Basa-basi Dana Kampanye



Partai politik (parpol) di negara ini agaknya tidak pernah mau serius melakukan proses demokrasi dengan bersih. Buktinya, manajemen administrasi keuangan setiap parpol ternyata masih sangat buruk. Hal ini terlihat dari penyerahan laporan awal dana kampanye yang dilakukan pada detik-detik terakhir batas akhir penyerahan laporan. Hal ini membuktikan bahwa manajemen administrasi keuangan setiap parpol masih menggunakan pola SKS, yakni “sistem kebut semalam”. Padahal sebagian besar partai peserta pemilu 2014 mendatang adalah partai politik lama. Diskala nasional, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) menempati posisi pertama partai peserta pemilu dengan anggaran dana kampanye terbesar, yakni mencapai Rp 306 miliar.

Melawan Nalar Plagiarisme

Di negara ini, plagiarisme begitu mendarah daging dimasyarakat seperti halnya kasus korupsi. Hanya saya, pasca reformasi penanganan kasus korupsi telah diakomodasi dengan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan pada UU Nomor 30 Tahun 2002 sebagai amanat dari UU Nomor 31 tahun 1999 (pasal 3). Sementara pada tataran ini, plagiarisme tidak cukup mendapatkan penanganan yang serius dari pemerintah. Padahal, plagiarisme jelas memiliki dampak yang signifikan terhadap bangsa ini meskipun tidak termasuk dalam extra ordinary crime. Plagiarisme secara nyata telah membuat mandul nalar berfikir kreatif setiap orang, khususnya kalangan akademisi.

Meneladani Nalar Politik Rosulullah



Konon, semua warga negara di negara ini adalah manusia yang bertuhan dan beragama. Konon lagi, kebebasan beragama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing dilindungi oleh undang-undang. Meski begitu, bukan menjadi alasan adanya undang-undang untuk tidak melaksanakan perintah agama dan kepercayaannya masing-masing. Keberadaan undang-undang adalah untuk memberikan kebebasan masyarakat untuk melaksanakan perintah agama, bukannya melindungi masyarakat untuk tidak melaksanakan perintah agama. Agaknya, hal inilah yang telah merasuk ke dalam jiwa setiap elite politik di negara ini. Alih-alih menyejahterakan rakyat melalu implementasi kebijakan-kebijakan yang pro rakyat, elite politik malah berlomba-lomba menguras harta kekayaan negara demi kepentingan diri sendiri dan kepentingan kelompoknya saja.

Mewaspadai Golput

Ritual elektoral Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 yang konon merupakan wujud pesta demokrasi seluruh rakyat Indonesia, agaknya hanya akan menjadi pesta demokrasi bagi sebagian kelompok saja. Pasalnya, sampai hitungan hari menjelang Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) pada 9 April 2014, tidak ada tanda-tanda bahwa calon legislatif (caleg) yang dimiliki masing-masing partai politik bisa menarik simpati masyarakat. Hal ini tidak lepas dari sengkarut proses perekrutan caleg dari masing-masing parpol yang terkesan asal-asalan, dalam hal ini ialah asal kaya dan asal terkenal. Caleg dengan kualitas mumpuni pun sebenarnya juga ada, hanya saja ketika caleg tersebut tidak populer dan juga dari segi ekonomi dipandang pas-pasan, maka hampir pasti akan diberikan nomer kesekian dari parpolnya. Imbasnya, caleg-caleg yang hanya bermodalkan kekayaan dan polularitas tersebut hanya mengedepankan iklan politik, sementara kerja sosial dimasyarakatnya sangat kurang. Fenomena ini bukan hal yang aneh lagi di negara ini, akan banyak ditemukan caleg dengan jumlah baliho maupun poster yang mencapai ribuan di jalanan, sementara itu kerja sosial kemasyarakatannya hanya sejumlah jari ditangan dan kaki. Singkat kata, parpol sebenarnya mempunyai andil yang sangat besar jika pada pemilu nanti pesta demokrasi ternyata hanya dinikmati oleh sekelompok kalangan saja.

Menggugat Kesejahteraan Tenaga Honorer

Dimuat di kolom Metrorasi Metro Riau edisi 17 Februari 2014

Perang Melawan Plagiarisme Intelektual

Oleh: Pangki T Hidayat
Peneliti Bulaksumur Empat, Yogyakarta
Plagiarisme menjadi salah satu momok mematikan bagi kelangsungan hidup sebuah negara. Tidak berbeda jauh dengan korupsi, plagiarisme juga merupakan tindakan mengakui dan mengambil hak karya orang lain demi kepentingan diri sendiri maupun kelompoknya. Parahnya, seringkali orang yang terjebak dalam lingkaran setan plagiarisme ini ialah orang-orang yang bisa dikatakan “terdidik”. Orang-orang intelektual yang seyogianya menjadi panutan dan teladan dalam menemukan terobosan-terobosan baru, malah dengan sengaja melakukan tindakan plagiat yang jelas-jelas bertentangan dengan atitude seorang akademisi. Pun demikian yang terjadi pada salah satu dosen di kampus biru, Universitas Gajah Mada (UGM) yang notabene merupakan salah satu universitas terbaik di negara ini. Salah satu dosen di Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) universitas tersebut, yakni Anggito Abimanyu ditengarai telah melakukan tindakan plagiat atas tulisan Hotbonar Sinaga yang berjudul “Menggagas Asuransi Bencana” yang dipublikasikan di Kompas, 21 Juli 2006.
Sayangnya, meskipun tulisan Anggito Abimanyu yang berjudul “Gagasan Asuransi Bencana” (Opini Kompas, 10 Februari 2014) sebagian besar isinya memang memiliki kesamaan dengan tulisan milik Hotbonar Sinaga, namun Anggito masih enggan untuk mengakui bahwa dirinya melakukan tindakan plagiat. Dosen yang bergelar PhD dari University of Pennsylvania Philadelphia Amerika Serikat itu masih belum memberikan keterangan pasti perihal tindakan yang dituduhkan padanya itu. Dari sini muncul kesan bahwa Anggito Abimanyu ingin menghindar dari permasalahan yang menimpa dirinya. Padahal, plagiat adalah tindakan yang jelas, tegas, dan disengaja. Artinya, setiap orang yang melakukan plagiat atau tidak melakukan plagiat, akan dengan mudah berbicara bahwa dirinya tidak melakukan tindakan plagiat. Dalam hal ini, Anggito Abimanyu bisa saja langsung menyangkal bahwa dirinya tidak melakukan tindakan plagiat atau mungkin dengan menyangkal bahwa barangkali dijebak oleh orang lain. Kemungkinan untuk dijebak dan menjatuhkan nama Anggito Abimanyu memang sangat besar, apalagi kini dia sedang menjabat posisi strategis di Kementerian Agama, yakni sebagai Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh.
Terlepas benar atau salahnya tindakan plagiarisme yang dituduhkan pada Anggito Abimanyu, tindakan plagiat jelas bertentangan dengan UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pada pasal 72 UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dijelaskan bahwa barangsiapa melakukan tindakan plagiarisme alias penjiplakan karya cipta seseorang tanpa seizin pencipta atau tidak mencantumkan sumber asli dari karya yang dijiplak, akan dikenakan denda dengan biaya paling sedikit Rp 1.000.000, 00 hingga Rp 1.500.000.000, 00 atau dengan hukuman paling minimal 1 bulan dan paling berat 5 tahun penjara. Merujuk dari ancaman pasal yang diberikan, tindakan plagiat jelas bukan merupakan tindakan yang bisa disepelekan. Akibat yang ditimpulkan dari tindakan plagiat ini pun tidak main-main, karena bisa membunuh daya kreativitas dan imajinasi setiap pelakunya. Pembiaran atas kasus-kasus yang pernah ada hanya akan menyebabkan negara ini runtuh atas tindakan yang tak elok tersebut. Dengan kata lain, harus ada ketegasan hukum atas tindakan plagiat yang terjadi, hal ini sebagai upaya preventif akan munculnya pelaku-pelaku plagiat baru.
Kerawanan tindakan plagiat ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia semata, pasalnya mantan presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter juga pernah dituduh melakukan tindakan plagiat oleh seorang mantan diplomat timur tengah, yakni Dennis Ross. Jimmy Carter dituduh telah menerbitkan peta-peta karya Ross dalam buku Carter Palestine: Peace, Not Apartheid tanpa seizin Ross dan juga tanpa mencantumkan sumber aslinya. Sebuah komite penyelidikan Univercity of Colorado di Amerika Serikat, juga pernah menemukan tindakan plagiat yang dilakukan oleh seorang profesor etnis bernama Ward Churchill. Pada akhirnya, kanselir dari universitas tersebut mengusulkan Ward Churchill dipecat dari Board of Regents. Bercermin dari kasus plagiat yang pernah terjadi baik di dunia maupun di Indonesia, rasanya tak elok jika kita tetap membiarkan budaya plagiat tetap hidup di negara ini. Karena, secara nyata tak ada hasil positif yang diperoleh atas tindakan plagiat yang dilakukan.
Upaya Preventif
Pada ranah pendidikan, sebenarnya pemerintah telah melakukan upaya pencegahan dan pemberian sanksi atas tindakan plagiat melalui Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan penanggulangan Plagiat di Pendidikan Tinggi. Sayangnya, upaya ini secara nyata hanya menyentuh ranah pendidikan tinggi semata. Padahal, idealnya upaya preventif anti plagiarisme harus diterapkan sedini mungkin, yakni ketika menginjak pendidikan dasar. Artinya, pemerintah perlu juga membuat sebuah kebijakan yang mengharuskan pendidikan dasar untuk membentuk karakter siswa anti terhadap tindakan plagiat. Selama ini, ranah pendidikan dasar hanya tersentuh oleh implementasi kurikulum yang secara nyata masih mendewakan ranah kecerdasan semata. Oleh sebab itu, pembekalan budi pekerti, tanggung jawab, dan penghormatan atas karya orang lain perlu disisipkan secara jelas dan lugas baik dalam kurikulum maupun dalam proses pembelajaran.    Membuat karya tulis yang benar-benar dari kreativitas dan imajinasi sendiri memang tidak mudah. Perlu waktu, tenaga, dan pikiran yang harus dicurahkan secara maksimal demi sebuah karya yang bernilai dan berkualitas tinggi. Oleh sebab itu, seyogianya kita bisa menghargai hak atas karya milik orang lain dengan cara yang paling sederhana, yakni dengan tidak memplagiat karya tersebut. Semoga!

Dimuat di kolom Opini Malut Post edisi 28 Februari 2014

Menggugat Pembonsaian KPK

Saat ini, fokus masyarakat seharusnya diarahkan ke DPR karena tengah berlangsung upaya-upaya mengerdilkan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam acara yang disebut revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dilakukan Komisi III DPR. Ini hanyalah akal-akalan mengerem langkah agresif KPK memberantas korupsi.

Meskipun argumen Komisi III demi memperbaiki kualitas hukum, arah perbaikan malah menggerogoti kewenangan lembaga yang paling dipercaya masyarakat saat ini, KPK. Maklum, banyak anggota DPR, DPRD, dan lembaga lain yang berhasil diseret KPK ke meja hijau. Tak heran bila masyarakat melihat revisi sesuatu yang tidak mendesak dipandang sebagai langkah balas dendam.

Masa kerja kurang dari 3 bulan, revisi KUHAP dan KUHP jelas dipaksakan. Dengan waktu yang sedemikian sempit dan dalam kondisi persiapan Pemilu 2014, pembahasan revisi KUHAP dan KUHP jelas tidak akan maksimal karena banyaknya masalah substansial dan kompleks di dalam KUHAP dan KUHP itu sendiri.
Artinya, diperlukan upaya serius dengan waktu longgar supaya revisi memuaskan.
Tidak ada alasan yang urgen sehingga tiba-tiba DPR dan pemerintah merevisi ketentuan tersebut. Masih banyak agenda perampungan rancangan undang-undang yang belum dikerjakan, akan tetapi mereka tampak bersemangat empat lima untuk mengubah KUHAP dan KUHP.
Dalam draf yang diserahkan Kementerian Hukum dan HAM kepada Komisi Hukum DPR pada tanggal 6 Maret 2013 tersebut, harus diakui bahwa secara implisit isinya mengarah pada pelemahan wewenang KPK. Misalnya saja, KPK tidak bisa mecekal, menyadap, memblokir rekening bank, atau operasi tangkap tangan.
Yang paling aneh, penyadapan atau penyitaan harus izin hakim. KUHAP memang tidak serta-merta hanya membahas mengenai KPK, namun imbas revisi membonsai wewenang KPK dalam menangani kasus-kasus korupsi.
KPK ibarat tokoh antagonis bagi politikus dan pemegang kekuasaan lainnya. Namun, di mata rakyat jelas berbeda 180 derajat. KPK merupakan dewa penyelamat bagi rakyat. Hal ini tak lain dan tak bukan karena rakyat biasa tak akan tersentuh KPK sebab rakyat biasa tidak memunyai alasan dan kemampuan korupsi.
Ibaratnya sekarang ini, boleh dikata, rakyat tinggal bergantung pada KPK untuk memberantas korupsi. Langkah-langkah KPK jelas, persisten, dan berbuah. Kepada siapa lagi masyarakat akan memercayakan penegakan hukum terkait korupsi, selain ke KPK? Lembaga lain sudah jauh dari kepercayaan masyarakat.
Pada hakikatnya, revisi adalah memperbaiki agar kualitas hukum dalam KUHAP dan KUHP lebih relevan dan kontekstual. Pada masa ini, revisi KUHAP dan KUHP seyogianya mampu mengakomodasi pemberantasan korupsi yang semakin mendarah daging.
Dengan kata lain, revisi seharusnya memberi kekuatan hukum maksimal bagi lembaga penegak hukum untuk memberantas korupsi. Namun, nalar politik jelas berbeda dengan nalar penegak hukum seperti KPK. Tanpa melebih-lebihkan KPK, faktanya rakyat memang semakin apatis terhadap para politikus. Antitesis dari perbuatan masa lalu serta tindakan korupsi yang mayoritas dilakukan para polikus inilah yang kemudian membuat idiom buruk polikus.
Kembali pada konteks revisi KUHAP dan KUHP, nalar politik terkait lembaga penegak hukum harus dibenahi lebih dulu. Perlu persamaan visi dan misi antara pembuat undang-undang dan lembaga penegak hukum, khususnya KPK.
Namun, ini jelas sulit terwujud karena dengan memberi kewenangan yang leluasa pada KPK, karier politikus yang terjerat korupsi bisa saja "terbunuh". Sejak KPK berdiri tahun 2004 hingga kini sudah puluhan anggota DPR masuk bui. Fenomena seperti itulah yang kemudian membuat politikus cenderung memusuhi KPK.
Kontrol Publik
Revisi KUHAP dan KUHP tidak boleh mengurangi kewenangan KPK, kepolisian, dan kejaksaan. Sepatutnya para penggodok undang-undang bertindak sebagai negarawan. Perilaku korupsi jelas tidak bisa ditoleransi.
Maka, DPR seyogianya bersinergi dengan semua lembaga penegak hukum yang perlu diperbaiki dalam KUHAP dan KUHP. Maka, sayang KPK sebagai salah satu lembaga hukum tidak dilibatkan.
Masyarakat dapat menilai kejujuran revisi. Jika hasilnya makin memperkuat KPK jelas itu sebuah perbaikan yang berguna dan jujur.

Akan tetapi bila buahnya justru memberangus dan membatasi wewenang KPK, jelas itu sebuah ketidakjujuran revisi dan tidak berguna.
Saat ini, lembaga yang harus diperkuat terutama adalah KPK sebab begitu masif tindakan korupsi. Saat ini, korupsi sudah menjadi gurita yang merasuki seluruh lembaga negara dari tingkat paling rendah hingga tertinggi, seperti Mahkamah Konstitusi. Siapa lagi yang dapat diandalkan jika bukan KPK? Lembaga lain sudah tidak dipercaya masyarakat.
Publik hendaknya mengawal revisi KUHAP dan KUHP dengan cermat. Aroma semangat kodifikasi hukum, yakni keinginan menyatukan korupsi dengan pidana umum yang menyeruak ke permukaan, harus benar-benar menjadi perhatian serius masyarakat.
Jika hal itu terjadi, maka pengadilan tipikor akan dihapus, dan vonis bebas di tingkat peradilan pertama tidak dapat dikasasi. Ini jelas merupakan angin segar para koruptor dan kabar buruk penegakan hukum. Dengan keadaan yang demikian, maka kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945 semakin jauh panggang dari api.
Masyarakat sepatutnya aktif memantau perkembangan revisi KUHAP dan KUHP agar wewenang lembaga penegak hukum, khususnya KPK, bisa terpenuhi, bukannya teramputasi. Peran media massa sangat diharapkan dalam mengawal dan mengawasi revisi tersebut. Sebab mengharapkan kejujuran dewan jelas sulit. Terlalu banyak kepentingan yang melingkungi upaya-upaya revisi.

Oleh Pangki T Hidayat
Penulis menjadi peneliti di Bulaksumur Empat, Yogyakarta


Dimuat di kolom Gagasan Koran Jakarta edisi 27 Februari 2014

Slogan Politik dan Pembohongan Publik

 


Ancaman Kekalahan Pemilu Parpol Islam

  

Dimuat di kolom Opini Bangka Pos edisi 24 Februari 2014

Kekuatan Super MK


Dimuat di kolom Opini Haluan edisi 19 Februari 2014