![]() |
(Dok. nasional.news.viva.co.id) |
Komjen Pol Budi Gunawan (BG) akhirnya
secara resmi telah dilantik sebagai Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Wakapolri) mendampingi Komjen Pol Badrodin Haiti. Namun berbeda dari
biasanya, proses pelantikan Wakapolri periode kali ini terkesan dilakukan
secara tertutup. Bahkan, pelantikannya pun hanya dilakukan di ruang pertemuan
Kapolri yang notabene ruangannya tidak terlalu luas. Padahal lazimnya,
pelantikan perwira tinggi Polri selalu dilakukan di Ruang Rapat Utama
(Rupatama) Mabes Polri yang mempunyai luas ruangan memadai. Selain itu, merujuk
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), M. Nasser, prosesi
pelantikan BG berlangsung sangat singkat, konon tak lebih dari tiga puluh
menit. Lebih lanjut, M. Nasser juga mengungkapkan bahwa dalam agenda prosesi
pelantikan tak ada sambutan dari Kapolri maupun Wakapolri baru seperti yang
lazim terjadi pada pelantikan petinggi Polri lainnya.
Prosesi pelantikan seorang pejabat
tinggi Polri baru yang demikian, tentu menimbulkan kecurigaan di mata publik.
Bukan tidak mungkin skenario pelantikan yang terkesan singkat dan tertutup itu memang
sengaja dirancang agar pelantikan BG sebagai Wakapolri dapat berlangsung lancar
tanpa hambatan dari publik. Sebab, pada dasarnya BG masih mempunyai kasus hukum
yang belum terselesaikan secara tuntas. Seperti diketahui, setelah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) melemparkan berkas perkara dugaan kepemilikan
rekening gendut BG ke Kejaksaan Agung (Kejagung) yang selanjutnya oleh Kejagung
dilimpahkan ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim), pihak Bareskrim belum
mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3). Maka sangat jelas, dari
perspektif integritas BG sesungguhnya belum layak untuk menduduki jabatan
sebagai Wakapolri. Maka, menjadi logis bila kemudian prosesi pelantikan terhadap
BG dilakukan secara singkat dan tertutup. Bila BG resmi telah dilantik, publik
tentu tak akan dapat berbuat apa-apa.
Di
Luar Skenario
Terlepas dari prosesi pelantikan yang
terkesan singkat dan tertutup itu, skenario pelantikan BG sebagai Wakapolri
sebenarnya sudah dapat terbaca sejak jauh hari. Sebab, bukan tanpa alasan
tentunya figur Komjen Pol Badrodin Haiti yang sebelumnya telah terpental dari
bursa calon Kapolri, namun kemudian justru dilantik menjadi Kapolri baru.
Padahal mafhum disadari, Komjen Pol Badrodin Haiti terpental dari bursa calon
Kapolri sebelumnya ialah karena masa pensiunnya yang sudah sangat dekat.
Merujuk data internal Polri, Komjen Pol Badrodin Haiti merupakan jebolan
Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1982 kelahiran Jember 24 Juli 1958. Itu
berarti mengacu Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Polri yang mengatur usia pensiun maksimum anggota Polri 58 tahun, maka dapat
dipastikan masa kerja Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai Kapolri tak akan lebih
dari 15 bulan lagi. Pengecualian dapat terjadi hanya apabila Presiden Joko
Widodo (Jokowi) menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres) yang mengatur perubahan
usia pensiun untuk anggota Polri, semisal dari usia pensiun saat ini yaitu 58
tahun menjadi 60 tahun. Namun demikian, Kepres itu tampaknya akan sulit terwujud
mengingat akan berdampak pula pada anggaran yang harus dikeluarkan negara untuk
membiayai gaji anggota Polri secara menyeluruh. Di sisi lain, jamak pula
diketahui bahwa pelantikan Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai Kapolri adalah
akibat dari kondisi di luar skenario. Sebab, calon tunggal Kapolri kala itu,
yakni BG justru mendapatkan penolakan dari masyarakat luas karena diduga
terlibat kasus rekening gendut. Maka, sulit untuk dipungkiri apabila pelantikan
BG sebagai Wakapolri baru kemudian dikatakan tidak mempunyai kaitan sama sekali
dengan peluang BG untuk menduduki kursi Tri Brata Satu. Pada titik ini, meskipun
Polri tidak mempunyai tradisi Wakapolri langsung dapat mengisi posisi Kapolri, akan
tetapi peluang BG untuk menggantikan Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai Kapolri tetap
sangatlah besar.
Legitimasi
BG
Ada tiga alasan yang dapat memperkuat
skenario tersebut. Pertama, BG
mempunyai investasi politik yang kuat dengan partai utama pendukung
pemerintahan saat ini, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Investasi
politik tersebut sagat mungkin mulai tertanam sejak BG menjadi ajudan Megawati
Soekarnoputri ketika Ketua Umum PDIP itu menjadi Presiden Republik Indonesia. Maka,
jika PDIP “menghendaki” BG sebagai Kapolri untuk menggantikan Komjen Pol
Badrodin Haiti, akan sulit bagi Presiden Jokowi untuk menolak pencalonan itu. Kedua, kerentanan jabatan Kapolri. Harus
diakui, meskipun Kapolri merupakan jabatan tertinggi di lingkungan Kepolisian,
namun jabatan ini sangat rentan dan mudah sekali digoyahkan dengan pelbagai
isu. Semisal, bila hubungan antara Polri dan KPK kembali memanas, atau bila
terjadi konfrontasi yang melibatkan anggota Polri dan TNI, maka jabatan Kapolri
akan sangat mudah dilengserkan dengan alasan
tidak becus mengelola tampuk kepemimpinan. Ketiga, posisi strategis “loyalis” BG di internal Polri. Paling
tidak ada tujuh belas nama jenderal yang dikenal sebagai “loyalis” BG dan
menempati jabatan strategis di internal Polri saat ini. Diantaranya yaitu, Komjen
Pol Budi Waseso yang menjabat sebagai Kabareskrim Polri, Kombes Pol Viktor E.
Simanjuntak menjabat sebagai Direktur Tindak Pidana Khusus, dan Irjen Pol Anton
Charliyan menjabat sebagai Kepala Divisi Humas Mabes Polri. Posisi strategis
para “loyalis” itu secara tidak langsung tentu akan dapat meredam potensi
munculnya calon Kapolri lain di luar BG. Singkat kata, legitimasi yang dimiliki
oleh BG saat ini sangat kuat, sehingga akan sulit untuk ditandingi oleh para
jenderal bintang tiga lainnya. Lantas, apakah pelantikan BG sebagai Wakapolri benar-benar
merupakan skenario untuk memuluskan jalan BG menduduki kursi Tri Brata Satu? Biar
waktu yang akan membuktikan.
Dimuat dalam opini Harian Analisa edisi 5 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar