Potret Buram Jurnalis(me) Bencana


(Dok. soloposfm.com)

Pemberitaan mengenai musibah hilangnya pesawat Air Asia QZ8501 oleh sejumlah media beberapa waktu lalu, utamanya televisi mengundang kritik sekaligus keprihatinan banyak pihak. Puncaknya terjadi ketika sejumlah televisi nasional melakukan peliputan terkait penemuan serpihan pesawat dan jenazah yang diduga merupakan korban jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501 tersebut.  Dalam peliputan yang konon disiarkan langsung dan ekslusif itu, terdapat tayangan yang dengan jelas menggambarkan jenazah terapung di laut tanpa diblur sama sekali. Bagi para keluarga korban yang selalu memantau kondisi terkini di Crisis Center, hal itu jelas sangat menyakitkan hati. Di mana etika dan kepedulian kepada korban dan keluarga korban itu sendiri tidak dihiraukan sama sekali. Meskipun pada akhirnya sejumlah televisi yang melakukan tindakan tersebut secara terbuka telah mengungkapkann permohonan maaf baik pada keluarga korban maupun pada publik,  tetapi hal ini harus menjadi catatan jurnalistik yang tidak boleh terjadi lagi di kemudian hari.
Potret buram jurnalis(me) bencana sesungguhnya tak hanya terjadi pada musibah jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501 saja. Praktik serupa sesungguhnya kerap terjadi dalam setiap musibah atau bencana yang terjadi di negeri ini. Dalam buku Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme (2010) karya Ahmad Arif, dipaparkan seorang reporter televisi mencecar pertanyaan seorang ayah yang anaknya terjebak dalam sekolah ambruk akibat gempa yang mengguncang Sumatera Barat pada akhir September 2009 silam. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan reporter televisi itu diantaranya, “Bagaimana perasaan Anda saat ini?”, Bagaimana bila anak perempuan Anda tidak ditemukan?”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentunya hanya meruntuhkan mental dan psikologi sang ayah saja. Pun dari perspektif media sebagai penyampai informasi, pertanyaan-pertanyaan tersebut jelas tidak menyentuh ke ranah itu. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan lebih mengarah pada mekanisme untuk mengundang simpati dan belas kasih publik.
Komodifikasi Bencana
Jamak diketahui, sedari dulu bencana telah menjadi komoditi yang bisa digunakan untuk menaikkan nilai rating televisi. Tak heran di kalangan jurnalis muncul idiom “bad news is good news”. Ini karena di dalam bencana terdapat paket komplit berita yang bisa digunakan untuk menarik minat masyarakat beperhatian (attentive public), diantaranya aktualitas, menyangkut hajad hidup orang banyak, dan proksimitas (kedekatan). Paket komplit pemberitaan itulah yang kemudian diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan pemberitaan yang mempunyai nilai jual tinggi (marketable). Vincent Mosco dalam The Political Economy of Communication (1996) menyebutnya sebagai komodifikasi, yaitu pemanfaatan isi media dilihat dari kegunaannya sebagai komoditi yang dapat dipasarkan. Lebih jauh, Vincent Mosco membagi komodifikasi tersebut ke dalam tiga bentuk.
Pertama, komodifikasi isi (content). Dalam komodifikasi ini, content pemberitaan yang akan disajikan haruslah mampu memberikan keuntungan pada redaksi. Celakanya, banyak redaksi yang konon menemukan fakta bahwa content jurnalisme yang menarik bagi public attentive ialah contens jurnalisme yang mengandung unsur kepedihan, penderitaan, dan melodramatik. Kedua, komodifikasi khalayak (audience). Audience mempunyai peran vital dalam menjaga kelangsungan dan perkembangan media. Poin pentingnya yaitu media bisa menciptakan audience-nya sendiri dengan menyajikan program-program teraktual yang menarik minat publik. Pada titik inilah media kerap menghalalkan pelbagai cara agar pemberitaan yang disajikan dapat menciptakan audience yang sebanyak-banyaknya. Ketiga, komodifikasi pekerja (labour). Pekerja merupakan penggerak seluruh kegiatan, mulai dari proses produksi hingga distribusi. Faktanya, idealisme pekerja jurnalis justru kerap hanya dimanfaatkan oleh pemilik media massa untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari pada untuk menjalankan fungsi pekerja jurnalis itu sendiri sebagaimana mestinya.
Mengikuti Logika Komersial
Gejala komodifikasi yang terjadi dalam jurnalisme bencana memang tidak bisa dipisahkan dari kepentingan kaum kapitalis di belakanganya. Kepentingan mengejar rating, tingkat keterbacaan, hits atau apapun isitilahnya yang bermuara pada pengumpulan pundi-pundi rupiah sebanyak mungkin masih menjadi panglima. Hal ini senada dengan pandangan sosiolog media John H Macmanus (1994) yang mengungkapkan bahwa media telah mengekspos pelbagai bentuk peristiwa bencana secara sadar dan sistematis mengikuti logika komersial semata. Realitas inilah yang menjadikan jurnalis(me) bencana kehilangan fungsi utamanya yaitu dapat memberikan nilai-nilai pendidikan (edukasi) di dalam informasi yang diberitakan. Terkait musibah yang menimpa pesawat Air Asia QZ8501, secara kasat mata media hanya mengejar aspek melodramatiknya saja. Sementara, nilai-nilai edukasi yang lebih penting seperti peliputan mendalam tentang penyebab jatuhnya pesawat, penegasan bahwa terjadinya bencana bukan akhir dari segalanya, dan aspek mitigasi agar bencana serupa bisa dihindari dikemudian hari justru sangat minim diberitakan.
Barangkali, kita perlu belajar banyak dari Jepang terkait jurnalisme bencana. Jurnalisme bencana mereka cenderung bersifat sunshine journalist, yang memberitakan “baik-baik saja” dan menutupi fakta-fakta negatif yang juga perlu diketahui publik (Amalia Nurul Muthmainnah 2014). Hal ini sangat penting untuk menghindarkan publik dari ketakutan (phobia) berlebihan terhadap kemungkinan terjadinya bencana serupa maupun bencana lainnya di kemudian hari. Dalam perspektif sempit, sisi melodramatik dan fakta-fakta negatif terkait jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501 yang diberitakan secara masif tentu akan mempengaruhi penjualan tiket pesawat Air Asia. Sedangkan dalam perspektif lebih luas, hal itu berpotensi membuat publik untuk beralih ke mode transportasi lain selain mode transportasi udara, khususnya pesawat terbang. Itulah sebabnya, sudah sepantasnya media mengedepankan prinsip bonum commune, yaitu lebih mengedepankan kepentingan publik dari pada kepentingan kapitalis dalam praktik jurnalis(me) bencana yang dilakukan. Sehingga kerugian yang jauh lebih besar, baik material maupun non-material bisa dihindari.

Dimuat dalam kolom opini Harian Waspada edisi 6 Februari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar