Mewaspadai Pelemahan UU KPK


(Dok inilah.com)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampaknya benar-benar sedang berada dalam fase ujian terberatnya di periode Pemerintahan Jokowi Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi- JK) saat ini. Setelah upaya kriminalisasi terhadap jajaran komisioner KPK berbuah hasil dengan ditetapkannya dua komisioner KPK sebagai tersangka, eksistensi KPK kembali terancam. Kali ini oleh ulah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berencana mengutak-atik kewenangan KPK melalui amandemen Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Manuver itu telah disiapkan oleh DPR dengan memasukkan rencana amandemen UU KPK ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR periode 2014-2019. Total terdapat 159 rancangan undang-undang (RUU) yang masuk daftar Prolegnas dan 37 RUU diantaranya akan menjadi prioritas diselesaikan pada tahun ini.
Publik tentu patut mewaspadai manuver DPR terkait rencana amandemen UU KPK tersebut. Pasalnya, menurut salah satu komisioner KPK, Zulkarnaen, UU KPK masih relevan dan memadai untuk diterapkan pada saat ini. Dengan kata lain, dari sisi esensi dan urgensi, amandemen terhadap UU KPK belum menemukan relevansinya yang memaksa untuk harus segera diamandemen. Pun demikian dari substansi materi yang akan diamandemen, berhembus kabar yang justru kontraproduktif dengan penguatan terhadap KPK itu sendiri. Misalnya, rencana menghilangkan kewenangan penyadapan (Pasal 7), rencana memberikan kewenangan penghentian perkara (Pasal 40), dan penyitaan harus dengan izin pengadilan (Pasal 47). Bila substansi materi itu terealisasi dalam amandemen UU KPK mendatang, maka KPK jelas bukan semakin kuat, melainkan semakin lemah dan mudah diintervensi.
Harus diakui, pelbagai kewenangan KPK utamanya yang terdapat pada Pasal 6 (kewenangan penuntutan), Pasal 7 (kewenangan penyadapan), Pasal 12 (pembekuan rekening), Pasal 40 (tidak ada penghentian perkara), dan Pasal 47 (penyitaan tanpa izin), merupakan tulang punggung KPK untuk membabat habis para koruptor. Oleh sebab itu, utak-atik kewenangan KPK yang termaktub dalam pasal-pasal tersebut mutlak harus diwaspadai oleh publik. Pun demikian dengan media, penting pula turut mengawal rencana amandemen UU KPK agar sesat pikir pembonsaian UU KPK tidak benar-benar terjadi. Berkaca dari pengalaman tahun lalu, kolaborasi peran publik (baca: relawan) dan media pernah sukses dalam mewujudkan kontestasi elektoral pemilu presiden (Pilpres) 2014 yang aman dan berkualitas. Terbukti, meskipun pelbagai bentuk kampanye hitam (blag campaign) masif menyerang kedua pasangan calon, yaitu pasangan Jokowi- JK dan Prabowo- Hatta, tetapi pemilu tetap berjalan aman dan sesuai dengan ketentuan konstitusi.
Dalam konteks ini, peran publik dan media yang demikian penting pula diterapkan  untuk mengawal rencana amandemen UU KPK. Pasal-pasal yang menjadi tulang punggung bagi KPK dalam membabat habis para koruptor mesti dikawal agar tidak diutak-atik oleh DPR. Di sisi lain, jika rencana amandemen itu memang benar dimaksudkan untuk memperkuat KPK, maka publik dan media penting mendorong agar DPR memasukan hak imunitas (kebal hukum) dalam amandemen UU KPK tersebut. Urgensi hak imunitas bagi KPK, baik bagi jajaran komisioner maupun penyidiknya tentu tidak perlu menjadi perdebatan lagi mengingat tantangan KPK dalam memberantas korupsi semakin besar. Fenomena pelemahan KPK melalui kriminalisasi terhadap jajaran komisionernya yang dilakukan secara masif dan terstruktur belakangan ini adalah bukti nyata betapa hak imunitas penting disertakan dalam UU KPK. Akhirnya, komitmen Pemerintah dan DPR dalam memberantas praktik korupsi mesti dibuktikan dengan memberika penguatan terhadap KPK. Maka, rencana amandemen UU KPK harus melahirkan kewenangan tambahan yang memperkuat posisi KPK, bukan malah sebaliknya. Wallahu a’lam!.

Dimuat dalam opini Tribun Jogja edisi 3 Maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar