(Dok. DMG) |
Pascanormalisasi pasokan bahan bakar
minyak (BBM) bersubsidi oleh Pertamina, keadaan di setiap stasiun pengisian
bahan bakar umum (SPBU) mulai berangsur-angsur normal kembali. Kelangkaan BBM,
utamanya premium dan solar sudah bisa teratasi. Lebih dari itu, antrian panjang
masyarakat untuk membeli BBM bersubsidi juga sudah tidak terjadi lagi. Kondisi
ini tentu melegakan masyarakat, terlebih lagi di negara ini BBM bisa dikatakan
sebagai satu-satunya “nyawa” roda perekonomian nasional. Sebut saja, sebagai
penggerak industrialisasi, penggerak transportasi umum maupun pribadi, hingga
penggerak roda ekonomi pertanian dan roda ekonomi maritim. Hanya saja, dalam jangka menengah
normalisasi pasokan BBM bersubsidi seperti saat ini jelas akan berimbas pada
kemungkinan jebolnya subsidi BBM. Faktanya, menurut Vice Presiden Corporate
Communication Pertamina, Ali Mundakir, kuota BBM bersubsidi yang tersisa hingga
akhir tahun tinggal 29 persen saja. Sedangkan, konsumsi BBM masyarakat
tergolong tinggi, utamanya masyarakat di Jawa dan Sumatera. Maka, tanpa
perlakuan khusus bukan tidak mungkin BBM bersubsidi akan habis lebih cepat dari
kalkulasi pemerintah. Dampaknya, pemerintahan baru mendatang akan tersandera
oleh defisit subsidi BBM. Minimal untuk jangka waktu hingga akhir tahun. Itulah
sebabnya, polemik subsidi BBM harus segera diakhiri dengan menerapkan kebijakan
yang adil dan merata berdasarkan konstitusi, UUD 1945. Sehingga, rakyat kecil
tetap bisa memperoleh subsidi sebagaimana yang diamanatkan founding fathers dalam konstitusi, dan Pemerintah tetap bisa
bernafas legas terhadap ruang fiskal yang dimilikinya.