![]() |
(Dok. penulispro.com) |
Penangkapan penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan melalui surat perintah penangkapan
bernomor Sp.Kap/19/IV/2015/ Dittipidum beberapa waktu lalu menyisakan
pertanyaan besar di aras publik. Pasalnya, selain dinilai penuh dengan
kejanggalan, proses penangkapan itu juga terjadi setelah petinggi Polri yang
pernah “vis a vis” dengan KPK, baik
secara langsung maupun tidak langsung menduduki jabatan strategis di internal
Polri. Sebut saja nama seperti Komisaris Jenderal (Komjen) Pol Budi Gunawan
yang pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dan kini menduduki kursi
Wakil Kepala Polri (Wakapolri). Atau, Komjen Pol Budi Waseso yang dikenal
sebagai “loyalis” Komjen Pol Budi Gunawan yang telah terlebih dahulu menduduki
jabatan strategis, yaitu sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim)
Polri.
Adanya keterkaitan hal tersebut dengan
penangkapan Novel Baswedan semakin tak terbantahkan ketika instruksi langsung dari
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Kapolri, Komjen Pol Badrodin Haiti agar
tidak menahan Novel justru diabaikan oleh Polri. Faktanya, Novel malah dibawa
ke Bengkulu untuk menjalani rekonstruksi kasus setelah sebelumnya terlebih
dahulu dibawa ke tahanan Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob) di Kelapa
Dua, Depok. Dalam konteks ini, sulit untuk memahami sikap Polri yang terkesan
ambisius untuk menuntaskan dugaan kasus hukum yang dialamatkan kepada Novel
Baswedan tersebut. Bila penegakan hukum tanpa pandang bulu yang dijadikan
sebagai alasan utama, lantas bagaimana dengan penegakan hukum terkait
kasus-kasus lain, khususnya kasus hukum yang tidak mempunyai unsur benturan
langsung dengan Polri. Sebut saja seperti kasus pembunuhan terhadap aktivis hak
asasi manusia (HAM), Munir Said Thalib dan kasus penganiayaan berujung kematian
yang menimpa jurnalis Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin.
Harus Konsisten
Harus Konsisten
Aktivis HAM, Munir dikenal sebagai orang
yang sangat kritis terhadap tindakan dan metode keras yang digunakan oleh kalangan
militer dalam penanganan konflik di Aceh dan Papua. Kulminasinya ia tewas
diracun dalam pesawat ketika melakukan penerbangan dari Singapura menuju
Belanda pada 17 September 2004. Sementara, jurnalis Harian Bernas, Udin juga
dikenal sebagai orang yang sangat kritis, utamanya terkait pelbagai kebijakan
pemerintah, baik pusat maupun daerah. Pada 13 Agustus 1996, dia dianiaya oleh
orang tak dikenal di rumah kontrakannya yang kemudian berujung pada
kematiannya. Faktanya, sampai kini kasus-kasus yang tidak mengandung unsur
benturan langsung dengan Polri tersebut masih terkatung-katung dan tak jelas
siapa aktor intelektualnya. Di sisi lain, kasus-kasus yang mengandung unsur
benturan dengan Polri, terkesan “tancap gas” penuntasannya. Selain kasus Novel,
kasus yang ditimpakan terhadap Ketua KPK nonaktif, Abraham Samad adalah contoh
nyatanya.
Padahal jamak diketahui, kasus yang ditimpakan kepada Abraham Samad,
meminjam pemikiran mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud MD tergolong
sebagai mala prohibita. Yaitu, kasus
hukum yang tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Contoh lain semisal,
mengendarai mobil akan tetapi tidak mempunyai surat izin mengemudi (SIM),
menerobos lampu lalu lintas pada malam hari, dan mengendarai sepeda motor tanpa
menggunakan helm. Dalam ranah hukum, kasus hukum yang demikian biasanya tidak
menjadi prioritas karena tergolong kasus yang remeh temeh. Maka Kulminasi
terburuknya, sulit bagi publik untuk kemudian tidak menjustifikasi tindakan
Polri bukan sebagai bentuk balas dendam “terselubung” kepada KPK. Oleh sebab
itu, dalam kerangka penegakan hukum sudah semestinya Polri harus konsisten
dalam menangani pelbagai kasus hukum yang terjadi. Yaitu tidak hanya “tancap
gas” pada kasus-kasus hukum tertentu saja, akan tetapi semua kasus hukum harus
diperlakukan secara sama, dalam artian adil, profesional, dan proporsional.
Semoga!.
Dimuat dalam opini Tribun Jogja edisi 5 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar