Nalar Sesat Peluang Remisi untuk Koruptor


(Dok. rmol.co)

Di era Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla, kementerian yang paling sering mengeluarkan kebijakan kontroversial bisa jadi adalah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Kebijakan kontroversial yang pernah dikeluarkan oleh kementerian itu diantaranya terkait pengesahan kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) versi Romahurmuziy dan pengesahan kepengurusan Partai Golongan Karya (Golkar) versi Agung Laksono. Teranyar, kementerian yang dinahkodai oleh kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDIP), Yasonna H Laoly itu berencana memperlonggar cara memperoleh pemotongan tahanan (remisi) bagi narapidana, tak terkecuali bagi narapidana karupsi. Manuver itu akan dilakukan melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Masyarakat.
Menurut Yasonna, setiap narapidana harus diberikan perlakuan sama sebagaimana norma Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Itu artinya, besar kemungkinan keberadaan Pasal 34A PP Nomor 99 Tahun 2012 yang salah satunya mensyaratkan agar narapidana bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukan bakal akan diamputasi. Jika hal itu benar terjadi, maka akan sangat mudah bagi para koruptor untuk mendapatkan remisi. Kulminasi terburuknya, bukan tidak mungkin akan terjadi fenomena “hujan remisi” bagi koruptor. Apalagi, mafhum diketahui saat ini masih banyak oknum-oknum di lingkungan lembaga pemasyarakatan yang dengan gampang bisa disuap untuk memudahkan narapidana memperoleh remisi.
Tidak Tepat
Bila mengacu pada ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi (United Nations Convention Againts Corruption/ UNCAC), utamanya Pasal 37 ayat (2), argumentasi yang dikemukakan oleh Yasonna H Laoly untuk merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012 tentu tidak sepenuhnya tepat. Pada pasal itu disebutkan bahwa setiap negara peserta konvensi wajib mempertimbangkan memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu untuk mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang diterapkan dalam konvensi tersebut. Maka, memberikan kelonggaran mekanisme memperoleh remisi, utamanya bagi narapidana korupsi jelas bertentangan dengan mandat UNCAC yang ikut ditandatangani oleh negara ini pada tahun 2003 silam.
Di samping itu, manuver Yasonna H Laoly itu justru berpotensi mempersulit para penegak hukum (KPK, Polri, Kejaksaan) untuk menuntaskan pelbagai kasus korupsi yang sedang ditangani. Sebagai gambaran, dalam konteks kekinian pemerintah telah menawarkan perlindungan dan remisi bagi narapidana korupsi yang bersedia bekerja sama (justice collaborator) membongkar kasus korupsi sampai ke akar-akarnya. Faktanya, sampai saat ini narapidana korupsi yang bersedia menjadi justice collaborator terhitung masih sangat sedikit. Apabila peran justice collaborator yang termaktub dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 itu kemudian diamputasi, tentu bisa dibayangkan betapa sulitnya para penegak hukum negara ini untuk menuntaskan pelbagai kasus korupsi yang terjadi.
Pada titik ini, Yasonna H Laoly jelas tidak peka dalam memahami gagasan sembilan program prioritas (Nawa Cita) yang diusung oleh Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla. Pada poin keempat Nawa Cita disebutkan bahwa menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Sedangkan memperlonggar mekanisme memperoleh remisi, tak terkecuali bagi narapidana korupsi jelas adalah simbol pengakuan bahwa negara lemah terhadap koruptor. Oleh sebab itu, seyogianya Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla segera mengambil tindakan tegas terhadap para menterinya yang kerap bertindak di luar orientasi Nawa Cita, termasuk Menkumham Yasonna H Laoly. Jika tidak, maka dapat dipastikan Nawa Cita hanya akan terus menjadi gagasan usang pemerintah yang tidak pernah terealisasi. Wallahu a’lam.

Dimuat dalam opini Tribun Jogja edisi 24 Maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar