![]() |
(Dok. memobee.com) |
Ada sebuah strategi perang kuno yang
barang kali menemukan relevansinya dalam skenario terselubung pelemahan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang masif terjadi belakangan ini. Yaitu, membunuh “kepiting”
dengan terlebih dahulu mematahkan satu per satu kaki-kakinya. “Kepiting” dalam
hal ini dapat diartikan sebagai upaya pemberantasan korupsi, sementara
“kaki-kaki kepiting” dapat diartikan sebagai institusi atau pun orang-orang
yang berada di garda terdepan upaya pemberantasan korupsi. Maka, mengacu Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK), institusi yang berada pada garda
terdepan pemberantasan korupsi ialah KPK dan orang-orang yang berada di garda
terdepan pemberantasan korupsi ialah jajaran komisionernya. Sehingga dalam
rangka melemahkan atau bahkan melumpuhkan pemberantasan korupsi, “mematahkan”
satu per satu komisioner KPK tentu menjadi sebuah cara yang tepat dan efektif.
Realitas yang terjadi belakangan ini, terminologi
“mematahkan” komisioner KPK jelas tersirat dari masifnya tindakan menjerat
komisioner KPK dalam kasus hukum tertentu yang entah ada atau memang hanya
diada-adakan. Pascapenetapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sebagai
tersangka atas dugaan melanggar Pasal 242 jo Pasal 55 KUHP perihal sumpah palsu
dan keterangan palsu, secara berturut-turut jerat hukum juga coba dilakukan
terhadap komisioner-komisioner KPK lainnya. Adnan Pandu Praja dilaporkan ke
Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) oleh kuasa hukum PT Desy Timber, Mukhlis Ramlan
atas dugaan perampasan saham dan aset perusahaan, sedangkan Abraham Samad
dilaporkan oleh direktur eksekutif KPK Watch Indonesia, Muhammad Yusuf Sahide
atas dugaan melanggar Pasal 36 dan Pasal 65 UU KPK. Belakangan, santer
terdengar kabar nama komisioner KPK yang tersisa, Zulkarnaen juga akan
dilaporkan ke Bareskrim atas dugaan korupsi dana hibah Program Penanganan
Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) pada tahun 2008.
Kemungkinan
Terburuk
Dalam konteks kekinian, kemungkinan
terburuk yang bisa terjadi pada KPK ialah terjadinya kekosongan posisi
komisioner KPK. Sebab, mengacu Pasal 32 ayat (2) dan ayat (3) UU KPK,
pemberhentian sementara komisioner KPK yang ditetapkan sebagai tersangka adalah
sebuah keniscayaan. Ini berarti pemberantasan korupsi di negara ini akan
mengalami kelumpuhan total. Pasalnya, pengambilan kebijakan-kebijakan penting,
misalnya terkait peningkatan status kasus korupsi yang sedang diselidiki atau
penetapan tersangka seseorang tidak dapat dilakukan. Itulah sebabnya, penguatan
KPK sebagaimana janji politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada saat masa
kampanye Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 lalu mutlak segera direalisasikan. “Kita
ingin memperkuat KPK, baik tambahan penyidik, juga tambahan regulasi yang ada”,
demikian janji politik Presiden Jokowi ketika berkampanye di jalan Menteng,
Jakarta Pusat (SH, 08/06/2014).
Yang tak kalah penting, penguatan KPK harus
mempertimbangkan skenario pelemahan terselubung yang kerap digunakan untuk
melemahkan KPK itu sendiri. Dengan kata lain, penguatan KPK mesti dilakukan
dengan mempertimbangkan aspek paling mendesak yang berpotensi besar melumpuhkan
KPK dari waktu ke waktu. Berkaca dari konfrontasi “Cicak vs Buaya” jilid satu
dan jilid dua, serta konfrontasi saat ini yang oleh publik disebut dengan
“Cicak vs (Buaya + Banteng)”, sekiranya tepat bila penguatan terhadap KPK
dilakukan dengan memberikan hak imunitas pada jajaran komisioner KPK. Dengan
catatan, imunitas yang diberikan harus bersifat terbatas dengan batasan-batasan
tertentu yang jelas dan lugas. Misalnya, hanya selama masa menjabat sebagai
komisioner KPK saja dan bukan merupakan pelanggaran hukum yang tergolong
kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime).
Tetap
Bisa di Proses Hukum
Dengan adanya batasan-batasan dalam hak imunitas
tersebut, maka kekhawatiran sebagian pihak terkait akan munculnya
malaikat-malaikat semu yang kebal hukum dapat ditepis. Pasalnya, setiap
komisioner KPK tetap bisa dijerat melalui jalur hukum bila tindakan melanggar
hukum yang dilakukan di luar batasan-batasan yang telah ditetapkan dalam hak
imunitas itu. Misalnya, bila terdapat salah satu komisioner KPK yang
terindikasi terlibat jaringan terorisme ketika menjabat sebagai komisioner KPK.
Maka, mengingat terorisme termasuk dalam kejatahan extra ordinary crime, komisioner KPK tersebut bisa langsung diseret
ke jalur hukum tanpa perlu menunggu masa jabatannya sebagai komisioner KPK
selesai. Pun demikian dengan tindakan melanggar hukum di luar kejahatan extra ordinary crime yang mungkin
dilakukan ketika menjabat sebagai komisioner KPK, tetap bisa diseret ke jalur
hukum ketika jabatan sebagai komisioner KPK telah berakhir. Sehingga, meskipun
komisioner KPK mempunyai hak imunitas, tetapi di sisi lain mereka akan tetap
dituntut untuk melakukan pelbagai tindakan yang tidak melanggar hukum.
Dengan skenario seperti itu, maka
ancaman kelumpuhan total pemberantasan korupsi di negeri ini bisa dihindari.
Demikian juga celah atau cacat hukum yang mungkin bisa terjadi pada kebijakan
yang ditetapkan oleh KPK akibat kekosongan jabatan salah satu atau beberapa
komisioner KPK karena dijadikan tersangka kasus hukum tertentu. Pasal 21 ayat
(5) UU KPK menyatakan bahwa komisioner KPK bekerja secara kolektif kolegial.
Ini artinya, kekosongan satu jabatan saja pada jajaran komisioner KPK bisa
berpotensi menjadikan kebijakan yang diambil mengalami cacat hukum mengingat
yang dimaksud dengan komisioner KPK dalam UU KPK ialah lima orang. Akhirnya,
penguatan terhadap KPK mesti menjadi prioritas bagi Presiden Jokowi agar
skenario pelemahan terselubung terhadap KPK tidak berulang dari waktu ke waktu.
Minimal hal itu bisa menjadi bukti prestasi Presiden Jokowi di tengah
keprihatinan publik terhadap kinerja seratus hari masa pemerintahannya. Wallahu
a’lam.
Dimuat dalam opini Sinar Harapan 5 Februari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar