(Dok. Jawa Pos) |
Belakangan ini fenomena jilboobs kembali marak menjadi
perbincangan hangat di media massa maupun di media sosial. Fenomena faktual ini
terjadi setelah munculnya akun Facebook
Jilboobs Community yang dibuat sejak 25 Januari 2014. Hingga saat ini, akun
tersebut telah mendapatkan empat ribu lebih likes
pada halamannya dan terus meningkat pesat seiring munculnya kontroversi jilboobs. Belakangan, di Twitter akun-akun serupa yang juga mengusung
nama dan memposting konten-konten yang berafiliasi dengan fenomena jilboobs juga terlihat mulai marak. Sebelumnya,
fenomena yang sama juga pernah menyeruak ke permukaan di tahun 2012 lalu, hanya
saja dengan istilah berbeda yakni jilbab gaul dan jilbab funky.
Secara etimologi, istilah jilboobs ini merupakan penggabungan dari
dua kata, yakni jilbab dan boobs
(dada wanita/ orang dungu). Istilah ini merupakan sindiran kepada para wanita
muslim yang mengenakan hijab akan tetapi sangat ketat, sehingga lekuk tubuhnya
terlihat jelas, terutama untuk bagian dada. Hal ini jelas tidak sesuai dengan konsep
berpakaian Islam yang syar’i, yakni tertutup, tidak membentuk lekuk tubuh (longgar) dan tidak tembus pandang
(transparan). Lebih jauh, Syaikh Al- Bani dalam bukunya berjudul “Jilbaabul
Mar’ah Al- Muslimah”, mengungkapkan seperti apa ketentuan syariat jilbab yang
syar’i sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Al qur’an. Di dalam buku
tersebut dijelaskan ada delapan ketentuan syariat jilbab yang syar’i, yaitu menutupi
seluruh badan selain bagian yang dikecualikan, tidak dijadikan perhiasan, tidak
tembus pandang, tidak ketat, tidak dibubuhi minyak wangi (parfum), tidak
menyerupai pakaian lelaki, tidak meyerupai pakaian wanita kafir, dan tidak
berupa pakaian syuhrah (mencolok).