(Dok. photo.liputan6.com) |
Sungguh sangat mengherankan ketika
membaca pemberitaan pelbagai media beberapa waktu lalu yang menyebutkan bahwa
Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Budi Waseso
mengungkapkan keengganannya menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara (LHKPN) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lebih jauh, Komjen
Budi Waseso juga mengungkapkan bahwa akan lebih objektif hasilnya bila KPK sendiri
yang menulis LHKPN penyelenggara negara bersangkutan. Walhasil, pernyataan
Kabareskrim yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Daerah
(Kapolda) Gorontalo itu pun dalam waktu singkat menjadi pergunjingan di ruang
publik. Sebagian besar publik mengecam pernyataan Kabareskrim Polri itu. Belakangan
seiring membesarnya kecaman publik, Kabareskrim pun menepis bila pernyataannya
terkait LHKPN dipersepsikan sebagai penolakan penyerahan LHKPN ke KPK.
Namun demikian, terlepas dari pernyataan
Kabareskrim Komjen Budi Waseso, sejatinya keengganan penyelenggara negara untuk
menyerahkan LHKPN ke KPK bukanlah sesuatu yang tabu di antara para
penyelenggara negara sendiri. Faktanya, penyelenggara negara yang enggan,
lambat dan bahkan sama sekali tidak menyerahkan LHKPN ke KPK pascapelantikan
atau mutasi jabatan sudah menjadi pemandangan yang wajar. Padahal dalam konteks
pemberantasan korupsi, LHKPN mempunyai fungsi yang cukup signifikan, baik pada
tahap pencegahan (preventif) maupun tahap penindakan (kuratif). Pada tahap
pencegahan LHKPN dapat digunakan untuk menelusuri potensi tindak pidana korupsi
(tipikor) yang dilakukan oleh para penyelenggara negara. Sedangkan pada tahap
penindakan, LHKPN dapat digunakan sebagai barang bukti yang memberatkan penyelenggara
negara yang melakukan tipikor.
Ketentuan
Konstitusi
Kewajiban penyerahan LHKPN dalam konstitusi
negara ini diatur dengan tegas dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme. Pada Pasal 5 ayat (3) disebutkan bahwa penyelenggara negara
berkewajiban menyerahkan dan mengumumkan harta kekayaannya sebelum dan setelah
menjabat. Ketentuan senada juga ditegaskan dalam Keputusan KPK Nomor
KEP.07/KPK/02/2005 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman dan Pemeriksaan
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Dalam Pasal 2 ayat (1) Keputusan
KPK tersebut menegaskan bahwa setiap penyelenggara negara berkewajiban melaporkan
seluruh harta kekayaan yang dimilikinya sebelum, selama dan setelah memangku jabatannya
kepada KPK dengan mengisi LHKPN. Maka, sudah sepatutnya setiap penyelenggara
negara melaksanakan kewajibannya itu dengan baik, bukan malah sebaliknya
memanfaatkan celah ringannya sanksi untuk enggan bahkan tidak sama sekali mau menyerahkan
LHKPN ke KPK.
Jamak diketahui, sanksi bagi penyelenggara
negara yang lalai menyerahkan LHKPN ke KPK hanya sebatas pada sanksi
administratif saja. Itu pun masih diperumit dengan mekanisme pemberian sanksi
yang tidak bisa diberikan langsung oleh KPK. Prosedurnya, KPK mesti mengirimkan
surat kepada pimpinan institusi penyelenggara negara yang lalai tidak menyerahkan
LHKPN ke KPK. Selanjutnya, pemberian sanksi administratif menjadi tanggung
jawab penuh pimpinan institusi penyelenggara negara bersangkutan. Pada titik
ini, efektivitas pemberian sanksi bagi penyelenggara negara yang lalai tidak menyerahkan
LHKPN ke KPK menjadi sangat rendah. Pasalnya, selain proses pemberian sanksi
memakan waktu cukup lama, sanksi itu pun belum tentu betul-betul diberikan oleh
pimpinan institusi penyelenggara negara bersangkutan. Banyak faktor X yang
memungkinkan hal itu, semisal karena tingginya mobilitas kerja pimpinan
institusi itu, adanya hubungan baik antara pimpinan institusi dengan
penyelenggara negara bersangkutan hingga ketidakharmonisan pimpinan institusi
dengan KPK.
Sanksi
Memadai
Penting disadari bahwa penegakan
peraturan perundang-undangan tanpa disertai dengan adanya sanksi yang memadai
jelas tidak akan bisa berjalan optimal. Itulah sebabnya, untuk masa saat ini sanksi
pidana perlu sekiranya menjadi pertimbangan untuk diberikan, khususnya kepada
para penyelenggara negara yang telah berulang kali lalai tidak menyerahkan
LHKPN ke KPK. Meskipun usulan sanksi pidana ini besar kemungkinan akan
mendapatkan penolakan, utamanya dari para penyelenggara negara, tetapi
sejatinya sanksi pidana sangat relevan bila dikaitkan dengan aspek historis
pembentukan UU Nomor 28 Tahun 1999 yang selanjutnya menjadi salah satu landasan
aturan turunan terkait kewajiban penyerahan LHKPN ke KPK bagi setiap
penyelenggara negara. Dalam pembentukan UU tersebut, mengutip Hifdzil Alim
(2015) penyertaan sanksi administratif bagi pelanggaran administratif dan
sanksi pidana bagi pelanggaran pidana dikarenakan adanya kemungkinan “ledakan”
amarah hebat dari penyelenggara negara apabila langsung dipaksa bersih
seluruhnya hanya melalui penerapan sanksi pidana.
Maksudnya, sudah menjadi rahasia umum
bila banyak penyelenggara negara yang bermental korup, maka untuk
membersihkannya perlu diberikan tekanan secara gradual. Bila upaya
“bersih-bersih” itu langsung diterapkan sekaligus dengan pemberian sanksi
pidana untuk semua jenis pelanggaran, tak terkecuali pelanggaran administratif
maka dikhawatirkan negara akan goyah. Sebab, sudah pasti akan banyak
penyelenggara negara yang terkena sanksi pidana tersebut. Namun dalam konteks
saat ini, dimana pemberantasan korupsi secara sistematis telah bergulir selama
tujuh belas tahun, sanksi pidana untuk pelbagai jenis pelanggaran yang
dilakukan penyelenggara negara, termasuk kelalaian dalam menyerahkan LHKPN tentu
sudah laik untuk diterapkan. Mengakhiri uraian ini, menjadi penting untuk selalu
meletakkan sanksi yang relevan dan memadai di belakang setiap kewajiban
penyelenggara negara, tak terkecuali dalam penyerahan LHKPN ke KPK. Dengan
demikian, selain akan mampu meningkatkan integritas penyelenggara negara
bersangkutan, pemberantasan korupsi oleh KPK pun dapat berjalan lebih optimal.
Semoga!.
Dimuat dalam Opini Harian Waspada edisi 30 Juli 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar