Spirit Multikulturalisme Piala Dunia


(Doc. Sinarharapan.co)
Saat ini, miliaran pasang mata sedang diarahkan pada pesta olahraga terakbar sejagad raya, yakni Piala Dunia (World Cup). Piala dunia kali ini diselenggarakan di Brasil dan merupakan Piala Dunia ke 20 dari seluruh rangkaian Piala Dunia yang pernah di gelar. Dalam sejarahnya, banyak yang belum tahu bahwa negara kita tercinta ini juga pernah sekali ikut berpartisipasi dalam putaran final Piala Dunia, yaitu pada Piala Dunia ketiga di Prancis tahun 1938. Kala itu, Indonesia belum menjadi negara yang merdeka, sehingga keikutsertaannya juga tidak menggunakan nama Indonesia melainkan menggunakan nama Dutch East Indies (Hindia Belanda). Para pemainnya terdiri dari gabungan warga Indonesia, Tiongkok, dan Belanda. Mereka diantaranya adalah Achmad Nawir, Mo Heng, Anwar Soetan, Henk Zomers, Hong Djien, dan G Van Den Burg. Pada pertandingan pertamanya, tim ini dilibas oleh kesebelasan Hungaria 6 gol tanpa balas. Sementara, tuan rumah Perancis disingkirkan Italia di perempat final dengan skor 1-3. Gli Azzurri (julukan timnas Italia) akhirnya terus melaju dan menundukkan Hungaria di final dengan skor 4-2, hingga kemudian menjadi juara Piala Dunia untuk pertama kalinya.

Kekhawatiran Pilpres Dua Putaran


(Dok. Investor.co.id)
Mendekati pelaksanaan pemilu presiden (Pilpres) 2014, ada persoalan penting yang tiba-tiba menyedot perhatian banyak pihak yaitu terkait multitafsir pemenang Pilpres satu putaran. Pangkal persoalannya ialah isi dari Pasal 6A ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Pasal 6A ayat 1 UUD 1945 disebutkan “Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia di lantik menjadi presiden dan wakil presiden”. Ayat tersebut dijabarkan dalam Pasal 159 ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2008, “Jika tidak ada pasangan capres- cawapres yang memenuhi syarat kemenangan yang ada dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945, pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung”. Secara sederhana, tafsir atas Pasal tersebut tentu bisa dipahami bahwa meski hanya ada dua pasangan capres- cawapres di Pilpres 2014, akan tetapi tidak menjamin Pilpres hanya akan berlangsung satu putaran. Pilpres putaran kedua bisa saja terjadi, jika pasangan capres- cawapres yang memperoleh lebih dari 50 persen suara tidak diikuti dengan sebaran minimal 20 persen suara di lebih dari separuh jumlah provinsi di Indonesia. Benarkah demikian?

Politik Black Campaign

(Dok. Galamedia)


Kampanye hitam (black campaign) tanpa disadari kini telah benar-benar menjelma menjadi senjata politik pemusnah massal. Senjata pemusnah itu saat ini semakin sering ditembakkan ke publik dengan tujuan mengalahkan lawan dan mempengaruhi preferensi pemilih di bilik suara pada 9 Juli mendatang. Dua kandidat calon presiden (capres) Republik Indonesia ke tujuh yaitu Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto, secara kasat mata sama-sama telah menjadi sasaran empuk senjata politik pemusnah ini. Kampanye hitam yang menyerang Jokowi antara lain isu tentang kadar ke-Islaman Jokowi, sms penghapusan renumerasi dan tunjangan bagi guru, serta yang paling radikal adalah foto iklan kematian Jokowi. Sementara, kampanye hitam yang ditujukan untuk Prawowo yaitu isu permintaan kewarganegaraan Yordania, isu keterlibatan Prabowo dalam penculikan dan kerusuhan 1998, serta isu pemukulan pada saat pendaftaran pasangan capres-cawapres di KPU (20/5). Di negara ini, kampanye hitam memang masih dipandang sebagai jurus ampuh untuk menjatuhkan lawan politik dalam perebutan kursi kekuasaan. Fenomena ini menunjukkan bahwa etika berpolitik elitis di negeri ini masih sangat buruk serta tidak siap untuk menerima kekalahan politik. Oleh sebab itu, peran KPU, Bawaslu, dan partai politik sangat diperlukan untuk mencegah masifnya kampanye hitam dalam Pilpres 2014 kali ini. Harus ada tindakan tegas dari lembaga-lembaga tersebut yang menunjukkan tidak mentolerir penggunaan kampanye hitam.

Tantangan Distribusi Guru Nasional

(Dok. Sinarharapan.co)


Pergelaran Pilpres 2014, seakan menjadi pembenaran bagi pemerintah untuk melupakan isu-isu dasar tentang persoalan pendidikan. Padahal, setumpuk persoalan pendidikan telah lama menanti untuk dicarikan solusi. Salah satu persoalan klasik yang hingga saat ini kurang mendapatkan perhatian serius dari pemerintah adalah pemerataan distribusi guru. Guru hanya menumpuk di perkotaan, di pedesaan dan di daerah-daerah strategis saja, sementara di daerah 3T (terluar, terdepan, tertinggal) jumlah guru sangatlah tidak sepadan dengan banyaknnya siswa yang ada. Data Pemetaan guru dari BPSMP- PMP Kemendikbud (2011) menunjukkan bahwa persebaran guru masih sangat sentralistik. Di perkotaan, jumlah guru berkelebihan hingga 52 persen, di pedesaan berkelebihan hingga 68 persen, sedangkan di daerah 3T terjadi kekurangan guru hingga 66 persen. Ketidakmerataan distribusi guru tersebut jelas akan berpengaruh pada kualitas pendidikan di Tanah Air secara menyeluruh. Daerah yang mempunyai rasio perbandingan guru dan murid ideal tentu akan mempunyai generasi penerus pembangunan yang cakap, berkualitas, dan berilmu. Sedangkan daerah 3T yang notabene memang mengalami defisit guru, tentu akan kesulitan melahirkan generasi penerus seperti yang diharapkan. Karena itu, pemerataan distribusi guru seharusnya mutlak menjadi prioritas utama pemerintah dan Kemendikbud untuk segera diselesaikan dalam sisa waktu periode pemerintahan empat bulan ke depan. Sudah menjadi kewajiban pemerintah, khususnya Kemendikbud tentunya untuk membuka kesempatan seluas-luasnya bagi pemenuhan kebutuhan pendidikan seluruh rakyat Indonesia, tak terkecuali untuk generasi penerus bangsa yang tinggal di daerah 3T tersebut.

Mempertimbangkan Undecided Voters

(Dok. Solopos)


Persaingan menuju singgasana RI 1- RI 2 yang diikuti oleh dua kandidat pasangan capres- cawapres, yaitu Prabowo Subianto- Hatta Rajasa dan Joko Widodo (Jokowi)- Jusuf Kalla semakin menunjukkan persaingan yang sangat ketat. Terbukti, dari berbagai survei terbaru, elektabilitas kedua pasangan kandidat presiden dan wakil presiden tersebut semakin menunjukkan gap yang tidak terlalu jauh, yakni dikisaran 9 hingga 14 persen saja. Berdasarkan hasil survei elektabilitas Soegeng Sarjadi School of Goverenment (SSSG) yang dirilis pada 4 Juni lalu misalnya, tingkat elektabilitas Prabowo Subianto- Hatta Rajasa dikisaran 28,35 persen, sementara Jokowi- Jusuf Kalla dikisaran 42,65 persen. Pada survei ini pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) sebanyak 29,00 persen. Survei tersebut dilakukan dengan wawancara telepon terhadap 1.250 responden di 10 kota besar di seluruh Indonesia. Rilis serupa dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengenai tingkat elektabilitas kandidat capres- cawapres juga tidak berbeda jauh hasilnya. Elektabilitas Prabowo- Hatta diangka 22, 75 persen, elektabilitas Jokowi- Jusuf Kalla diangka 35,42 persen, dan undecidedd voters diangka 41,83%. Menurut prediksi beberapa pengamat politik nasional, di masa kampanye gap elektabilitas kedua pasangan capres- cawapres tersebut diyakini akan terus menipis. Karena itu, menyisir kelompok pemilih yang mempunyai potensi suara signifikan menjadi hal yang mutlak dilakukan pada masa kampanye ini. Lebih dari itu, pendekatan dan strategi politik dalam menggaet lumbung-lumbung suara juga harus dimantapkan. Faktanya, pemilih yang belum mempunyai pilihan atau undecided voters, angkanya sangat signifikan. Artinya, strategi dan pendekatan politik yang diterapkan saat ini oleh masing-masing kubu capres- cawapres, terbukti tidak optimal. Apabila total daftar pemilih tetap (DPT) Pilpres 2014 diperkirakan sebanyak 190 juta, maka potensi undecided voters bisa mencapai 70 juta suara. Dengan tingkat elektabilitas masing-masing pasangan capres- cawapres saat ini, maka jelas bahwa pasangan yang mampu menggaet undecided voters, akan berpotensi besar memenangkan persaingan Pilpres 2014 kali ini.

Subsidi, Politisasi, dan Debat Pilpres

(Dok. Nasional.Inilah.com)


Berkaca dari dua kali era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), subsidi BBM menjadi permasalahan pelik dan dilematis yang hingga kini belum dapat dituntaskan. Celakanya, visi-misi kedua pasangan capres- cawapres yang akan bertarung di Pilpres 2014, yakni Prabowo- Hatta dan Joko Widodo (Jokowi)- Jusuf Kalla, tidak memberikan ketegasan terkait penyelesaian persoalan klasik tersebut. Dalam artian bahwa tidak ada satu pasangan pun yang berani mengatakan secara tegas tentang penghapusan subsidi BBM ini. Padahal, penghapusan subsidi BBM pada akhirnya adalah hal mutlak yang harus dilakukan negara demi menyelamatkan APBN dan kepentingan masyarakat secara luas. Tim sukses dari pasangan Prabowo- Hatta, Drajad Wibowo secara tersirat mengungkapkan bahwa prioritas utama adalah tidak menaikkan harga BBM bersubsidi. Mekanisme penekanan anggaran subsidi BBM dilakukan dengan pengenaan instrumen pajak atau cukai tambahan bagi masyarakat mampu yang menggunakan BBM bersubsidi. Sementara tim sukses Jokowi- Jusuf Kalla, Darmawan Prasojo mengungkapkan subsidi BBM akan dikurangi secara bertahap dalam jangka waktu empat tahun ke depan. Mekanisme tersebut akan dibarengi dengan konversi BBM ke gas dan penyiapan energi alternatif. Jika ditelaah, maka politik subsidi BBM yang ditawarkan oleh kedua pasangan capres- cawapres tersebut jelas belum memenuhi aspek antisipatif, komprehensif, dan berkesinambungan. Mekanisme yang ditawarkan cenderung hanya sebatas pada pertimbangan populis semata. Oleh sebab itu, harapan terselesaikannya isu klasik subsidi BBM pada pundak presiden baru mendatang, agaknya masih jauh dari kenyataan.

Amanat, Netralitas, dan Pilpres 2014

(Dok. investor.co.id)


Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang siapapun juga!. Demikianlah amanat Panglima Besar Jenderal Sudirman yang disampaikan pada saat konferensi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), 12 November 1945 di Yogyakarta. Ketegasan Panglima Besar Jenderal Sudirman membawa prajurit negara (militer) menjauhi ranah politik tentu bukan tanpa sebab. Keterlibatan militer dalam politik hanya akan merusak kompetisi politik, mendistorsi kebijakan politik, serta menciptakan keresahan sosial dalam rangka bargaining politik keamanan (Ikrar Nusa Bhakti, 1999). Argumen tersebut bukan tanpa bukti nyata. Pada era Orde Baru, militer mempunyai pengalaman yang cukup pahit imbas dari “dijerumuskan” oleh penguasa ke dalam pusaran kekuasaan. Kala itu, militer dikendalikan dan dikuasai sedemikian rupa, sehingga turut aktif di dalam lembaga eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif. Selain itu, militer juga kerap menjadi kuda tunggang pemerintah sipil untuk meloloskan kebijakan-kebijakannya. Akibatnya, terjadi apa yang disebut oleh Samuel Huntington dengan political decay (pembusukan politik), berwujud instabilisasi politik, inefisiensi perekonomian, inkonsistensi kebijakan, dan inkonsistensi penegakkan hukum. Bagi internal militer sendiri, baik ditubuh TNI (dulu ABRI) maupun Polri berakibat pada lemahnya internal institusi, rendahnya apresiasi masyarakat, dan juga impian menuju prajurit-prajurit TNI/ Polri profesional menjadi semakin jauh dari harapan.

Generasi Tanpa Perokok

(Dok. bebasrokok.org)

“Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok. Di sawah petani merokok, di pabrik pekerja merokok, di reses parlemen anggota DPR merokok, di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok, hansip- bintara- perwira nongkrong merokok, di perkebunan pemetik buah kopi merokok, di perahu nelayan penjaring ikan merokok, di pabrik petasan pemilik modalnya merokok, di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok. Indonesia adalah semacam firdaus- jannatu- na’im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok”. Demikian petikan bait-bait puisi sarat makna karya Taufik Ismail yang bertajuk “Tuhan Sembilan Senti”. Pada benda sepanjang sembilan senti itu, masyarakat Indonesia rela menyerahkan segala-galanya. Harta, susu untuk anak, kesehatan dan bahkan nyawanya sendiri, rela diserahkan pada “Tuhan” yang panjangnya hanya sembilan senti itu. Merokok, kini sudah dianggap hal biasa, tak berbahaya, dan tak perlu lagi dipersoalkan. Padahal faktanya, kegiatan ini lebih banyak memberikan efek mudharat bagi masyarakat. Lebih dari itu, efek jangka panjangnya juga sangat berbahaya dan lebih sulit diatasi. Celakanya, pemerintah sebagai pemegang otoritas kekuasaan tertinggi di negera ini tak pernah mau serius dalam membuat peraturan-peraturan yang membatasi peredaran rokok. Dua kubu pemegang peran sentral pembatasan rokok, yakni Kementerian Kesehatan di satu sisi dan di sisi lain Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian serta Kementerian Pertanian, selalu berjalan sendiri-sendiri jika dihadapkan dengan persoalan rokok ini. Walhasil, peredaran rokok semakin merajalela dan jumlah perokok aktif selalu mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahunnya. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), jumlah perokok aktif pada tahun 2013 lalu mencapai 90 juta jiwa atau 36,3%. Jumlah ini meningkat 2,1% jika dibandingkan hasil riset yang sama pada tahun 2007. Maka tak heran jika saat ini Indonesia juga didaulat sebagai negara dengan jumlah perokok terbesar ketiga di dunia, setelah Tiongkok dan India.

"The User Profile Service Failed The Logon. User Profile Cannot Be Loaded"


Beberapa waktu yang lalu, ketika ingin menuangkan gagasan dalam sebuah artikel, saya terkendala masalah yaitu tidak bisa log in pada dekstop. Padahal pasword laptop 100% benar. Beberapa cara saya coba, seperti mencabut baterai, menekan F2, F12, restart, tetapi semuanya tak membuahkan hasil. Akhirnya, sekejap kemudian saya melihat Blackberry tercinta tergeletak di samping laptop. Saya mencoba browsing internet, barangkali akan menemukan jawaban. Dan ternyata saya beruntung, saya menemukan jawaban persoalan "The user profile service service failed the logon. User profile cannot be loaded" di blog tetangga, Brader Blog. Berikut cara mengatasinya:

Mendambakan Pemimpin Bersih

(Dok. ahok.org)
“Tikus pithi anoto baris” atau “tikus pithi menata barisan”, itulah ramalan ketujuh dari seorang raja Kerajaan Kediri, yakni Raja Joyoboyo. Tikus merupakan perwujudan binatang yang rakus, suka mencuri, dan kotor. Di era saat ini, tikus menjadi simbolisasi bagi perilaku rakus dan koruptif yang notabene melekat pada para koruptor. Maka jika ditelaah, “tikus pithi anoto baris” bisa mengandung arti kelompok koruptor yang berbaris menanti jatah dan kesempatan. Ramalan itu saat ini benar-benar telah menjadi kenyataan. Celakanya, tikus pithi yang berbaris sebagaimana yang diungkapkan dalam ramalan Joyoboyo tersebut ternyata adalah para pemimpin dan penyelenggara negara. Buktinya, berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) hingga kini telah tercatat 325 orang dari 524 kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Alih-alih menjadi pembelajaran, banyaknya kasus yang menjerat para kepala daerah dan wakil kepala daerah ternyata tidak mampu mencegah syahwat pemimpin-pemimpin lain untuk tidak ikut melakukan tindakan serupa. Bagai tidak pernah ada kata jera, lagi-lagi dua kepala daerah kembali menjadi tumbal operasi pemberantasan korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di Bogor, bupati sekaligus salah satu petinggi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Rachmat Yasin ditangkap KPK melalui operasi tangkap tangan dengan barang bukti uang senilai Rp 1,5 miliar. Bersamaan dengan penangkapan Rachmat Yasin, KPK juga menetapkan Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin sebagai tersangka korupsi dengan sangkaan meraup dana ilegal sebesar Rp 38,1 miliar dari proyek air bersih yang dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar. Kenyataan pahit sekaligus memprihatinkan ini semakin menegaskan betapa bangsa saat ini sedang mengalami defisit figur pemimpin yang bersih. Jika pola rekruitmen politik untuk memunculkan calon pemimpin tidak diubah, bukan tidak mungkin Indonesia menjadi “Filipina” kedua di Asia.