(Dok. merdeka.com) |
Kinerja Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)
belakangan ini menjadi sorotan publik pasca dilaporkannya dugaan pelanggaran
kode etik yang dilakukan oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya
Novanto, Wakil Ketua DPR Fadli Zon, dan sejumlah anggota DPR lainnya yang turut
menghadiri kampanye politik bakal calon presiden Amerika Serikat dari Partai
Republik, Donald Trump. Tak sedikit publik yang menilai bahwa MKD tidak akan
sanggup berbuat banyak untuk menangani dugaan pelanggaran kode etik yang
melibatkan unsur pimpinan DPR tersebut. Penilaian mayoritas publik terhadap MKD
tersebut bukan tanpa alasan, sebab sudah menjadi rahasia umum bila kinerja MKD
selama ini memang terkesan “mandul”. Realitas tersebut dapat dilihat dari lambatnya
penanganan setiap kasus dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh
anggota dewan, baik terkait perkara pengaduan maupun perkara tanpa pengaduan.
Pun demikian jika ada sanksi yang
diberikan, sangat jarang MKD menjatuhkan sanksi berat terhadap anggota dewan
yang berperkara. Tak heran, bila kemudian pelanggaran kode etik seakan menjadi
hal yang lumrah dan biasa saja diantara para wakil rakyat. Mengonfirmasi hal
itu, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mencatat setidaknya
ada tujuh dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh para wakil rakyat
selama masa sidang IV DPR. Yaitu, Anang Hermansyah merokok di ruang rapat
Komisi IX (27/3/2015), perebutan
ruang Fraksi Golkar oleh kubu Agung Laksono dan kubu Aburizal Bakrie (30/3/2015), adu jotos antara anggota
Komisi VII Mustafa Assegaf dan Wakil Ketua Komisi VII Muljadi (8/4/2015), dan ditangkapnya Ardiansyah oleh
penyidik KPK (15/4/2015). Selain itu
masih ada dugaan pelanggaran kode etik terkait wacana DPR adakan polisi
parlemen (15/4/2015), wacana
pembangunan gedung baru DPR (24/4/2015),
dan dugaan penggunaan gelar doktor palsu oleh anggota Komisi II, Frans Agung
Mula Putra (28/5/2015).
Potensi Hambatan
Berdasarkan Peraturan DPR Nomor 2 Tahun
2015 tentang Tata Beracara MKD, mestinya MKD tidak mempunyai hambatan yang
berarti untuk menuntaskan dugaan pelanggaran kode etik yang melibatkan para
wakil rakyat. Pasalnya, ketentuan dalam peraturan tersebut sejatinya telah
memuat upaya mitigasi yang dapat digunakan oleh MKD untuk menjalankan tugas dan
fungsinya dengan baik. Perihal penyelidikan misalnya, MKD diberikan kewenangan
dan keleluasaan untuk bekerja sama dengan pakar (Pasal 13 ayat 6), sekretariat
dan tenaga ahli (Pasal 13 ayat 7), serta aparat penegak hukum (Pasal 13 ayat 8)
sehingga dapat menemukan fakta dan alat bukti yang diperlukan. Oleh sebab itu,
penyelidikan dan alat bukti seharusnya tidak lagi menjadi hambatan bagi MKD
untuk menuntaskan perkara dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota dewan.
Pun demikian perihal potensi terjadinya
intervensi terhadap MKD. Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015 juga telah
mengantisipasi kemungkinan terjadinya intervensi terhadap MKD dalam memutus
sebuah perkara dugaan pelanggaran. Pada Pasal 56 ayat (2) tegas disebutkan
anggota, pimpinan fraksi, dan/atau Pimpinan DPR tidak dibenarkan melakukan
upaya intervensi terhadap putusan MKD. Lebih jauh, ketentuan tersebut dipertegas
pada ayat (3) yang menyatakan bahwa segala bentuk intervensi merupakan
pelanggaran kode etik. Dengan adanya ketentuan tersebut maka sudah sepatutnya
MKD tidak perlu khawatir, ragu, ataupun takut terhadap segala bentuk
intervensi. Karena pada hakikatnya, terhadap pelanggaran kode etik MKD
mempunyai kewenangan mutlak untuk memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang
berusaha melakukan intervensi tersebut.
Epilog
Akhirnya, dengan segala
kewenangan yang diberikan melalui Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata
Beracara MKD, MKD semestinya dapat memutus setiap perkara dugaan pelanggaran
yang dilakukan oleh anggota dewan dengan cepat, tepat dan sanksi yang akurat. Bukan
seperti selama ini, selain proses sidangnya kerap berlangsung lama, sanksi yang
dijatuhkan pun kerap tidak sesuai. Di samping itu, untuk mengantisipasi terus
terulangnya perkara pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota dewan,
mutlak bagi MKD untuk mengevaluasi sistem pencegahan maupun sistem penindakan
yang diterapkan selama ini. Dengan demikian, diharapkan ke depan para wakil
rakyat dapat lebih menghargai etika, baik dalam berbangsa maupun bernegara.
Wallahu a’lam.
Dimuat dalam opini Tribun Sumsel edisi 19 Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar