Pergeseran Filosofi Harga BBM



(dok. news.bisnis.com)

Di tengah tren menurunnya harga minyak dunia saat ini, yaitu di kisaran 80 dollar AS per barel, Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi- JK) terus menggulirkan rencananya untuk tetap menaikkan harga BBM bersubsidi. Hanya saja, waktu pelaksanaannya belum ditetapkan secara pasti. Menteri Koordinator Perekonomian, Sofyan Djalil hanya menjanjikan pemerintah akan menaikkan harga BBM Bersubsidi pada waktu yang tepat agar tidak menimbulkan kepanikan. Dari pengalaman kenaikan harga BBM sebelumnya, baik di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maupun di era Pemerintahan Megawati Soekarno Putri, kenaikan harga BBM bersubsidi biasanya dilakukan jika harga minyak dunia melambung tinggi atau nilai tukar rupiah melemah signifikan. Sehingga, mau tak mau harga BBM harus disesuaikan agar kondisi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tetap kondusif.
Rencana kenaikan harga BBM bersubsidi yang digagas Jokowi- JK kali ini tentu adalah sebuah paradoks bagi masyarakat. Dari perspektif harga minyak dunia cenderung stabil dan malah sedang mengalami tren penurunan harga. Sementara, dari perspektif nilai tukar rupiah atas dollar AS juga tidak mengalami pergolakan yang signifikan. Satu-satunya persoalan BBM saat ini hanyalah terkait kuota konsumsi BBM yang pada tahun ini terancam jebol. Berdasarkan kalkulasi Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina Hanung Budya, kuota konsumsi BBM bersubsidi tahun ini berpotensi jebol hingga 1,9 juta kiloliter (KL). Sehingga, langkah menaikkan harga BBM bisa dikatakan merupakan langkah tepat untuk menekan konsumsi BBM dan menjaga APBN tetap sehat. Hanya saja, logika seperti itu tentu tidak akan dengan mudah diterima oleh legislatif dan masyarakat luas. Itulah sebabnya, Jokowi- JK perlu membangun komunikasi yang lugas, jelas, dan terbuka terkait esensi gagasannya menaikkan harga BBM bersubsidi.

Meninjau Skenario Kenaikan Harga BBM Bersubsidi


(dok. detik.co)

Pada hakikatnya, tidak banyak yang diinginkan oleh rakyat dari para penguasa negeri ini. Yaitu, agar harga-harga kebutuhan pokok, utamanya kebutuhan akan makanan sehari-hari dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat. Kondisi inilah yang sekiranya kurang dicermati oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi (17/11). Presiden Jokowi hanya memitigasi dampak kenaikan harga BBM melalui kartu-kartu saktinya, yaitu Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KSS). Padahal, jika ditelaah lebih dalam kartu-kartu sakti tersebut merupakan bentuk mitigasi lanjutan, bukan mitigasi utama bagi rakyat miskin. Misalnya KIS, kartu ini tentu sangat membantu meringankan beban pembiayaan masyarakat miskin bila ada yang terkena gangguan kesehatan (sakit). Namun perlu dipahami bahwa tidak setiap hari penduduk miskin akan sakit, tetapi dapat dipastikan bahwa setiap hari mereka membutuhkan makanan untuk tetap bertahan hidup. Terkait hal inilah sebenarnya diperlukan kejelian dari pemerintah dalam mengelola dampak kenaikan harga BBM bersubsidi.
Menelisik dari akar masalah itulah, pemerintah mutlak meninjau kembali skenario kenaikan BBM bersubsidi yang digunakan. Dalam konteks ini, harga-harga kebutuhan pokok ikut melonjak karena alat transportasi yang digunakan menggunakan harga BBM bersubsidi yang sama dengan yang dikenakan pada kendaraan pelat hitam (pribadi) maupun kendaraan pelat merah (pemerintah). Padahal bila pemerintah lebih cermat dengan skenario kenaikan harga BBM yang digunakan, bisa saja kenaikan harga BBM diterima dengan baik oleh masyarakat tanpa memunculkan pelbagai demonstrasi dan penolakan . Misalnya, bila kenaikan harga BBM hanya diperuntukan bagi kendaraan pelat hitam dan pelat merah saja. Sementara mode transportasi publik, baik barang maupun orang tidak dikenakan kenaikan harga. Maka, harga-harga kebutuhan pokok tidak akan meningkat signifikan. Sehingga, tetap terjangkau oleh daya beli masyarakat menengah ke bawah.

Skenario Mengakhiri Polemik BBM


(dok. jurnas.com)

Rencana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang digagas Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi- JK) saat ini tentu menjadi sebuah paradoks bagi masyarakat. Dari perspektif harga minyak dunia, harganya cenderung stabil dan malah sedang mengalami tren penurunan harga. Sementara, dari perspektif nilai tukar rupiah atas dollar AS juga tidak mengalami pergolakan yang signifikan. Satu-satunya persoalan BBM saat ini hanyalah terkait kuota konsumsi BBM yang pada tahun ini terancam jebol. Berdasarkan kalkulasi Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina Hanung Budya, kuota konsumsi BBM bersubsidi tahun ini berpotensi jebol hingga 1,9 juta kiloliter (KL). Sehingga, langkah menaikkan harga BBM bisa dikatakan merupakan langkah tepat untuk menekan konsumsi BBM dan menjaga APBN tetap sehat. Hanya saja, logika seperti itu tentu tidak akan mudah diterima oleh legislatif dan masyarakat. Itulah sebabnya, Jokowi- JK perlu membangun komunikasi yang lugas, jelas, dan terbuka terkait esensi gagasannya menaikkan harga BBM bersubsidi.
Wakil Presiden Jusuf Kalla secara gamblang telah megungkapkan bahwa Pemerintah berencana mengalihkan subsidi ke sektor-sektor yang lebih produktif. Artinya, upaya menaikkan harga BBM bersubsidi mendatang tidak serta merta ditempuh hanya untuk menyelamatkan postur APBN saja, tetapi urgensinya lebih mengarah pada pengalihan subsidi ke sektor yang lebih produktif bagi masyarakat. Secara logika, peningkatan kesejahteraan rakyat melalui mekanisme seperti itu tentu akan lebih cepat tercapai dari pada sekedar mengalokasikan anggaran untuk mensubsidi BBM. Karena itu, gagasan Pemerintahan Jokowi- JK untuk menaikkan harga BBM bersubsidi juga harus diimbangi dengan implementasi kebijakan- kebijakan lain yang sejalan untuk membangun kepercayaan publik. Jika tidak, BBM bersubsidi hanya akan terus menjadi komoditas politik saja dan selama itu pula isu mengenai bahan bakar akan selalu menjadi isu panas bagi publik (FX Sugiyanto, 2014).

Politik Anggaran dan BBM Bersubsidi


(dok. berdikarionline.com)

Hampir sebulan wacana mengenai kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menjadi isu dan bahan diskusi menarik di pelbagai lini media massa, baik media massa cetak maupun elektronik. Bahkan dalam dua minggu terakhir, isu kenaikan harga BBM bersubsidi ini sampai memicu munculnya pelbagai aksi demonstrasi di beberapa daerah. Di Jakarta, sejumlah mahasiswa dan pelbagai elemen masyarakat menggelar aksi demonstrasi menentang kenaikan harga BBM bersubsidi di depan kampus Universitas Kristen Indonesia (UKI). Hal serupa juga terjadi di Makassar, gabungan mahasiswa dan pelbagai elemen masyarakat menggelar aksi demonstrasi menolak kenaikan harga BBM bersubsidi di depan kampus Universitas Indonesia Timur (UIT). Dampak lain yang tak kalah meresahkan dari isu kenaikan harga BBM bersubsidi ini tentu saja adalah kelangkaan stok BBM. Kondisi ini terekam dari adanya antrian-antrian panjang kendaraan bermotor di beberapa stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).
Kondisi serupa akan terus berulang dari masa ke masa apabila tidak ada political will dan political action

Hilangnya Etos dan Nilai-Nilai Kepahlawanan


(dok. suluahweb.blogspot.com)

Momen sakral peringatan Hari Pahlawan baru saja dilalui pada 10 November 2014 lalu. Momentum itu diwarnai dengan pelbagai acara seremonial, utamanya di instansi-instansi pemerintahan seperti upacara maupun tabur bunga di beberapa lokasi Taman Makam Pahlawan (TMP). Pahlawan dalam pengertian tradisional bisa dikatakan adalah mereka yang memiliki jasa besar dalam membela dan memperjuangkan hak-hak rakyat dalam ruang lingkup tertentu. Jasa besar yang dimaksud bisa berupa perjuangan tanpa pamrih melalui jalur politik, seperti yang dilakukan oleh Bapak Proklamator kita, yaitu Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta. Maupun perjuangan tanpa pamrih melalui peperangan, seperti yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Nyi Ageng Serang, dan Pattimura. Dalam konteks ini, perjuangan tanpa pamrih mereka dalam membela dan memperjuangan kemerdekaan negeri inilah yang menempatkan mereka semua menjadi figur pahlawan. Bahkan, etos kepahlawanan yang dilakukan sampai saat ini selalu menjadi rujukan bagi generasi-generasi penerus bangsa.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, figur-figur yang bisa disebut sebagai pahlawan bukanlah figur yang ruang lingkup perjuangannya hanya menyentuh ranah politik dan peperangan saja. Pengertian mengenai pahlawan secara lebih luas diungkapkan oleh Prof. Baroroh Baried. Yakni meliputi, (1) Pendiri suatu agama atau negara, (2) Orang yang sangat sempurna karena memiliki sifat luhur, seperti berani, pemurah, setia, dan lain-lain, (3) Pemimpin perang dan gugur dalam peperangan, (4) Tokoh utama dalam karya satra. Merujuk pengertian tersebut, maka siapapun yang memiliki kontribusi signifikan terhadap sebuah hal yang perlu dibela dan diperjuangkan dapat disebut sebagai pahlawan. Tidak heran, jika kemudian muncul banyak sebutan pahlawan di berbagai bidang, misalnya pahlawan ekonomi, pahlawan olahraga, pahlawan kebudayaan, pahlawan kemanusiaan, hingga pahlawan pembangunan. Singkat kata, siapapun yang sudah memperoleh legitimasi publik atas jasa-jasanya dan dilegendakan publik dalam pengertian positif layak disebut sebagai pahlawan. Itulah sebabnya, seperti halnya para pahlawan yang beratribut pejuang perang atau politik di era menjelang kemerdekaan, pahlawan-pahlawan dalam konteks kekinian pada hakikatnya juga layak dan berhak untuk hidup abadi di TMK ketika ajal telah menjemputnya.

Kartu (Tri)Sakti dan BBM Bersubsidi


(dok. nasional.news.viva.co.id)

Gagasan Bambang Arianto (BA) bertajuk “Kartu (Tri)Sakti” di kolom Aspirasi Banjarmasin Post (11/11) menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Menurutnya, langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan tiga kartu sakti, yaitu Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KSS) merupakan wujud politik pembuktian Jokowi kepada masyarakat terkait realisasi janji-janji kampanye masa lalu. Jika demikian yang terjadi, maka program kartu sakti Jokowi tersebut patut diapresiasi dan layak diberikan dukungan secara menyeluruh. Celakanya, aroma politik pencitraan masih saja sangat kental dibalik dikeluarkannya kartu-kartu sakti tersebut. Ada dua hal yang menarik untuk disoroti terkait kemungkinan politik pencitraan dibalik dikeluarkannya kartu-kartu sakti Jokowi ini.
Pertama,  sebagaimana yang dijelaskan BA bahwa sumber pendanaan kartu-kartu sakti Jokowi berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 yang dibuat oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), maka bisa dikatakan program itu juga merupakan bagian kelanjutan dari program yang pernah dibuat oleh SBY. Hanya, nomenklaturnya berbeda dan cakupan wilayahnya diperluas. Faktanya, hampir disetiap kesempatan Jokowi maupun menteri-menterinya tidak pernah mengakui bahwa kartu sakti merupakan bagian dari kelanjutan program SBY. Padahal, di APBN 2015 yang dibuat SBY jelas tidak tertuliskan nomenklatur maupun mata anggaran untuk KIS, KIP, dan KKS. Kedua, skenario diluncurkannya kartu sakti mirip dengan skenario dikeluarkannya Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) di era SBY, yaitu menjelang akan dinaikannya harga bahan bakan minyak (BBM) bersubsidi. Sehingga, bila harga BBM bersubsidi naik, Jokowi mempunyai tameng kuat untuk melindungi popularitasnya agar tidak jatuh signifikan.

Opsi Menaikkan Harga BBM


(dok. industri.bisnis.com)

Pascapelantikan Kabinet Kerja, rencana Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi- JK) untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi terus menguat. Rencananya, kenaikan harga BBM bersubsidi itu akan dilakukan sebelum 1 Januari 2015 (Kompas, 30 Oktober 2014). Dari kacamata politik fiskal, upaya menaikkan harga BBM bersubsidi jelas akan memberikan keuntungan bagi ruang fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pemerintah akan mempunyai alokasi dana yang cukup untuk menerapkan program-program kerakyatan yang digagas pada masa kampanye lalu. Mengacu pada skenario kenaikan harga pemerintah sebesar Rp 3.000,00 (46,1 persen) dan apabila kenaikan dilakukan sebelum 1 Januari 2015, maka  pemerintah akan dapat melakukan upaya penghematan anggaran hingga Rp 159 triliun. Bandingkan dengan alokasi anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tahun 2014 yang hanya dikisaran Rp 80, 611 triliun. Apabila penghematan anggaran tahun 2015 yang mencapai Rp 159 triliun itu bisa dialihkan untuk Kemendikbud, maka dapat dipastikan pengembangan infrastruktur pendidikan menjadi lebih cepat dan akan banyak pelajar yang bisa melanjutkan pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi. Maka seperti yang pernah diungkapkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, lebih baik alokasi dana subsidi itu dipergunakan untuk pengembangan infrastruktur dan program padat karya dari pada dihabiskan dijalanan.

Mengakhiri Perdebatan RUU Pilkada


(do. ib.ayobai.org)

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung yang diawali tahun 2005, besar kemungkinan tidak akan digunakan lagi dalam penyelenggaraan pilkada mendatang. Pasalnya, pascapilpres 2014 terjadi perubahan konstelasi sikap politik antar fraksi-fraksi di DPR terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada tersebut. Mayoritas fraksi yang sebelum pilpres 2014 dilakukan dalam RUU Pilkada menyepakati penyelenggaraan pilkada secara langsung, kini berbalik arah dengan menginginkan penyelenggaraan pilkada secara tidak langsung (baca: dipilih DPRD). Fraksi-fraksi tersebut ialah fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) dan menguasai 65 persen kursi DPR, yaitu Gerindra, Golkar, PPP, PAN, dan Demokrat. Maka, aroma hitung-hitungan politik untuk menguasai kekuasaan politik di daerah pasca kekalahan di pilpres menjadi amat terasa.
Di samping itu, menarik dicermati juga argumen yang dibangun oleh fraksi-fraksi KMP untuk mengembalikan pilkada ke tangan DPRD tersebut. Yakni, pemborosan anggaran daerah, menyuburkan politik transaksional, dan berpotensi besar memicu konflik horisontal. Selain itu, bagi pasangan calon kepala daerah ongkos politik yang harus disediakan sangat tinggi (high cost democracy), yakni berkisar antara Rp 20 miliar hingga Rp 128 miliar. Harus diakui, penyelenggaraan pilkada secara langsung memang masih jauh dari sempurna. Namun demikian, relevansi spirit memajukan demokrasi menjadi kabur maknanya apabila solusi yang diambil ialah dengan mengubah sistemnya. Sebab, untuk memajukan demokrasi nasional diperlukan konsistensi dan perbaikan konsolidasi politik secara berkelanjutan. Maka, solusi yang paling relevan saat ini sebagai upaya membangun dan memajukan demokrasi nasional bukanlah mengubah sistem, melainkan memperbaiki mekanismenya yang sudah ada.

Fenomena Jilboobs dan Hijab Syar'i



(Doc. SuaraIslam.com)
Fenomena jilboobs, belakangan ini telah menjadi salah satu wacana hangat yang menyita perhatian publik. Fenomena ini berkembang pesat seiring munculnya akun-akun di media sosial yang mengafiliasi konten-konten muslimah yang mengenakan jilboobs. Bahkan, salah satu akun di media sosial Facebook bernama Jilboobs Community mampu menyedot perhatian publik hingga mendapatkan empat ribu lebih likes dihalamannya. Secara etimologi, istilah jilboobs ini terdiri dari dua kata, yaitu jilbab yang notabene merupakan busana islami kaum muslimah, dan boobs yang bermakna dada wanita atau orang dungu. Istilah ini disematkan untuk menyindir perempuan muslimah yang mengenakan hijab, akan tetapi sangat ketat sehingga setiap bagian lekuk tubuhnya terlihat jelas, utamanya pada bagian dada.