Tantangan Memberantas Mafia Migas



(dok. satunusaforum.blogspot.com)


Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang dilakukan oleh Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf kalla (Jokowi- JK) memang terasa sangat menyakitkan bagi rakyat, utamanya kalangan menengah ke bawah. Mau tak mau mereka tentu harus mengencangkan “ikat pinggang” agar bisa memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Mafhum diketahui, pascakenaikan harga BBM bersubsidi pasti akan diikuti dengan kenaikan harga pelbagai jenis kebutuhan pokok. Dalam konteks ini, penulis sangat menyesalkan skenario kenaikan BBM bersubsidi yang diterapkan oleh Pemerintahan Jokowi- JK untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Padahal, Pemerintahan Jokowi- JK bisa saja menerapkan kenaikan harga hanya untuk kendaraan pelat hitam (pribadi) dan pelat merah (pemerintah) saja. Sementara, kendaraan mode trasnportasi publik, baik barang maupun orang tetap menggunakan harga lama. Secara logika, dengan skenario ini harga-harga pelbagai jenis kebutuhan pokok tentu akan stabil. Jika mengalami kenaikan harga, pasti kenaikannya juga tidak signifikan sehingga tidak memberatkan rakyat miskin.
Di samping itu, realisasi kenaikan harga BBM bersubsidi justru dilakukan di tengah masih maraknya keberadaan para mafia minyak dan gas (Migas). Tak heran bila mantan Wakil Menteri Hukum dan Ham (Menkumham) di era Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Denny Indrayana sampai menyebut negeri ini sebagai negeri para mafioso karena banyaknya para pengemplang migas tersebut. Kondisi ini jelas sangat mengusik nurani dan rasa keadilan bagi rakyat miskin. Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 secara tegas mengamanatkan sektor-sektor penting (seperti migas) dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Faktanya, para mafia migas masih bisa leluasa berkeliaran dan mempermainkan sektor krusial bagi hajad hidup rakyat ini. Karenanya, untuk mengikis ketidakadilan bagi rakyat miskin akibat penaikan harga BBM bersubsidi, Pemerintahan Jokowi- JK mesti segera merealisasikan salah satu janjinya pada masa kampanye lalu, yaitu terkait pemberantasan mafia migas. Sehingga, tata kelola migas ke depannya benar-benar bisa dimanfaatkan seutuhnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pergeseran Filosofi Harga BBM



(dok. news.bisnis.com)

Di tengah tren menurunnya harga minyak dunia saat ini, yaitu di kisaran 80 dollar AS per barel, Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi- JK) terus menggulirkan rencananya untuk tetap menaikkan harga BBM bersubsidi. Hanya saja, waktu pelaksanaannya belum ditetapkan secara pasti. Menteri Koordinator Perekonomian, Sofyan Djalil hanya menjanjikan pemerintah akan menaikkan harga BBM Bersubsidi pada waktu yang tepat agar tidak menimbulkan kepanikan. Dari pengalaman kenaikan harga BBM sebelumnya, baik di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maupun di era Pemerintahan Megawati Soekarno Putri, kenaikan harga BBM bersubsidi biasanya dilakukan jika harga minyak dunia melambung tinggi atau nilai tukar rupiah melemah signifikan. Sehingga, mau tak mau harga BBM harus disesuaikan agar kondisi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tetap kondusif.
Rencana kenaikan harga BBM bersubsidi yang digagas Jokowi- JK kali ini tentu adalah sebuah paradoks bagi masyarakat. Dari perspektif harga minyak dunia cenderung stabil dan malah sedang mengalami tren penurunan harga. Sementara, dari perspektif nilai tukar rupiah atas dollar AS juga tidak mengalami pergolakan yang signifikan. Satu-satunya persoalan BBM saat ini hanyalah terkait kuota konsumsi BBM yang pada tahun ini terancam jebol. Berdasarkan kalkulasi Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina Hanung Budya, kuota konsumsi BBM bersubsidi tahun ini berpotensi jebol hingga 1,9 juta kiloliter (KL). Sehingga, langkah menaikkan harga BBM bisa dikatakan merupakan langkah tepat untuk menekan konsumsi BBM dan menjaga APBN tetap sehat. Hanya saja, logika seperti itu tentu tidak akan dengan mudah diterima oleh legislatif dan masyarakat luas. Itulah sebabnya, Jokowi- JK perlu membangun komunikasi yang lugas, jelas, dan terbuka terkait esensi gagasannya menaikkan harga BBM bersubsidi.

Meninjau Skenario Kenaikan Harga BBM Bersubsidi


(dok. detik.co)

Pada hakikatnya, tidak banyak yang diinginkan oleh rakyat dari para penguasa negeri ini. Yaitu, agar harga-harga kebutuhan pokok, utamanya kebutuhan akan makanan sehari-hari dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat. Kondisi inilah yang sekiranya kurang dicermati oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi (17/11). Presiden Jokowi hanya memitigasi dampak kenaikan harga BBM melalui kartu-kartu saktinya, yaitu Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KSS). Padahal, jika ditelaah lebih dalam kartu-kartu sakti tersebut merupakan bentuk mitigasi lanjutan, bukan mitigasi utama bagi rakyat miskin. Misalnya KIS, kartu ini tentu sangat membantu meringankan beban pembiayaan masyarakat miskin bila ada yang terkena gangguan kesehatan (sakit). Namun perlu dipahami bahwa tidak setiap hari penduduk miskin akan sakit, tetapi dapat dipastikan bahwa setiap hari mereka membutuhkan makanan untuk tetap bertahan hidup. Terkait hal inilah sebenarnya diperlukan kejelian dari pemerintah dalam mengelola dampak kenaikan harga BBM bersubsidi.
Menelisik dari akar masalah itulah, pemerintah mutlak meninjau kembali skenario kenaikan BBM bersubsidi yang digunakan. Dalam konteks ini, harga-harga kebutuhan pokok ikut melonjak karena alat transportasi yang digunakan menggunakan harga BBM bersubsidi yang sama dengan yang dikenakan pada kendaraan pelat hitam (pribadi) maupun kendaraan pelat merah (pemerintah). Padahal bila pemerintah lebih cermat dengan skenario kenaikan harga BBM yang digunakan, bisa saja kenaikan harga BBM diterima dengan baik oleh masyarakat tanpa memunculkan pelbagai demonstrasi dan penolakan . Misalnya, bila kenaikan harga BBM hanya diperuntukan bagi kendaraan pelat hitam dan pelat merah saja. Sementara mode transportasi publik, baik barang maupun orang tidak dikenakan kenaikan harga. Maka, harga-harga kebutuhan pokok tidak akan meningkat signifikan. Sehingga, tetap terjangkau oleh daya beli masyarakat menengah ke bawah.

Skenario Mengakhiri Polemik BBM


(dok. jurnas.com)

Rencana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang digagas Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi- JK) saat ini tentu menjadi sebuah paradoks bagi masyarakat. Dari perspektif harga minyak dunia, harganya cenderung stabil dan malah sedang mengalami tren penurunan harga. Sementara, dari perspektif nilai tukar rupiah atas dollar AS juga tidak mengalami pergolakan yang signifikan. Satu-satunya persoalan BBM saat ini hanyalah terkait kuota konsumsi BBM yang pada tahun ini terancam jebol. Berdasarkan kalkulasi Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina Hanung Budya, kuota konsumsi BBM bersubsidi tahun ini berpotensi jebol hingga 1,9 juta kiloliter (KL). Sehingga, langkah menaikkan harga BBM bisa dikatakan merupakan langkah tepat untuk menekan konsumsi BBM dan menjaga APBN tetap sehat. Hanya saja, logika seperti itu tentu tidak akan mudah diterima oleh legislatif dan masyarakat. Itulah sebabnya, Jokowi- JK perlu membangun komunikasi yang lugas, jelas, dan terbuka terkait esensi gagasannya menaikkan harga BBM bersubsidi.
Wakil Presiden Jusuf Kalla secara gamblang telah megungkapkan bahwa Pemerintah berencana mengalihkan subsidi ke sektor-sektor yang lebih produktif. Artinya, upaya menaikkan harga BBM bersubsidi mendatang tidak serta merta ditempuh hanya untuk menyelamatkan postur APBN saja, tetapi urgensinya lebih mengarah pada pengalihan subsidi ke sektor yang lebih produktif bagi masyarakat. Secara logika, peningkatan kesejahteraan rakyat melalui mekanisme seperti itu tentu akan lebih cepat tercapai dari pada sekedar mengalokasikan anggaran untuk mensubsidi BBM. Karena itu, gagasan Pemerintahan Jokowi- JK untuk menaikkan harga BBM bersubsidi juga harus diimbangi dengan implementasi kebijakan- kebijakan lain yang sejalan untuk membangun kepercayaan publik. Jika tidak, BBM bersubsidi hanya akan terus menjadi komoditas politik saja dan selama itu pula isu mengenai bahan bakar akan selalu menjadi isu panas bagi publik (FX Sugiyanto, 2014).

Politik Anggaran dan BBM Bersubsidi


(dok. berdikarionline.com)

Hampir sebulan wacana mengenai kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menjadi isu dan bahan diskusi menarik di pelbagai lini media massa, baik media massa cetak maupun elektronik. Bahkan dalam dua minggu terakhir, isu kenaikan harga BBM bersubsidi ini sampai memicu munculnya pelbagai aksi demonstrasi di beberapa daerah. Di Jakarta, sejumlah mahasiswa dan pelbagai elemen masyarakat menggelar aksi demonstrasi menentang kenaikan harga BBM bersubsidi di depan kampus Universitas Kristen Indonesia (UKI). Hal serupa juga terjadi di Makassar, gabungan mahasiswa dan pelbagai elemen masyarakat menggelar aksi demonstrasi menolak kenaikan harga BBM bersubsidi di depan kampus Universitas Indonesia Timur (UIT). Dampak lain yang tak kalah meresahkan dari isu kenaikan harga BBM bersubsidi ini tentu saja adalah kelangkaan stok BBM. Kondisi ini terekam dari adanya antrian-antrian panjang kendaraan bermotor di beberapa stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).
Kondisi serupa akan terus berulang dari masa ke masa apabila tidak ada political will dan political action

Hilangnya Etos dan Nilai-Nilai Kepahlawanan


(dok. suluahweb.blogspot.com)

Momen sakral peringatan Hari Pahlawan baru saja dilalui pada 10 November 2014 lalu. Momentum itu diwarnai dengan pelbagai acara seremonial, utamanya di instansi-instansi pemerintahan seperti upacara maupun tabur bunga di beberapa lokasi Taman Makam Pahlawan (TMP). Pahlawan dalam pengertian tradisional bisa dikatakan adalah mereka yang memiliki jasa besar dalam membela dan memperjuangkan hak-hak rakyat dalam ruang lingkup tertentu. Jasa besar yang dimaksud bisa berupa perjuangan tanpa pamrih melalui jalur politik, seperti yang dilakukan oleh Bapak Proklamator kita, yaitu Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta. Maupun perjuangan tanpa pamrih melalui peperangan, seperti yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Nyi Ageng Serang, dan Pattimura. Dalam konteks ini, perjuangan tanpa pamrih mereka dalam membela dan memperjuangan kemerdekaan negeri inilah yang menempatkan mereka semua menjadi figur pahlawan. Bahkan, etos kepahlawanan yang dilakukan sampai saat ini selalu menjadi rujukan bagi generasi-generasi penerus bangsa.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, figur-figur yang bisa disebut sebagai pahlawan bukanlah figur yang ruang lingkup perjuangannya hanya menyentuh ranah politik dan peperangan saja. Pengertian mengenai pahlawan secara lebih luas diungkapkan oleh Prof. Baroroh Baried. Yakni meliputi, (1) Pendiri suatu agama atau negara, (2) Orang yang sangat sempurna karena memiliki sifat luhur, seperti berani, pemurah, setia, dan lain-lain, (3) Pemimpin perang dan gugur dalam peperangan, (4) Tokoh utama dalam karya satra. Merujuk pengertian tersebut, maka siapapun yang memiliki kontribusi signifikan terhadap sebuah hal yang perlu dibela dan diperjuangkan dapat disebut sebagai pahlawan. Tidak heran, jika kemudian muncul banyak sebutan pahlawan di berbagai bidang, misalnya pahlawan ekonomi, pahlawan olahraga, pahlawan kebudayaan, pahlawan kemanusiaan, hingga pahlawan pembangunan. Singkat kata, siapapun yang sudah memperoleh legitimasi publik atas jasa-jasanya dan dilegendakan publik dalam pengertian positif layak disebut sebagai pahlawan. Itulah sebabnya, seperti halnya para pahlawan yang beratribut pejuang perang atau politik di era menjelang kemerdekaan, pahlawan-pahlawan dalam konteks kekinian pada hakikatnya juga layak dan berhak untuk hidup abadi di TMK ketika ajal telah menjemputnya.

Kartu (Tri)Sakti dan BBM Bersubsidi


(dok. nasional.news.viva.co.id)

Gagasan Bambang Arianto (BA) bertajuk “Kartu (Tri)Sakti” di kolom Aspirasi Banjarmasin Post (11/11) menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Menurutnya, langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan tiga kartu sakti, yaitu Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KSS) merupakan wujud politik pembuktian Jokowi kepada masyarakat terkait realisasi janji-janji kampanye masa lalu. Jika demikian yang terjadi, maka program kartu sakti Jokowi tersebut patut diapresiasi dan layak diberikan dukungan secara menyeluruh. Celakanya, aroma politik pencitraan masih saja sangat kental dibalik dikeluarkannya kartu-kartu sakti tersebut. Ada dua hal yang menarik untuk disoroti terkait kemungkinan politik pencitraan dibalik dikeluarkannya kartu-kartu sakti Jokowi ini.
Pertama,  sebagaimana yang dijelaskan BA bahwa sumber pendanaan kartu-kartu sakti Jokowi berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 yang dibuat oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), maka bisa dikatakan program itu juga merupakan bagian kelanjutan dari program yang pernah dibuat oleh SBY. Hanya, nomenklaturnya berbeda dan cakupan wilayahnya diperluas. Faktanya, hampir disetiap kesempatan Jokowi maupun menteri-menterinya tidak pernah mengakui bahwa kartu sakti merupakan bagian dari kelanjutan program SBY. Padahal, di APBN 2015 yang dibuat SBY jelas tidak tertuliskan nomenklatur maupun mata anggaran untuk KIS, KIP, dan KKS. Kedua, skenario diluncurkannya kartu sakti mirip dengan skenario dikeluarkannya Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) di era SBY, yaitu menjelang akan dinaikannya harga bahan bakan minyak (BBM) bersubsidi. Sehingga, bila harga BBM bersubsidi naik, Jokowi mempunyai tameng kuat untuk melindungi popularitasnya agar tidak jatuh signifikan.

Opsi Menaikkan Harga BBM


(dok. industri.bisnis.com)

Pascapelantikan Kabinet Kerja, rencana Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi- JK) untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi terus menguat. Rencananya, kenaikan harga BBM bersubsidi itu akan dilakukan sebelum 1 Januari 2015 (Kompas, 30 Oktober 2014). Dari kacamata politik fiskal, upaya menaikkan harga BBM bersubsidi jelas akan memberikan keuntungan bagi ruang fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pemerintah akan mempunyai alokasi dana yang cukup untuk menerapkan program-program kerakyatan yang digagas pada masa kampanye lalu. Mengacu pada skenario kenaikan harga pemerintah sebesar Rp 3.000,00 (46,1 persen) dan apabila kenaikan dilakukan sebelum 1 Januari 2015, maka  pemerintah akan dapat melakukan upaya penghematan anggaran hingga Rp 159 triliun. Bandingkan dengan alokasi anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tahun 2014 yang hanya dikisaran Rp 80, 611 triliun. Apabila penghematan anggaran tahun 2015 yang mencapai Rp 159 triliun itu bisa dialihkan untuk Kemendikbud, maka dapat dipastikan pengembangan infrastruktur pendidikan menjadi lebih cepat dan akan banyak pelajar yang bisa melanjutkan pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi. Maka seperti yang pernah diungkapkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, lebih baik alokasi dana subsidi itu dipergunakan untuk pengembangan infrastruktur dan program padat karya dari pada dihabiskan dijalanan.

Mengakhiri Perdebatan RUU Pilkada


(do. ib.ayobai.org)

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung yang diawali tahun 2005, besar kemungkinan tidak akan digunakan lagi dalam penyelenggaraan pilkada mendatang. Pasalnya, pascapilpres 2014 terjadi perubahan konstelasi sikap politik antar fraksi-fraksi di DPR terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada tersebut. Mayoritas fraksi yang sebelum pilpres 2014 dilakukan dalam RUU Pilkada menyepakati penyelenggaraan pilkada secara langsung, kini berbalik arah dengan menginginkan penyelenggaraan pilkada secara tidak langsung (baca: dipilih DPRD). Fraksi-fraksi tersebut ialah fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) dan menguasai 65 persen kursi DPR, yaitu Gerindra, Golkar, PPP, PAN, dan Demokrat. Maka, aroma hitung-hitungan politik untuk menguasai kekuasaan politik di daerah pasca kekalahan di pilpres menjadi amat terasa.
Di samping itu, menarik dicermati juga argumen yang dibangun oleh fraksi-fraksi KMP untuk mengembalikan pilkada ke tangan DPRD tersebut. Yakni, pemborosan anggaran daerah, menyuburkan politik transaksional, dan berpotensi besar memicu konflik horisontal. Selain itu, bagi pasangan calon kepala daerah ongkos politik yang harus disediakan sangat tinggi (high cost democracy), yakni berkisar antara Rp 20 miliar hingga Rp 128 miliar. Harus diakui, penyelenggaraan pilkada secara langsung memang masih jauh dari sempurna. Namun demikian, relevansi spirit memajukan demokrasi menjadi kabur maknanya apabila solusi yang diambil ialah dengan mengubah sistemnya. Sebab, untuk memajukan demokrasi nasional diperlukan konsistensi dan perbaikan konsolidasi politik secara berkelanjutan. Maka, solusi yang paling relevan saat ini sebagai upaya membangun dan memajukan demokrasi nasional bukanlah mengubah sistem, melainkan memperbaiki mekanismenya yang sudah ada.

Fenomena Jilboobs dan Hijab Syar'i



(Doc. SuaraIslam.com)
Fenomena jilboobs, belakangan ini telah menjadi salah satu wacana hangat yang menyita perhatian publik. Fenomena ini berkembang pesat seiring munculnya akun-akun di media sosial yang mengafiliasi konten-konten muslimah yang mengenakan jilboobs. Bahkan, salah satu akun di media sosial Facebook bernama Jilboobs Community mampu menyedot perhatian publik hingga mendapatkan empat ribu lebih likes dihalamannya. Secara etimologi, istilah jilboobs ini terdiri dari dua kata, yaitu jilbab yang notabene merupakan busana islami kaum muslimah, dan boobs yang bermakna dada wanita atau orang dungu. Istilah ini disematkan untuk menyindir perempuan muslimah yang mengenakan hijab, akan tetapi sangat ketat sehingga setiap bagian lekuk tubuhnya terlihat jelas, utamanya pada bagian dada.

Mengakhiri Polemik BBM


(Dok. DMG)
Pascanormalisasi pasokan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi oleh Pertamina, keadaan di setiap stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) mulai berangsur-angsur normal kembali. Kelangkaan BBM, utamanya premium dan solar sudah bisa teratasi. Lebih dari itu, antrian panjang masyarakat untuk membeli BBM bersubsidi juga sudah tidak terjadi lagi. Kondisi ini tentu melegakan masyarakat, terlebih lagi di negara ini BBM bisa dikatakan sebagai satu-satunya “nyawa” roda perekonomian nasional. Sebut saja, sebagai penggerak industrialisasi, penggerak transportasi umum maupun pribadi, hingga penggerak roda ekonomi pertanian dan roda ekonomi maritim. Hanya saja, dalam jangka menengah normalisasi pasokan BBM bersubsidi seperti saat ini jelas akan berimbas pada kemungkinan jebolnya subsidi BBM. Faktanya, menurut Vice Presiden Corporate Communication Pertamina, Ali Mundakir, kuota BBM bersubsidi yang tersisa hingga akhir tahun tinggal 29 persen saja. Sedangkan, konsumsi BBM masyarakat tergolong tinggi, utamanya masyarakat di Jawa dan Sumatera. Maka, tanpa perlakuan khusus bukan tidak mungkin BBM bersubsidi akan habis lebih cepat dari kalkulasi pemerintah. Dampaknya, pemerintahan baru mendatang akan tersandera oleh defisit subsidi BBM. Minimal untuk jangka waktu hingga akhir tahun. Itulah sebabnya, polemik subsidi BBM harus segera diakhiri dengan menerapkan kebijakan yang adil dan merata berdasarkan konstitusi, UUD 1945. Sehingga, rakyat kecil tetap bisa memperoleh subsidi sebagaimana yang diamanatkan founding fathers dalam konstitusi, dan Pemerintah tetap bisa bernafas legas terhadap ruang fiskal yang dimilikinya.

Polemik Pembatasan BBM Bersubsidi


(Dok. fncounter.com)
Sejak tanggal 1 Agustus lalu, pemerintah melalui Badan Pengatur Hilir Minyak dan gas Bumi (BPH Migas) telah mengeluarkan 3 (tiga) kebijakan terkait pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Tiga kebjakan tersebut ialah tidak menjual solar bersubsidi di Jakarta Pusat, tidak menjual premium bersubsidi di SPBU yang berada di jalan tol seluruh Indonesia, dan pembatasan pembelian solar bersubsidi mulai pukul 08.00 hingga 18.00 WIB. Konon, alasan dikeluarkannya kebijakan tersebut adalah demi menghemat kuota BBM bersubsidi, akibat membengkaknya konsumsi nasional BBM bersubsidi. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), realisasi penyaluran BBM bersubsidi hingga semester pertama tahun 2014 mencapai 22,91 juta kilo liter (kl). Kondisi ini lebih tinggi dari kuota yang direncanakan sebesar 22,81 juta kl. Berdasarkan data tersebut, realisasi BBM bersubsidi untuk premium telah mencapai 17,08 juta kl atau 58 persen dari kuota persediaan BBM bersubsidi yang ditetapkan pemerintah. Sementara, konsumsi solar bersubsidi telah berada dikisaran 60 persen dari total kuota 15,16 juta kl. Berdasarkan kalkulasi pemerintah, jika tidak dilakukan upaya-upaya pembatasan maka subsidi BBM, baik untuk premium maupun solar akan jebol. Premium bersubsidi diprediksi akan habis di tanggal 19 Desember 2014, sementara solar bersubsidi akan habis sebelum 30 November 2014.

Membumikan Spirit Idul Fitri


(Dok. nasional.kompas.com)
Momen Hari Raya Idul Fitri kali ini berbarengan dengan berbagai kejadian yang menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas yang butuh tanggapan dan penyikapan secepatnya. Di Palestina, saudara-saudara kita umat muslim merayakan Idul Fitri di tengah-tengah ancaman serangan dari zionis Israel. Korban tewas akibat serangan tersebut hingga kini telah mencapai 1.000 jiwa lebih. Hal ini jelas merupakan tragedi kemanusiaan yang memilukan di tengah-tengah suka cita umat muslim negeri ini merayakan Idul Fitri. Sementara itu, di dalam negeri sendiri usaha menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas pun nampak jelas dalam ritual elektoral yang diselenggarakan, baik dalam pemilukada hingga kontestasi pilpres yang baru saja dilaksanakan. Nalar ambisius segelintir elit politik untuk keluar sebagai pemenang dalam demokrasi elektoral dengan menghalalkan segala cara begitu kentara terlihat. Tak heran, bila dalam ritual elektoral tersebut selalu tak pernah lepas dari adanya praktik-praktik kecurangan, seperti praktik politik uang (money politics), praktik jual-beli suara (vote buying), dan praktik manipulasi jumlah suara. Karenanya, tak salah rasanya apabila dalam merayakan momen Idul Fitri 1435 H kali ini, evaluasi dan introspeksi diri menjadi hal utama yang tak boleh dilupakan.

Jilboobs dan Simbol Otokritik



(Dok. Jawa Pos)

Belakangan ini fenomena jilboobs kembali marak menjadi perbincangan hangat di media massa maupun di media sosial. Fenomena faktual ini terjadi setelah munculnya akun Facebook Jilboobs Community yang dibuat sejak 25 Januari 2014. Hingga saat ini, akun tersebut telah mendapatkan empat ribu lebih likes pada halamannya dan terus meningkat pesat seiring munculnya kontroversi jilboobs. Belakangan, di Twitter akun-akun serupa yang juga mengusung nama dan memposting konten-konten yang berafiliasi dengan fenomena jilboobs juga terlihat mulai marak. Sebelumnya, fenomena yang sama juga pernah menyeruak ke permukaan di tahun 2012 lalu, hanya saja dengan istilah berbeda yakni jilbab gaul dan jilbab funky.
Secara etimologi, istilah jilboobs ini merupakan penggabungan dari dua kata, yakni jilbab dan boobs (dada wanita/ orang dungu). Istilah ini merupakan sindiran kepada para wanita muslim yang mengenakan hijab akan tetapi sangat ketat, sehingga lekuk tubuhnya terlihat jelas, terutama untuk bagian dada. Hal ini jelas tidak sesuai dengan konsep berpakaian Islam yang syar’i, yakni tertutup,  tidak membentuk lekuk tubuh  (longgar) dan tidak tembus pandang (transparan). Lebih jauh, Syaikh Al- Bani dalam bukunya berjudul “Jilbaabul Mar’ah Al- Muslimah”, mengungkapkan seperti apa ketentuan syariat jilbab yang syar’i sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Al qur’an. Di dalam buku tersebut dijelaskan ada delapan ketentuan syariat jilbab yang syar’i, yaitu menutupi seluruh badan selain bagian yang dikecualikan, tidak dijadikan perhiasan, tidak tembus pandang, tidak ketat, tidak dibubuhi minyak wangi (parfum), tidak menyerupai pakaian lelaki, tidak meyerupai pakaian wanita kafir, dan tidak berupa pakaian syuhrah (mencolok).

Skenario Perselisihan Elektoral Hasil Pilpres



Pascareformasi, mempersengkatakan hasil rekapitulasi Pemilu Presiden (Pilpres) ke Mahkamah Konstitusi (MK), sudah menjadi hal yang jamak terjadi. Demikian pula pada penyelenggaraan demokrasi elektoral pilpres 2014 ini, pasangan Prabowo Subianto- Hatta Radjasa yang dinyatakan kalah dari pasangan Joko Widodo- Jusuf Kalla oleh KPU RI juga membawa hasil pilpres tersebut untuk disengketakan di MK. Permohonan sengketa hasil pilpres tersebut dilayangkan oleh tim kuasa hukum Prabowo Subianto- Hatta Radjasa 3 hari pasca ketok palu KPU terhadap hasil rekapitulasi (25/7). Kubu Prabowo Subianto- Hatta Radjasa menilai bahwa telah terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) pada penyelenggaraan pilpres. Bahkan menurut salah satu anggota tim hukum pasangan tersebut, Maqdir Ismail menilai bahwa seharusnya kliennya yang memenangkan pilpres ini. Menurutnya, Prabowo Subianto- Hatta Radjasa seharusnya mendapatkan 67.139.153 suara (50,25 persen), sementara Joko Widodo- Jusuf Kalla hanya 66.435.124 suara (49,74 persen).

Menanti Kabinet Harapan Rakyat



(Dok. Galamedia)

Pasca ketok palu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menetapkan pasangan Joko Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi- JK) sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2014-2019, tugas berat telah menanti pasangan ini. Tak heran, bila langkah cepat untuk menyusun kabinet baru itupun sudah mulai dilakukan. Menariknya, proses penyusunan kabinet yang dilakukan oleh Jokowi- JK kali ini berbeda dengan proses penyusunan kabinet lainnya. Dalam proses penyusunan kabinetnya, Jokowi- JK tidak ragu untuk melibatkan partisipasi publik dalam menentukan nama-nama calon menterinya. Usaha tersebut dilakukan dengan membuat polling bertajuk Kabinet Alternatif Usulan Rakyat (KAUR) untuk menjaring 34 nama yang akan mengisi posisi menteri. Polling dilakukan oleh Jokowi Center dan Radio Jokowi dengan menyediakan tiga pilihan nama calon menteri dan satu kolom untuk memberikan nama selain nama yang telah disediakan.
Terobosan yang dilakukan oleh pasangan Jokowi- JK tersebut jelas patut untuk diapresiasi. Pasalnya, terobosan ini akan mendorong munculnya banyak nama calon menteri yang berkualitas, sehingga bisa memberikan alternatif yang luas bagi presiden untuk menentukan menteri dalam kabinetnya. Lebih dari itu, rakyat juga akan merasa dihargai karena diberi hak untuk terlibat langsung dalam menentukan calon menteri. Hanya saja, keterlibatan publik ini harus dimaknai secara positif. Artinya, publik harus tetap memahami bahwa penyusunan kabinet adalah hak prerogratif presiden sebagaimana tercermin dalam pasal 17 ayat (1), (2), (3) dan (4) UUD 1945 pascaamandemen. Sehingga, siapapun nama calon menteri yang akhirnya duduk di dalam kabinet pemerintahan Jokowi- JK mendatang, harus diterima dengan baik oleh semua lapisan masyarakat.

Memelihara dan Merawat Spirit Antikorupsi



 
(Dok. Bali Post 5-8-2014)
Suasana perayaan hari raya Idul Fitri 1435 H kali ini berlangsung khidmat dan meriah. Salah satunya karena proses penetapan tanggal 1 Syawal oleh Kementerian Agama berjalan lancar. Sehingga, umat Islam di Tanah Air dapat merayakan Idul Fitri secara bersamaan. Idul Fitri tentunya bukan sekedar perayaan dan ajang berkumpul keluarga besar. Lebih dari itu, Idul Fitri sesungguhnya mempunyai makna mendalam yang patut diteladani. Ditinjau dari sisi etimologis, Idul Fitri mempunyai makna bahwa umat Islam telah kembali bersih dari dosa-dosa yang diperbuat.  Ini berarti, seluruh manusia utamanya umat Islam yang telah sampai pada fitrahnya (kesucian), harus senantiasa meninggalkan perbuatan-perbuatan yang mendekatkan diri pada dosa, semisal iri, dengki, dan tindakan maksiat lainnya.
Sementara itu, ditinjau dari sisi terminologi Idul Fitri secara sederhana dapat dimaknai sebagai hari raya yang datang berulang kali setiap tanggal 1 Syawal sebagai pertanda bahwa puasa telah selesai. Tak heran, bila kemudian Idul Fitri acap dirayakan dengan menyediakan makanan dan hidangan yang lebih mewah dari pada hari-hari biasa. Sebagai wujud suka cita hal tersebut tentu sah-sah saja. Dalam Al Qur’an pun diriwayatkan, ketika para pengikut Nabi Isa tersesat, mereka pernah berniat mengadakan ‘Id (hari raya atau pesta) dan meminta kepada Nabi Isa agar Allah SWT menurunkan hidangan mewah dari langit. Dan ternyata, Allah SWT mengabulkan permintaan mereka lalu menurunkan makanan (QS. Al Maidah 112-115). Celakanya, kedua pemaknaan di atas acap menjadi pemaknaan kosong belaka tanpa benar-benar bisa meresap ke dalam hati sanubari setiap pemeluk Islam. Tak heran bila pasca Idul Fitri, berbagai perbuatan maksiat yang lazim terjadi di negara ini kembali marak terjadi, misalnya korupsi, kolusi, pemerasan, dan fitnah.

Menyikapi Hasil Elektoral Pilpres



(Dok. Article)
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan hasil rekapitulasi suara nasional Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 pada 22 Juli lalu. Hasilnya seperti yang telah diperkirakan oleh beberapa lembaga survei kredibel, pasangan nomor urut 2 yakni Joko Widodo- Jusuf Kalla terpilih menjadi presiden dan wakil presiden periode 2014-2019. Pasangan nomor urut 2 ini mengungguli perolehan suara pasangan nomor urut 1, yakni Prabowo Subianto- Hatta Radjasa dengan selisih 8.421.389 suara. Joko Widodo- Jusuf Kalla memperoleh 70.997.833 (53, 15 %) suara, sementara Prabowo Subianto- Hatta Radjasa memperoleh 62.576.444 (46,85 %) suara.
Rakyat Indonesia patut memberikan apresiasi kepada KPU yang telah menuntaskan kinerjanya dengan baik. Selain itu, seluruh rakyat Indonesia juga patut memberikan apresiasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah intensif mendorong jajarannya untuk turut mengamankan situasi menjelang dan pasca pengumuman rekapitulasi oleh KPU. Namun demikian, keterpilihan Joko Widodo- Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden baru periode 2014-2019 mendatang tak boleh dianggap sebagai akhir dari proses politik demokrasi negara ini. Melainkan harus dianggap sebagai proses awal untuk menuju kesejahteraan rakyat yang lebih baik. Oleh sebab itu, keterpilihan Joko Widodo- Jusuf Kalla pada pilpres kali ini mutlak harus diikuti dengan memberikan kesempatan bekerja kepada mereka untuk menjalankan visi-misinya dengan leluasa.

Menyikapi Hasil Rekapitulasi



(Dok. Koran Jakarta)

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan hasil rekapitulasi suara nasional Pemilu Presiden (Pilpres) 2014. Detik-detik menuju dilakukannya pengumuman rekapitulasi suara nasional pun hingga kini masih terasa sangat menegangkan. Itulah bukti bahwa persaingan antara pasangan nomor urut 1 yakni Prabowo Subianto- Hatta Radjasa dan pasangan nomor urut 2 yakni Joko Widodo- Jusuf Kalla pada pilpres kali ini begitu kompetitif. Di sisi lain, munculnya dualisme orientasi hitung cepat (quick count) hasil pilpres yang berbeda, juga menambahkan ketegangan tersendiri di masyarakat. Maka benar persepsi banyak orang bahwa pilpres kali ini adalah pilpres yang paling kompetitif dan dramatis. Persaingan di segala lini begitu kentara terlihat, selain itu munculnya relawan-relawan menjadi fenomena tersendiri di pergelaran pilpres kali ini. Boleh jadi, ini merupakan titik balik dari transisi demokrasi nasional yang pada pergelaran pilpres sebelumnya sempat meninggi angka pemilih golongan putihnya. Maka, momentum ini harus tetap dijaga dan dipelihara oleh semua lapisan masyarakat. Dengan begitu, partisipasi aktif masyarakat dalam pemilu akan terus meningkat dan transisi demokrasi akan segera mendapatkan hasilnya, yakni terciptanya negara demokrasi yang hakiki. Hanya saja, potensi ancaman untuk merawat momentum tersebut selalu ada. Potensi ancaman terdekat tentu adalah munculnya isu-isu kerusuhan dan amuk massa yang terjadi pada 22 Juli 2014. Penulis sangat yakin, baik Prabowo Subianto- Hatta Radjasa maupun Joko Widodo- Jusuf Kalla adalah figur politik dan negarawan sejati. Karenanya, munculnya isu-isu tersebut barangkali adalah upaya pihak ketiga untuk memperkeruh suasana politik dan keamanan nasional pasca diumumkannya rekapitulasi suara nasional oleh KPU. Di sinilah diperlukan teladan dari kandidat pasangan capres- cawapres untuk menunjukkan kebesaran hati dalam menerima apapun hasil yang diumumkan oleh KPU. Presiden dan wakil presiden terpilih tentu saja tidak perlu jumawa, karena keterpilihannya adalah awal dari tugas beratnya untuk mendekatkan seluruh masyarakat Indonesia pada kesejahteraan di segala lini, baik ekonomi, sosial, mapun politik. Sementara, capres- cawapres yang tidak terpilih tak perlu merasa kalah dan mewujudkannya dalam amarah maupun amuk massa. Karena, mereka masih mempunyai tanggung jawab sebagai figur terdepan untuk mengingatkan presiden dan wakil presiden terpilih jika tak benar-benar menjalankan amanah dari suara yang diberikan oleh mayoritas rakyat Indonesia.

Nalar Koruptif Pengesahan RUU MD3



(Dok. SH)

Demokrasi di negara ini benar-benar sedang mendapatkan ujian pasca berlangsungnya Pemilu Presiden (Pilpres) 2014. Skandal dualisme orientasi hitung cepat (quick count) hasil pilpres menjadi ujian pertama yang menyeruak kepermukaan beberapa jam setelah pemungutan suara selesai. Beberapa lembaga survei merilis quick count hasil pilpres dengan memberikan keunggulan pada pasangan nomor urut 1, yaitu Prabowo Subianto- Hatta Radjasa. Sementara, beberapa lembaga survei lainnya merilis quick count hasil pilpres dengan memberikan keunggulan pada pasangan nomor urut 2, yaitu Joko Widodo- Jusuf Kalla. Walhasil, publik pun dibuat kebingungan oleh quick count hasil pilpres yang dirilis oleh lembaga-lembaga survei itu. Ujian selanjutnya yaitu manuver yang dilakukan oleh dewan terhormat negara ini di Senayan. Tepat sehari sebelum pelaksanaan pencoblosan pilpres 2014, secara “diam-diam”, mereka mengesahkan Revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (RUU MD3). Konon, revisi UU tersebut disusun untuk membenahi pasal dan klausa UU Nomor 27 tahun 2009 yang dianggap sudah tak relevan lagi. Sidang pengesahan yang dihadiri oleh 476 anggota dewan tersebut, berlangsung cukup alot dan dramatis. Pasalnya, sejumlah anggota dewan lain, yakni 78 anggota dari PDI P, 19 anggota dari PKB, dan 12 anggota dari Hanura menunjukkan penolakannya dengan melakukan aksi walk out. Rakyat di negara ini memang patut prihatin dengan sesat pikir para anggota dewan yang melakukan pengesahan secara aklamasi tersebut. Bagaimana tidak? UU MD3 yang telah disahkan tersebut secara nyata hanya berorientasi pada kepentingan mereka saja, khususnya agar mendapatkan imunitas hukum yang lebih kuat. Kondisi ini tentu akan menghambat terciptanya penegakkan hukum yang adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Lebih jauh lagi, aparat penegak hukum, baik Polri maupun KPK akan mengalami hambatan serius bila menangani persoalan hukum yang melibatkan anggota dewan, terutama pada perkara korupsi.

Quick Count dan Sesat Pikir Akademisi



(Dok. Mediawarga.Info)

Rakyat Indonesia sudah menunaikan hak politiknya untuk memilih pemimpin nasional yang akan memimpin bangsa besar ini lima tahun ke depan. Proses pencoblosan pun berjalan lancar, nyaris tidak ada persoalan serius yang menjadi ancaman. Namun demikian, keinginan rakyat Indonesia agar kondisi politik nasional segera kondusif lagi, nyatanya tidak serta merta bisa terwujud. Kondisi ini adalah imbas dari munculnya dualisme orientasi hitung cepat (quick count) hasil Pemilu Presiden (Pilpres) 2014. Quick count hasil pilpres yang satu memberikan keunggulan pada Prabowo Subianto- Hatta Radjasa, sementara quick count hasil pilpres yang lain memberikan keunggulan pada kubu pesaingnya, yaitu Joko Widodo (Jokowi)- Jusuf Kalla (JK). Terlebih lagi, dualisme orientasi quick count hasil pilpres tersebut secara masif diumbar ke publik, baik melalui televisi, media cetak, maupun media sosial. Walhasil, rakyat di akar rumput (grass roots) mengalami kebingungan dan suasana politik masih tetap terasa panas. Kita tentu tidak bisa mempersalahkan quick count yang dilakukan, mengingat keberadaan quick count sendiri diakui oleh undang-undang (UU), yaitu UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 186 ayat 2 UU tersebut menyebutkan, quick count merupakan wujud partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pilpres. Maka, munculnya dualisme orientasi quick count hasil pilpres saat ini jelas adalah akibat  dari adanya sesat pikir para akademisi yang terlibat dalam melakukan quick count tersebut. Mereka secara tidak bertanggung jawab memanipulasi tabulasi data maupun metodologi yang digunakan hanya untuk menyenangkan hati capres- cawapres yang diunggulkan, serta para pendukungnya di akar rumput.

Kontroversi Quick Count Hasil Pilpres


(Dok.Solopos 12 Juli 2014)
Munculnya perbedaan orientasi pada hasil hitung cepat (quick count) saat ini, sebenarnya bukanlah hal yang tidak dapat diprediksi sebelumya. Terlebih lagi, elektabilitas kedua pasangan capres- cawapres yang bertarung di Pemilu Presiden (Pilpres) 2014, yakni Prabowo Subianto- Hatta Radjasa dan Joko Widodo (Jokowi)- Jusuf Kalla (JK) memang sangat kompetitif. Hal inilah yang membuka peluang bagi lembaga quick count partisan untuk mengeruk keuntungan material dari situasi ini. Akan tetapi bagi publik, hal ini jelas berpengaruh buruk pada situasi politik pascapencoblosan, 9 Juli lalu. Situasi politik yang diharapkan bisa mengalami cooling down pascapencoblosan, nyatanya hingga saat ini atmosfer politik masih terasa panas. Tak heran jika kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam pertemuannya dengan kedua pasangan capres- cawapres sampai mewanti-wanti agar masing-masing kubu bisa menahan diri dan tidak mengumpulkan massa sebelum pengumuman resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), 22 Juli mendatang. Pada Pilpres 2014 kali ini setidaknya ada 11 lembaga survey yang menyita perhatian publik terkait perbedaan orientasi hasil quick count yang dirilis. Empat lembaga yaitu Pusat Kajian Kebijakan dan Pembagunan Strategis (Puskaptis), Lembaga Survei Nasional (LSN), Indonesia Research Center (IRC), dan Jaringan Suara Indonesia (JSI) memberikan keunggulan kepada Prabowo Subianto- Hatta Radjasa. Sementara, tujuh lembaga lainnya yakni Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Center for Strategic and International Studies (CSIS)- Cyrus Network, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Indikator Politik, Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kompas, Radio Republik Indonesia (RRI), dan Pol-Tracking Institute memberikan keunggulan kepada Jokowi-Jusuf Kalla.

Nalar Sesat Kecurangan Pilpres


Rivalitas antar kubu pasangan capres- cawapres di Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 kian ketat. Hal ini ditandai dengan gap elektabilitas kedua pasangan, yaitu Prabowo Subiantto- Hatta Radjasa dan Joko Widodo (Jokowi)- Jusuf Kalla yang terus menipis. Berdasarkan rilis survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) misalnya, pada Mei 2014 selisih elektabilitas ke dua kubu mencapai 13 persen. Sementara, rilis survei bulan Juni pasca pendeklarasian pasangan capres- cawapres secara resmi, selisih elektabilitas kedua kubu sudah berada dikisaran 6 persen. Menurut beberapa pengamat politik nasional, angka tersebut akan terus menipis seiring berlangsungnya debat pasangan capres- cawapres. Terlepas dari semakin tipisnya gap elektabilitas ke dua kubu, setidaknya ada dua faktor dominan lain yang juga ikut mempengaruhi langsung kemenangan di Pilpres kali ini. Pertama, faktor swing voters (massa mengambang). Seiring berlangsungnya debat capres- cawapres angka swing voters memang cenderung menurun. Akan tetapi, saat ini angkanya masih cukup signifikan dan masih berpengaruh pada kemenangan di Pilpres, yakni dikisaran 10 persen. Kedua, praktik kecurangan yang dilakukan secara terstruktur dan sistematis. Berdasarkan kajian dari tim pemenangan kedua kubu, praktik kecurangan yang dilakukan secara terstruktur dan sistematis bisa berpotensi menyumbang suara hingga 10 persen (Kompas, 2-7-2014). Jika mengacu pada gap elektabilitas kedua kubu saat ini, potensi kecurangan tersebut jelas bisa mengantarkan kandidat yang melakukan praktik kecurangan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Dari dua faktor dominan di atas, khusus praktik kecurangan patut menjadi fokus tersendiri bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk melakukan upaya antisipasi. Pasalnya, praktik-praktik kecurangan lazimnya kerap melibatkan orang dalam (internal) KPU itu sendiri.

Spirit Multikulturalisme Piala Dunia


(Doc. Sinarharapan.co)
Saat ini, miliaran pasang mata sedang diarahkan pada pesta olahraga terakbar sejagad raya, yakni Piala Dunia (World Cup). Piala dunia kali ini diselenggarakan di Brasil dan merupakan Piala Dunia ke 20 dari seluruh rangkaian Piala Dunia yang pernah di gelar. Dalam sejarahnya, banyak yang belum tahu bahwa negara kita tercinta ini juga pernah sekali ikut berpartisipasi dalam putaran final Piala Dunia, yaitu pada Piala Dunia ketiga di Prancis tahun 1938. Kala itu, Indonesia belum menjadi negara yang merdeka, sehingga keikutsertaannya juga tidak menggunakan nama Indonesia melainkan menggunakan nama Dutch East Indies (Hindia Belanda). Para pemainnya terdiri dari gabungan warga Indonesia, Tiongkok, dan Belanda. Mereka diantaranya adalah Achmad Nawir, Mo Heng, Anwar Soetan, Henk Zomers, Hong Djien, dan G Van Den Burg. Pada pertandingan pertamanya, tim ini dilibas oleh kesebelasan Hungaria 6 gol tanpa balas. Sementara, tuan rumah Perancis disingkirkan Italia di perempat final dengan skor 1-3. Gli Azzurri (julukan timnas Italia) akhirnya terus melaju dan menundukkan Hungaria di final dengan skor 4-2, hingga kemudian menjadi juara Piala Dunia untuk pertama kalinya.

Kekhawatiran Pilpres Dua Putaran


(Dok. Investor.co.id)
Mendekati pelaksanaan pemilu presiden (Pilpres) 2014, ada persoalan penting yang tiba-tiba menyedot perhatian banyak pihak yaitu terkait multitafsir pemenang Pilpres satu putaran. Pangkal persoalannya ialah isi dari Pasal 6A ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Pasal 6A ayat 1 UUD 1945 disebutkan “Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia di lantik menjadi presiden dan wakil presiden”. Ayat tersebut dijabarkan dalam Pasal 159 ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2008, “Jika tidak ada pasangan capres- cawapres yang memenuhi syarat kemenangan yang ada dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945, pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung”. Secara sederhana, tafsir atas Pasal tersebut tentu bisa dipahami bahwa meski hanya ada dua pasangan capres- cawapres di Pilpres 2014, akan tetapi tidak menjamin Pilpres hanya akan berlangsung satu putaran. Pilpres putaran kedua bisa saja terjadi, jika pasangan capres- cawapres yang memperoleh lebih dari 50 persen suara tidak diikuti dengan sebaran minimal 20 persen suara di lebih dari separuh jumlah provinsi di Indonesia. Benarkah demikian?

Politik Black Campaign

(Dok. Galamedia)


Kampanye hitam (black campaign) tanpa disadari kini telah benar-benar menjelma menjadi senjata politik pemusnah massal. Senjata pemusnah itu saat ini semakin sering ditembakkan ke publik dengan tujuan mengalahkan lawan dan mempengaruhi preferensi pemilih di bilik suara pada 9 Juli mendatang. Dua kandidat calon presiden (capres) Republik Indonesia ke tujuh yaitu Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto, secara kasat mata sama-sama telah menjadi sasaran empuk senjata politik pemusnah ini. Kampanye hitam yang menyerang Jokowi antara lain isu tentang kadar ke-Islaman Jokowi, sms penghapusan renumerasi dan tunjangan bagi guru, serta yang paling radikal adalah foto iklan kematian Jokowi. Sementara, kampanye hitam yang ditujukan untuk Prawowo yaitu isu permintaan kewarganegaraan Yordania, isu keterlibatan Prabowo dalam penculikan dan kerusuhan 1998, serta isu pemukulan pada saat pendaftaran pasangan capres-cawapres di KPU (20/5). Di negara ini, kampanye hitam memang masih dipandang sebagai jurus ampuh untuk menjatuhkan lawan politik dalam perebutan kursi kekuasaan. Fenomena ini menunjukkan bahwa etika berpolitik elitis di negeri ini masih sangat buruk serta tidak siap untuk menerima kekalahan politik. Oleh sebab itu, peran KPU, Bawaslu, dan partai politik sangat diperlukan untuk mencegah masifnya kampanye hitam dalam Pilpres 2014 kali ini. Harus ada tindakan tegas dari lembaga-lembaga tersebut yang menunjukkan tidak mentolerir penggunaan kampanye hitam.

Tantangan Distribusi Guru Nasional

(Dok. Sinarharapan.co)


Pergelaran Pilpres 2014, seakan menjadi pembenaran bagi pemerintah untuk melupakan isu-isu dasar tentang persoalan pendidikan. Padahal, setumpuk persoalan pendidikan telah lama menanti untuk dicarikan solusi. Salah satu persoalan klasik yang hingga saat ini kurang mendapatkan perhatian serius dari pemerintah adalah pemerataan distribusi guru. Guru hanya menumpuk di perkotaan, di pedesaan dan di daerah-daerah strategis saja, sementara di daerah 3T (terluar, terdepan, tertinggal) jumlah guru sangatlah tidak sepadan dengan banyaknnya siswa yang ada. Data Pemetaan guru dari BPSMP- PMP Kemendikbud (2011) menunjukkan bahwa persebaran guru masih sangat sentralistik. Di perkotaan, jumlah guru berkelebihan hingga 52 persen, di pedesaan berkelebihan hingga 68 persen, sedangkan di daerah 3T terjadi kekurangan guru hingga 66 persen. Ketidakmerataan distribusi guru tersebut jelas akan berpengaruh pada kualitas pendidikan di Tanah Air secara menyeluruh. Daerah yang mempunyai rasio perbandingan guru dan murid ideal tentu akan mempunyai generasi penerus pembangunan yang cakap, berkualitas, dan berilmu. Sedangkan daerah 3T yang notabene memang mengalami defisit guru, tentu akan kesulitan melahirkan generasi penerus seperti yang diharapkan. Karena itu, pemerataan distribusi guru seharusnya mutlak menjadi prioritas utama pemerintah dan Kemendikbud untuk segera diselesaikan dalam sisa waktu periode pemerintahan empat bulan ke depan. Sudah menjadi kewajiban pemerintah, khususnya Kemendikbud tentunya untuk membuka kesempatan seluas-luasnya bagi pemenuhan kebutuhan pendidikan seluruh rakyat Indonesia, tak terkecuali untuk generasi penerus bangsa yang tinggal di daerah 3T tersebut.

Mempertimbangkan Undecided Voters

(Dok. Solopos)


Persaingan menuju singgasana RI 1- RI 2 yang diikuti oleh dua kandidat pasangan capres- cawapres, yaitu Prabowo Subianto- Hatta Rajasa dan Joko Widodo (Jokowi)- Jusuf Kalla semakin menunjukkan persaingan yang sangat ketat. Terbukti, dari berbagai survei terbaru, elektabilitas kedua pasangan kandidat presiden dan wakil presiden tersebut semakin menunjukkan gap yang tidak terlalu jauh, yakni dikisaran 9 hingga 14 persen saja. Berdasarkan hasil survei elektabilitas Soegeng Sarjadi School of Goverenment (SSSG) yang dirilis pada 4 Juni lalu misalnya, tingkat elektabilitas Prabowo Subianto- Hatta Rajasa dikisaran 28,35 persen, sementara Jokowi- Jusuf Kalla dikisaran 42,65 persen. Pada survei ini pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) sebanyak 29,00 persen. Survei tersebut dilakukan dengan wawancara telepon terhadap 1.250 responden di 10 kota besar di seluruh Indonesia. Rilis serupa dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengenai tingkat elektabilitas kandidat capres- cawapres juga tidak berbeda jauh hasilnya. Elektabilitas Prabowo- Hatta diangka 22, 75 persen, elektabilitas Jokowi- Jusuf Kalla diangka 35,42 persen, dan undecidedd voters diangka 41,83%. Menurut prediksi beberapa pengamat politik nasional, di masa kampanye gap elektabilitas kedua pasangan capres- cawapres tersebut diyakini akan terus menipis. Karena itu, menyisir kelompok pemilih yang mempunyai potensi suara signifikan menjadi hal yang mutlak dilakukan pada masa kampanye ini. Lebih dari itu, pendekatan dan strategi politik dalam menggaet lumbung-lumbung suara juga harus dimantapkan. Faktanya, pemilih yang belum mempunyai pilihan atau undecided voters, angkanya sangat signifikan. Artinya, strategi dan pendekatan politik yang diterapkan saat ini oleh masing-masing kubu capres- cawapres, terbukti tidak optimal. Apabila total daftar pemilih tetap (DPT) Pilpres 2014 diperkirakan sebanyak 190 juta, maka potensi undecided voters bisa mencapai 70 juta suara. Dengan tingkat elektabilitas masing-masing pasangan capres- cawapres saat ini, maka jelas bahwa pasangan yang mampu menggaet undecided voters, akan berpotensi besar memenangkan persaingan Pilpres 2014 kali ini.

Subsidi, Politisasi, dan Debat Pilpres

(Dok. Nasional.Inilah.com)


Berkaca dari dua kali era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), subsidi BBM menjadi permasalahan pelik dan dilematis yang hingga kini belum dapat dituntaskan. Celakanya, visi-misi kedua pasangan capres- cawapres yang akan bertarung di Pilpres 2014, yakni Prabowo- Hatta dan Joko Widodo (Jokowi)- Jusuf Kalla, tidak memberikan ketegasan terkait penyelesaian persoalan klasik tersebut. Dalam artian bahwa tidak ada satu pasangan pun yang berani mengatakan secara tegas tentang penghapusan subsidi BBM ini. Padahal, penghapusan subsidi BBM pada akhirnya adalah hal mutlak yang harus dilakukan negara demi menyelamatkan APBN dan kepentingan masyarakat secara luas. Tim sukses dari pasangan Prabowo- Hatta, Drajad Wibowo secara tersirat mengungkapkan bahwa prioritas utama adalah tidak menaikkan harga BBM bersubsidi. Mekanisme penekanan anggaran subsidi BBM dilakukan dengan pengenaan instrumen pajak atau cukai tambahan bagi masyarakat mampu yang menggunakan BBM bersubsidi. Sementara tim sukses Jokowi- Jusuf Kalla, Darmawan Prasojo mengungkapkan subsidi BBM akan dikurangi secara bertahap dalam jangka waktu empat tahun ke depan. Mekanisme tersebut akan dibarengi dengan konversi BBM ke gas dan penyiapan energi alternatif. Jika ditelaah, maka politik subsidi BBM yang ditawarkan oleh kedua pasangan capres- cawapres tersebut jelas belum memenuhi aspek antisipatif, komprehensif, dan berkesinambungan. Mekanisme yang ditawarkan cenderung hanya sebatas pada pertimbangan populis semata. Oleh sebab itu, harapan terselesaikannya isu klasik subsidi BBM pada pundak presiden baru mendatang, agaknya masih jauh dari kenyataan.

Amanat, Netralitas, dan Pilpres 2014

(Dok. investor.co.id)


Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang siapapun juga!. Demikianlah amanat Panglima Besar Jenderal Sudirman yang disampaikan pada saat konferensi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), 12 November 1945 di Yogyakarta. Ketegasan Panglima Besar Jenderal Sudirman membawa prajurit negara (militer) menjauhi ranah politik tentu bukan tanpa sebab. Keterlibatan militer dalam politik hanya akan merusak kompetisi politik, mendistorsi kebijakan politik, serta menciptakan keresahan sosial dalam rangka bargaining politik keamanan (Ikrar Nusa Bhakti, 1999). Argumen tersebut bukan tanpa bukti nyata. Pada era Orde Baru, militer mempunyai pengalaman yang cukup pahit imbas dari “dijerumuskan” oleh penguasa ke dalam pusaran kekuasaan. Kala itu, militer dikendalikan dan dikuasai sedemikian rupa, sehingga turut aktif di dalam lembaga eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif. Selain itu, militer juga kerap menjadi kuda tunggang pemerintah sipil untuk meloloskan kebijakan-kebijakannya. Akibatnya, terjadi apa yang disebut oleh Samuel Huntington dengan political decay (pembusukan politik), berwujud instabilisasi politik, inefisiensi perekonomian, inkonsistensi kebijakan, dan inkonsistensi penegakkan hukum. Bagi internal militer sendiri, baik ditubuh TNI (dulu ABRI) maupun Polri berakibat pada lemahnya internal institusi, rendahnya apresiasi masyarakat, dan juga impian menuju prajurit-prajurit TNI/ Polri profesional menjadi semakin jauh dari harapan.