![]() |
(Dok. www.antaranews.com) |
Hukum di negara ini belakangan justru
mengalami dengan apa yang disebut oleh mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK),
Prof. Dr. Moh. Mahfud MD sebagai degradasi penegakan hukum. Yaitu, kondisi
dimana terjadi kemerosotan moral dan etika terhadap praktik penegakan hukum
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Pada akhirnya, penegakan hukum tidak
bermuara pada upaya memperoleh kebenaran dan keadilan hakiki, melainkan hanya
digunakan untuk kepentingan tertentu belaka. Nahasnya, di negara ini tidak hanya
aparat penegak hukum dari satu instansi saja yang kerap terjerumus dalam
degradasi penegakan hukum. Akan tetapi, hampir seluruh instansi penegakan hukum,
mulai dari Kejaksaan, Polri, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun
kerap terjerumus dalam degradasi penegakan hukum tersebut.
Polri misalnya, realitas terjadinya
degradasi penegakan hukum begitu kasat mata terlihat pada penanganan kasus
Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Novel Baswedan. Dalam hal ini, sulit bagi
Polri untuk memungkiri bahwa kasus-kasus tersebut ditangani murni hanya karena
adanya masalah hukum semata. Faktanya, munculnya dugaan pelanggaran hukum yang
dialamatkan pada Abraham Samad, Bambang Widjojanto, maupun Novel Baswedan
terjadi melalui skenario yang sama, yaitu setelah KPK melakukan upaya penegakan
hukum terhadap para petinggi Polri yang diduga terlibat korupsi. Setali tiga
uang, KPK yang dikenal mempunyai integritas mumpuni pun kuat dugaan telah
terjerumus dalam degradasi penegakan hukum. Dua kekalahan KPK di praperadilan
melawan gugatan yang diajukan Komjen Pol Budi Gunawan dan mantan Walikota
Makassar Ilham Arief Sirajuddin membuktikan bahwa penetapan tersangka oleh KPK
serampangan. Namun di balik itu, dapat disimpulkan pula bahwa penetapan
tersangka oleh KPK mempunyai unsur kepentingan “terselubung” di belakangnya.
Audit
Kinerja
Terjadinya degradasi dalam praktik
penegakan hukum belakangan ini, nyatanya tak hanya menjadi monopoli kepentingan
antar petinggi negeri saja. Masyarakat awam pun tak luput terkena dampak dari praktik
penegakan hukum yang demikian. Terbukti hingga saat ini masih banyak kasus
hukum yang melibatkan masyarakat awam namun belum juga dituntaskan oleh aparat
penegak hukum dengan pelbagai argumen. Namun di balik itu, aroma tengik adanya
intervensi terhadap penegakan hukum demi melindungi oknum-oknum tertentu sangat
terasa. Sebut saja seperti pada kasus kerusuhan Mei 1998 yang meninggalkan
kepedihan dan traumatik mendalam bagi penduduk pribumi keturunan Tionghoa.
Dalam kasus yang dipicu oleh tragedi Trisakti itu, tindak perusakan, pelecehan,
pemerkosaan, hingga pembunuhan masif menyasar penduduk keturunan Tionghoa. Namun,
sudah tujuh belas tahun berlalu kasus tersebut masih menyisakan persoalan pelik
yang belum jelas ujung pangkalnya.
Di samping kasus kerusuhan Mei 1998,
kasus-kasus lain yang tak kalah penting juga tengah menanti untuk dituntaskan
secara transparan oleh aparat penegak hukum. Diantaranya, kasus pembunuhan
aktivis hak asasi manusia Said Munir Thalib, pembunuhan aktivis buruh Marsinah,
kasus Wasior (Papua), dan peristiwa Talangsari (Lampung). Selama ini, fakta
yang mencuat kepermukaan tak lain ialah adanya upaya yang dilakukan aparat
penegak hukum untuk melindungi oknum-oknum tertentu sehingga pada akhirnya
pelbagai kasus itu tak kunjung tuntas akar persoalannya. Celakanya lagi, hingga
saat ini tak pernah ada audit yang dilakukan terhadap kinerja masing-masing aparat
penegak hukum yang menangani kasus-kasus tersebut. Maka, terjadinya degradasi
penegakan hukum oleh aparat penegak hukum menjadi semakin sulit dipungkiri. Pada
titik ini, tentu saja kepercayaan publik terhadap kinerja aparat penegak hukum
menjadi pertaruhan terbesarnya.
Bila dibiarkan tanpa solusi, kulminasi dari
penegakan hukum yang demikian pada akhirnya akan menempatkan kembali upaya
“main hakim sendiri” dalam tatanan hukum masyarakat era modern. Karenanya,
dalam kondisi penegakan hukum yang cenderung belum transparan dan masih bisa
dipengaruhi oleh intervensi kekuasaan tertentu, sudah semestinya dilakukan
audit terhadap kinerja seluruh institusi penegak hukum yang ada di negara ini. Muara
dari audit kinerja ini tentu saja untuk menemukan hambatan atau persoalan yang
dimiliki oleh aparat penegak hukum dalam menangani pelbagai kasus hukum,
utamanya kasus hukum yang erat kaitannya dengan kekuasaan. Sehingga, dalam hal
ini aparat penegak hukum akan dapat memperoleh dua hal strategis sekaligus,
yaitu solusi untuk menyelesaikan kasus hukum tersebut dan kepercayaan
masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu, peringatan Hari Kebangkitan Nasional semestinya
tak hanya diorientasikan untuk memupuk spirit nasionalisme kebangsaan semata.
Namun, penting pula untuk diorientasikan sebagai momentum kebangkitan hukum
nasional. Wallahu a’lam.
Dimuat dalam opini Bali Post edisi 22 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar