![]() |
(Dok. www.liputan6.com) |
Mudah ditebak, putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) yang mengabulkan sebagian gugatan Partai Golkar versi Munas
Bali atas SK Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH- 01.AH.11.01 Tahun 2015 tentang pengesahan
AD/ART serta komposisi DPP Partai Golkar versi Munas Jakarta tidak berimplikasi
apa pun terhadap peluang keikutsertaan Partai Golkar dalam kontestasi elektoral
pilkada serentak. Pasalnya, baik Menkumham selaku tergugat maupun Golkar versi
Munas Jakarta selaku tergugat intervensi sama-sama telah mengajukan upaya banding
atas putusan PTUN tersebut. Itu artinya, sebagaimana ketetapan Peraturan Komisi
Pemilihan Umum (PKPU) dapat dikatakan belum ada keputusan berkekuatan hukum
tetap (inkracht van gewijsde) yang
dapat digunakan oleh Golkar sebagai partai yang tengah berkonflik untuk mendaftarkan
diri dalam kontestasi elektoral pilkada.
Pun demikian dari perspektif putusan
PTUN itu sendiri, tegas disebutkan pada Pasal 115 Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 tentang PTUN bahwa hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Putusan pengadilan yang belum memperoleh
kekuatan hukum tetap tidak memiliki kekuatan eksekusi atau dengan kata lain
putusan pengadilan yang masih mempunyai upaya hukum tidak dapat dimintakan
eksekusinya (Harahap, 2008). Prinsip yang sama tegas pula tertuang dalam norma
Pasal 19 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, disebutkan
bahwa keputusan pejabat PTUN atau administrator negara baru dianggap sah
setelah ada putusan berkekuatan hukum tetap. Kulminasinya, Partai Golkar saat
ini benar-benar sedang berada dalam situasi yang sangat mengkhawatirkan. Sebab,
meskipun menjadi partai kedua pemenang pemilu legislatif (Pileg) 2014, namun
bukan tidak mungkin partai berlambang pohon beringin itu justru akan absen
dalam perhelatan pilkada serentak pada 9 Desember 2015 mendatang.
Mempengaruhi
Kinerja Parlemen
Ironisnya, implikasi kekhawatiran
absennya Partai Golkar dalam kontestasi elektoral pilkada nyatanya tidak hanya
melingkupi internal Golkar pada masing-masing kubu. Namun, harus diakui bahwa
implikasi kekhawatiran absennya Partai Golkar dalam kontestasi elektoral lokal
itu sampai pula mempengaruhi kondusivitas kinerja parlemen secara menyeluruh.
Itu karena sejumlah fraksi dalam parlemen yang berkepentingan riuh rendah terus
menyuarakan wacana untuk merevisi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) dan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Partai Politik (UU Parpol). Walhasil, fokus kinerja parlemen menjadi terbelah.
Mengonfirmasi atas hal tersebut, hasil survei paling mutakhir yang dirilis
Poltrakcing terkait kinerja institusi negara menunjukkan bahwa parlemen negara
ini menempati posisi puncak sebagai institusi negara yang mempunyai kinerja
paling tidak memuaskan di mata publik (66,5 persen). Selanjutnya, secara
berturut-turut disusul oleh Parpol (63,5 persen) dan Polri (55,9 persen) yang
dianggap oleh publik sebagai institusi negara yang mempunyai kinerja paling
tidak memuaskan.
Di sisi lain, upaya serampangan sejumlah
fraksi di parlemen yang terus mewacanakan revisi terhadap UU Pilkada dan UU
Parpol juga dapat dimaknai sebagai ancaman terhadap konsistensi fungsi
legislasi. Sebab, dalam menjalankan fungsi legislasi baik terkait revisi maupun
pembentukan undang-undang, parlemen semestinya berjalan selaras dengan road map yang telah disepakati bersama
dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Sehingga, peraturan
perundang-undangan yang dihasilkan tidak tumpang tindih dengan norma peraturan
perundang-undangan yang lainnya. Lebih jauh, fungsi legislasi yang dikerjakan
selaras dengan road map tentu akan membuat
kinerja parlemen menjadi lebih efektif dan efisien. Dengan begitu, target
pengesahan undang-undang yang kerap meleset, bukan mustahil untuk dicapai. Karenanya,
penting bagi parlemen untuk kemudian tidak turut terjebak dan larut terus
menerus dalam konflik internal yang tengah dialami Partai Golkar.
Urgensi
Islah
Sebagai parpol besar yang mempunyai
sejarah panjang dalam jagad perpolitikan nasional, sudah sepatutnya Partai Golkar
peka terhadap dampak konflik internal parpol tersebut. Itu berarti, Partai
Golkar semestinya segera mencari jalan keluar agar konflik internal yang
terjadi tidak berlarut-larut, terlebih malah mengganggu ritme kinerja parlemen.
Sudah menjadi rahasia umum bila konflik internal Partai Golkar tak hanya
berdampak pada internal partai semata, melainkan berpengaruh pula pada kondusivitas
kinerja parlemen. Kulminasinya, realisasi peningkatan dan pemerataan
kesejahteraan rakyat sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 menjadi semakin jauh panggang dari api. Itulah sebabnya, diperlukan
kebesaran jiwa dari seluruh elit Partai Golkar pada masing-masing kubu yang
bertikai untuk kemudian menyadari perlunya pembenahan dan penguatan terhadap internal
partai.
Dalam konteks ini, wacana islah
“terbatas” sebagaimana yang digagas oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) patut
menjadi salah satu opsi menarik yang laik untuk coba diimplementasikan. Hal ini
penting dilakukan tidak saja dalam rangka menghadapi kontestasi elektoral pilkada
serentak, di mana masa pendaftaran bakal calon peserta sudah sangat mepet,
yakni pada 26 Juli 2015 mendatang. Namun juga sebagai simbol pembuktian Partai Golkar
untuk turut serta menjaga kondusivitas dan ritme kinerja parlemen. Akhirnya,
para elit Partai Golkar pada masing-masing kubu yang sedang berseteru mutlak
harus menanggalkan egoisme kekuasaannya meskipun itu hanya diwujudkan melalui
islah “terbatas”. Dengan begitu, hak para kader lokal potensial untuk turut
berpartisipasi dalam kontestasi elektoral pilkada serentak maupun hak rakyat
untuk memperoleh kesejahteraan hakiki akan dapat terakomodasi dengan baik.
Semoga!.
Dimuat dalam opini Harian Waspada edisi 24 Juli 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar