Menggugat Perlakuan Istimewa pada Koruptor


(Dok. radarbangka.co.id)

Ada sebuah silogisme tentang korupsi yang mungkin saja relevan dengan kondisi masifnya tindak pidana korupsi di negara ini. Yaitu, tidak ada seni yang lebih cepat bisa dipelajari oleh suatu pemerintahan selain seni belajar menguras uang dari saku rakyatnya. Faktanya, meskipun telah berganti pemerintahan, tetapi tindak pidana korupsi masih tetap marak terjadi. Bahkan, data yang ada justru memperlihatkan bahwa tindak pidana korupsi semakin menyebar ke seluruh tingkatan struktur pemerintahan. Yaitu, sudah tidak lagi hanya dimonopoli oleh oknum-oknum pemerintah pusat saja, tetapi telah merambat hingga oknum-oknum yang terlibat dalam pemerintahan daerah itu sendiri. Realitas ini tercermin dari data Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait jumlah kepala daerah yang terlibat korupsi, sebanyak 327  dari 524 kepala daerah yang terkena kasus hukum, 86 persen diantaranya justru terjerat kasus korupsi.
Mahfum disadari, korupsi memang telah menjadi penyakit kronis bangsa yang hingga kini sulit disembuhkan. Bahkan, tiga institusi penegak hukum negara ini, yakni Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK, nampak dibuat tak “bertaring” dalam menghadapi kejahatan yang sesuai konsideran Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) ini telah dinyatakan sebagai kejatahan luar biasa (extra-ordiary crime). Korupsi telah tumbuh menjadi kultur dalam multidimensional kehidupan di masyarakat, bahkan di struktur masyarakat terendah sekalipun. Sehingga, memang bukan hal yang mudah untuk memutus mata rantai korupsi tersebut. Itulah sebabnya, dalam upaya pemberantasannya, sudah semestinya menggunakan cara-cara yang luar biasa. Dalam konteks ini, memperberat hukuman dan memberikan sanksi sosial bagi pelaku korupsi (koruptor) mutlak dilakukan.

Menagih Janji Politik Memperkuat KPK


(Dok. merdeka.com)

Mafhum disadari, salah satu motif pembentukkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2003 silam dilandasi atas kurang maksimalnya kinerja aparat penegak hukum, utamanya Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kepolisian dalam memberantas kasus korupsi. Bahkan, tak jarang ada oknum-oknum dari ke dua instansi penegak hukum tersebut yang justru malah terlibat praktik korupsi. Maka, pembentukkan KPK diharapkan mampu mempercepat akselerasi penegakkan hukum dalam rangka memberangus praktik kartel korupsi, utamanya yang dilakukan oleh para pejabat negara. Seiring berjalannya waktu dan pergantian komisioner KPK, prestasi KPK dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini pun semakin mengkilap. Terbukti tak hanya pejabat-pejabat negara biasa yang berhasil dibawa KPK ke meja hijau akibat terjerat kasus korupsi, tetapi pejabat tinggi negara seperti menteri pun tak luput dari jerat hukum KPK.
Masih ingat jelas dalam ingatan, setidaknya ada tiga menteri era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berhasil dijerat KPK ke jalur hukum karena terindikasi melakukan korupsi. Yaitu, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Alfian Malaranggeng, mantan Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali, dan mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik. Prestasi terbaru tentu saja keberanian dalam menetapkan calon tunggal Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Komisaris Jenderal (Pol) Budi Gunawan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi. Bila melihat track record KPK, tanpa mendahului proses hukum yang sedang berjalan, besar kemungkinan pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka pada akhirnya akan menjadi penghuni hotel prodeo. Sehingga, wajar bila prestasi KPK tersebut kemudian menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian orang, terutama para pejabat negara yang gemar memperkaya diri sendiri dan keluarganya melalui korupsi.

Potret Buram Jurnalis(me) Bencana


(Dok. soloposfm.com)

Pemberitaan mengenai musibah hilangnya pesawat Air Asia QZ8501 oleh sejumlah media beberapa waktu lalu, utamanya televisi mengundang kritik sekaligus keprihatinan banyak pihak. Puncaknya terjadi ketika sejumlah televisi nasional melakukan peliputan terkait penemuan serpihan pesawat dan jenazah yang diduga merupakan korban jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501 tersebut.  Dalam peliputan yang konon disiarkan langsung dan ekslusif itu, terdapat tayangan yang dengan jelas menggambarkan jenazah terapung di laut tanpa diblur sama sekali. Bagi para keluarga korban yang selalu memantau kondisi terkini di Crisis Center, hal itu jelas sangat menyakitkan hati. Di mana etika dan kepedulian kepada korban dan keluarga korban itu sendiri tidak dihiraukan sama sekali. Meskipun pada akhirnya sejumlah televisi yang melakukan tindakan tersebut secara terbuka telah mengungkapkann permohonan maaf baik pada keluarga korban maupun pada publik,  tetapi hal ini harus menjadi catatan jurnalistik yang tidak boleh terjadi lagi di kemudian hari.
Potret buram jurnalis(me) bencana sesungguhnya tak hanya terjadi pada musibah jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501 saja. Praktik serupa sesungguhnya kerap terjadi dalam setiap musibah atau bencana yang terjadi di negeri ini. Dalam buku Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme (2010) karya Ahmad Arif, dipaparkan seorang reporter televisi mencecar pertanyaan seorang ayah yang anaknya terjebak dalam sekolah ambruk akibat gempa yang mengguncang Sumatera Barat pada akhir September 2009 silam. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan reporter televisi itu diantaranya, “Bagaimana perasaan Anda saat ini?”, Bagaimana bila anak perempuan Anda tidak ditemukan?”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentunya hanya meruntuhkan mental dan psikologi sang ayah saja. Pun dari perspektif media sebagai penyampai informasi, pertanyaan-pertanyaan tersebut jelas tidak menyentuh ke ranah itu. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan lebih mengarah pada mekanisme untuk mengundang simpati dan belas kasih publik.

Bunuh “Kepiting” dengan Patahkan “Kaki-Kakinya”



(Dok. memobee.com)

Ada sebuah strategi perang kuno yang barang kali menemukan relevansinya dalam skenario terselubung pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang masif terjadi belakangan ini. Yaitu, membunuh “kepiting” dengan terlebih dahulu mematahkan satu per satu kaki-kakinya. “Kepiting” dalam hal ini dapat diartikan sebagai upaya pemberantasan korupsi, sementara “kaki-kaki kepiting” dapat diartikan sebagai institusi atau pun orang-orang yang berada di garda terdepan upaya pemberantasan korupsi. Maka, mengacu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK), institusi yang berada pada garda terdepan pemberantasan korupsi ialah KPK dan orang-orang yang berada di garda terdepan pemberantasan korupsi ialah jajaran komisionernya. Sehingga dalam rangka melemahkan atau bahkan melumpuhkan pemberantasan korupsi, “mematahkan” satu per satu komisioner KPK tentu menjadi sebuah cara yang tepat dan efektif.
Realitas yang terjadi belakangan ini, terminologi “mematahkan” komisioner KPK jelas tersirat dari masifnya tindakan menjerat komisioner KPK dalam kasus hukum tertentu yang entah ada atau memang hanya diada-adakan. Pascapenetapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sebagai tersangka atas dugaan melanggar Pasal 242 jo Pasal 55 KUHP perihal sumpah palsu dan keterangan palsu, secara berturut-turut jerat hukum juga coba dilakukan terhadap komisioner-komisioner KPK lainnya. Adnan Pandu Praja dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) oleh kuasa hukum PT Desy Timber, Mukhlis Ramlan atas dugaan perampasan saham dan aset perusahaan, sedangkan Abraham Samad dilaporkan oleh direktur eksekutif KPK Watch Indonesia, Muhammad Yusuf Sahide atas dugaan melanggar Pasal 36 dan Pasal 65 UU KPK. Belakangan, santer terdengar kabar nama komisioner KPK yang tersisa, Zulkarnaen juga akan dilaporkan ke Bareskrim atas dugaan korupsi dana hibah Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) pada tahun 2008.

Skenario Memperkuat KPK



(Dok. news.okezone.com)

Sulit rasanya untuk tidak mengatakan bahwa realitas masifnya upaya menjerat jajaran komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke jalur hukum belakangan ini bukan merupakan bentuk terselubung pelemahan KPK. Sehari setelah Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditetapkan sebagai tersangka oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim), komisioner lainnya yaitu Adnan Pandu Pradja (APP) diketahui juga telah dilaporkan ke Bareskrim dengan nomor laporan LP/90/1/2015/Bareskrim (24/1). APP diduga melakukan perampasan saham PT Desy Timber yang beroperasi di Berau, Kalimantan Timur. Setali tiga uang, Ketua KPK Abraham Samad (AS) pun diketahui telah dilaporkan oleh KPK Watch Indonesia atas dugaan terlibat aktivitas politik pada saat Pemilu Presiden (Pilpres) 2014.  AS diduga melanggar Pasal 36 juncto Pasal 65 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK). Belakangan santer terdengar kabar nama komisioner KPK yang tersisa, Zulkarnaen juga akan dilaporkan ke Bareskrim atas dugaan korupsi dana hibah Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Jawa Timur pada tahun 2008.

Polemik "Rekening Gendut" Kepala Daerah


(Dok. poskotanews.com)

Para netizen (pengguna internet), beberapa waktu lalu dihebohkan oleh postingan foto dan status seorang anak wakil bupati (Wabub) yang terkesan “pamer” kekayaan di akun Facebook-nya. Dalam postingan tersebut, sang anak wabub memajang foto-foto mobil mewah dan menuliskan status “Mobil di rumah ada 7 keren juga kalo senin crv, selasa mx5, rabu wrangler, kamis pajero, jum’at alphard, sabtu innova dan minggu camry”. Nahasnya, pascapostingan itu menyebar, Ibunda si empunya akun Facebook yang notabene merupakan Wabub Ponorogo, yaitu YW justru ditetapkan sebagai tersangka baru kasus korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK). Meskipun antara postingan “pamer” kekayaan anak wabup di Facebook dan penetapan Ibundanya sebagai tersangka korupsi barangkali tidak ada keterkaitan sama sekali, tetapi di balik itu semua  dapat ditarik satu benang merah, yakni penguasa politik di daerah (kepala daerah/ wakil kepala daerah) telah bermetamorfosa menjadi raja-raja kecil. Mereka tidak hanya mempunyai kekuasaan, tetapi juga harta kekayaan yang berlimpah bak para raja yang sebenarnya.
Sayangnya, kekayaan berlimpah yang mereka miliki acap berasal dari harta haram hasil melakukan korupsi. Faktanya, sebanyak 327  dari 524 kepala daerah yang terkena kasus hukum, 86 persen diantaranya ialah terjerat kasus korupsi. Kondisi ini membuktikan bahwa banyak kepala daerah sudah tidak menganggap lagi jabatan yang diembannya sebagai amanat dari rakyat. Orientasi yang terlihat justru jabatan publik yang diemban merupakan sebuah peluang dan kesempatan yang mungkin tidak akan datang untuk ke dua kalinya. Tak heran, banyak oknum kepala daerah yang kemudian tidak segan-segan memperkaya diri maupun keluarganya ketika aktif menjabat sebagai kepala daerah. Penerima Nobel Sastra (1962) John Steinbeck, jauh-jauh hari telah mengingatkan hal itu, kekuasaan tidak selalu korup, tetapi takut kehilangan kekuasaan itulah yang membuat korupsi marak. Dalam konteks ini, kekayaan berlimpah, korupsi, dan kepala daerah menjadi satu tarikan benang merah yang amat sulit diputuskan.

Peta(ka) Politik Aklamasi Parpol


(Dok. rmol.com)

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara paling demokratis di dunia ini, bersama Amerika Serikat dan India. Kualitas demokrasi Indonesia kemudian semakin diakui dan menjadi rujukan dunia pascakesuksesan penyelenggaraan pemilu presiden (Pilpres) 2014. Kala itu, kontestasi Pilpres 2014 yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon, yaitu Prabowo Subianto- Hatta Radjasa dan Joko Widodo- Jusuf Kalla membuat konstelasi politik nasional berada pada titik klimaks. Dari elit partai sampai rakyat biasa terbelah ke dalam dua faksionalisasi yang saling berseberangan. Imbasnya, gesekan politik pun terus terjadi dan hampir tidak mengenal batasan waktu maupun tempat, baik di dunia nyata maupun di dunia maya seperti Facebook dan Twitter. Tetapi, justru pada titik inilah kualitas pemimpin dan kualitas demokrasi suatu negara sesungguhnya dapat terbangun dengan baik.
Ketatnya persaingan akan memaksa setiap figur pasangan calon untuk mengeluarkan seluruh sumber daya dan kemampuan yang dimilikinya. Sehingga, pemimpin yang dilahirkan dari proses demokrasi seperti ini ialah pemimpin yang benar-benar berkualitas dan mumpuni untuk memimpin suatu negara. Celakanya, merebaknya politik aklamasi (calon tunggal) dalam pemilihan ketua umum (Ketum) partai belakangan ini memberikan ancaman serius bagi dua hal penting di atas, yaitu suksesi kepemimpinan nasional dan kualitas pembangunan demokrasi itu sendiri. Hadirnya politik aklamasi kerap menutup rapat-rapat peluang kader lain untuk bisa maju sebagai calon ketum partai. Artinya, hal ini secara tidak langsung menutup peluang kader partai tersebut untuk bisa menjadi calon pemimpin masa depan negara ini. Itulah sebabnya, hadirnya politik aklamasi yang merebak belakangan ini mesti diwaspadai, utamanya bagi partai politik (parpol) yang akan menggelar musyawarah nasional (Munas) atau kongres dalam waktu dekat ini.

Menyoal Rekomendasi Penghapusan Premium


(Dok. analisadaily.com)

Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM) akhirnya mengeluarkan rekomendasi pertamanya sejak dibentuk pada pertengahan November 2014 lalu. Yaitu, agar PT Pertamina (Persero) menghentikan importasi bahan bakar minyak (BBM) research octane number (RON) 88 dan menggantinya dengan melakukan importasi BBM RON 92. Dalam bahasa awam, rekomendasi tersebut berarti menghapus premium dan menggantinya dengan pertamax. Selanjutnya, seiring dengan penghapusan premium itu akan diterapkan subsidi tetap (fixed subsidy) pada pertamax. Artinya, dengan harga minyak mentah (crude oil) dunia saat ini dikisaran 55 dolar AS per barel (Kompas, 24/12), ditambah dengan asumsi subsidi tetap sebesar Rp 500,00 hingga Rp 1.000,00. Maka, harga jual pertamax berpotensi berada pada kisaran Rp 8.500,00 hingga Rp 9.000,00 per liter.

Memitigasi Tragedi Miras Oplosan


(Dok. allofbisnis.blogspot.com)

Di tengah riuh rendah dunia politik dan sengkarut kurikulum pendidikan nasional yang kini sedang menjadi sorotan, agaknya fokus pemerintah menjadi terbelah sehingga melupakan penanganan persoalan yang kerap menyambangi masyarakat kelas menengah ke bawah (lower middle class), yaitu maraknya peredaran minuman keras (miras) oplosan. Walhasil, kelengahan pemerintah itupun harus dibayar mahal dengan hilangnya puluhan bahkan ratusan nyawa penduduk secara sia-sia akibat mengonsumsi miras oplosan tersebut. Kasus terbaru yang menelan banyak korban jiwa yakni yang terjadi di Kabupaten Garut dan Kabupaten Sumedang pada awal Desember lalu. Sedikitnya 27 orang meninggal dunia akibat mengonsumsi miras oplosan “Cherrybelle”, sedangkan korban yang di rawat di rumah sakit jumlahnya mencapai ratusan orang. Maka, fenomena tersebut harus segera dipetakan secara serius agar tidak menyebar ke daerah-daerah lain.
Miras oplosan pada hakikatnya mempunyai kandungan yang jauh berbeda dengan jenis miras lainnya, utamanya jenis miras seperti yang dilegalkan oleh pemerintah sebagaimana termaktub dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Mafhum diketahui, miras oplosan pada umumnya dibuat dari campuran air putih dengan metanol (metil alkohol) yang memiliki sifat aditif (beracun). Sementara, jenis miras lain sebagaimana yang dilegalkan pemerintah pada umumnya menggunakan campuran dari etanol. Maka, miras oplosan jelas jauh lebih berbahaya karena kandungan racun yang dimilikinya. Oleh sebab itu, terlepas dari pro-kontra isi Perpres Nomor 74 Tahun 2013 itu sendiri, namun tetap harus dipahami bahwa maraknya peredaran miras oplosan mempunyai dampak yang lebih berbahaya dari peredaran jenis miras lainnya. Itulah sebabnya, pemberantasan peredaran miras oplosan harus dilakukan secara cepat, efektif dan efisien.