rata telah menerima
anggaran sekitar Rp 64 juta, terdiri dari tunjangan dana reses sebesar Rp 150
juta per triwulan dan tunjangan komunikasi sebesar Rp 14 juta per bulan.
Faktanya, apa yang disuarakan anggota dewan di parlemen kerap berbeda seratus
delapan puluh derajat dengan aspirasi publik di akar rumput (grass root).
Terkait pelemahan (baca: kriminalisasi) KPK misalnya, tak ada satu pun anggota dewan yang berani pasang badan untuk menentang pelemahan yang terjadi pada KPK. Padahal suara publik di akar rumput sangat jelas, yaitu menolak pelbagai wujud pelemahan terhadap KPK, baik yang dialamatkan pada jajaran pimpinannya maupun yang diarahkan pada para penyidiknya. Itu karena publik sangat menyadari bahwa peran KPK yang sangat vital dalam pemberantasan korupsi di negara ini. Ironisnya, belakangan anggota dewan justru kembali berencana untuk mengamandemen Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau yang lazim disebut UU KPK. Padahal, merujuk salah satu unsur pimpinan KPK, Zulkarnaen, UU KPK tersebut masih relevan dan memadai untuk diterapkan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Maka sulit diterima nalar, aspirasi yang mana sebenarnya yang selalu disuarakan oleh anggota dewan di parlemen, aspirasi publik atau hanya aspirasi segelintir elit partainya saja?.
Terkait pelemahan (baca: kriminalisasi) KPK misalnya, tak ada satu pun anggota dewan yang berani pasang badan untuk menentang pelemahan yang terjadi pada KPK. Padahal suara publik di akar rumput sangat jelas, yaitu menolak pelbagai wujud pelemahan terhadap KPK, baik yang dialamatkan pada jajaran pimpinannya maupun yang diarahkan pada para penyidiknya. Itu karena publik sangat menyadari bahwa peran KPK yang sangat vital dalam pemberantasan korupsi di negara ini. Ironisnya, belakangan anggota dewan justru kembali berencana untuk mengamandemen Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau yang lazim disebut UU KPK. Padahal, merujuk salah satu unsur pimpinan KPK, Zulkarnaen, UU KPK tersebut masih relevan dan memadai untuk diterapkan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Maka sulit diterima nalar, aspirasi yang mana sebenarnya yang selalu disuarakan oleh anggota dewan di parlemen, aspirasi publik atau hanya aspirasi segelintir elit partainya saja?.
“Orang
Kuat Partai”
Pada hakikatnya, keberadaan Rumah Aspirasi
memang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap anggota dewan. Sehingga,
proses komunikasi politik antara konstituen dan masing-masing wakilnya di
parlemen bisa berjalan dengan baik. Hanya saja, persoalan rendahnya penyerapan
aspirasi publik oleh anggota dewan dewasa ini sama sekali tidak terkait dengan
hal yang demikian. Faktanya, anggota dewan di parlemen terhadap pelbagai
polemik yang terjadi di negara ini, justru kerap tunduk pada keputusan “orang
kuat partai”, bukan tunduk pada aspirasi publik sebagaimana lazimnya
orang-orang yang telah menjadi wakil dari rakyat. Maka, jelas bahwa meskipun
alokasi anggaran untuk penyerapan aspirasi publik ditingkatkan, tidak akan
berpengaruh signifikan terhadap pengambilan kebijakan-kebijakan di parlemen.
Terlepas dari hal itu, jika ditilik dari
perspektif perwakilan politik, Rumah Aspirasi sesungguhnya juga tidak menemukan
relevansinya dengan sistem perwakilan politik yang diterapkan oleh negara ini.
Jamak diketahui, negara ini menerapkan sistem perwakilan politik yang disebut
demokrasi perwakilan (representative
democracy). Dalam sistem perwakilan tersebut, perwakilan politik di
parlemen ditentukan dengan perhitungan suara terbanyak pada masing-masing
daerah pemilihan (dapil). Dapil pemilu DPR ialah provinsi, kabupaten/ kota,
atau gabungan kabupaten kota. Mengacu lampiran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, jumlah keseluruhan dapil
pemilu untuk memilih anggota DPR tercatat 77 dapil. Maka, Rumah Aspirasi bila
dimaksudkan sebagai representasi perwakilan rakyat, semestinya diberikan kepada
77 dapil bukan kepada setiap anggota dewan sebagaimana keterangan yang
tercantum dalam nomenklatur Rumah Aspirasi pada APBN- P 2015.
Pun pada tataran lebih tinggi, peserta
pemilu dalam demokrasi perwakilan sebagaimana merujuk pada Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945, terdiri dari (i) Parpol atau gabungan parpol untuk pemilu Presiden
dan Wakil Presiden (Pasal 6), (ii) Parpol untuk pemilu anggota DPR dan DPRD
(Pasal 22E ayat 3), dan (iii) Perseorangan untuk pemilu anggota DPD (Pasal 22E
ayat 4). Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa representasi perwakilan rakyat
di parlemen ialah parpol yang menempatkan kadernya dalam parlemen, bukan anggota
dewan sebagai individu (perseorangan). Maka, sekali lagi sangat tidak tepat
bila Rumah Aspirasi dalam APBN-P 2015 diarahkan dan diberikan kepada setiap
anggota dewan sebagai individu. Akhirnya, menjadi harga mati bagi publik untuk
menolak realisasi Rumah Aspirasi anggota dewan meskipun dalam APBN-P 2015
nomenklatur dan alokasi anggarannya telah disahkan. Sebab dari perspektif
urgensi hingga relevansinya bagi publik tidak menemukan keterkaitan yang tepat.
Dalam konteks ini, jika anggota dewan terhormat adalah benar-benar representasi
dari suara rakyat, maka anggota dewan semestinya akan mendukung kehendak rakyat
menolak Rumah Aspirasi, bukan sebaliknya. Wallahu a’lam.
Dimuat dalam opini Harian Analisa edisi 18 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar