Kontroversi Quick Count Hasil Pilpres


(Dok.Solopos 12 Juli 2014)
Munculnya perbedaan orientasi pada hasil hitung cepat (quick count) saat ini, sebenarnya bukanlah hal yang tidak dapat diprediksi sebelumya. Terlebih lagi, elektabilitas kedua pasangan capres- cawapres yang bertarung di Pemilu Presiden (Pilpres) 2014, yakni Prabowo Subianto- Hatta Radjasa dan Joko Widodo (Jokowi)- Jusuf Kalla (JK) memang sangat kompetitif. Hal inilah yang membuka peluang bagi lembaga quick count partisan untuk mengeruk keuntungan material dari situasi ini. Akan tetapi bagi publik, hal ini jelas berpengaruh buruk pada situasi politik pascapencoblosan, 9 Juli lalu. Situasi politik yang diharapkan bisa mengalami cooling down pascapencoblosan, nyatanya hingga saat ini atmosfer politik masih terasa panas. Tak heran jika kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam pertemuannya dengan kedua pasangan capres- cawapres sampai mewanti-wanti agar masing-masing kubu bisa menahan diri dan tidak mengumpulkan massa sebelum pengumuman resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), 22 Juli mendatang. Pada Pilpres 2014 kali ini setidaknya ada 11 lembaga survey yang menyita perhatian publik terkait perbedaan orientasi hasil quick count yang dirilis. Empat lembaga yaitu Pusat Kajian Kebijakan dan Pembagunan Strategis (Puskaptis), Lembaga Survei Nasional (LSN), Indonesia Research Center (IRC), dan Jaringan Suara Indonesia (JSI) memberikan keunggulan kepada Prabowo Subianto- Hatta Radjasa. Sementara, tujuh lembaga lainnya yakni Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Center for Strategic and International Studies (CSIS)- Cyrus Network, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Indikator Politik, Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kompas, Radio Republik Indonesia (RRI), dan Pol-Tracking Institute memberikan keunggulan kepada Jokowi-Jusuf Kalla.
Lazim Terjadi
Pada hakekatnya, hasil quick count berbeda bukanlah hal yang tak lazim terjadi. Beberapa lembaga survey sering mengalami perbedaan hasil tersebut, hanya saja orientasinya tetap pada satu arah. Dengan kata lain, hasil quick count tidak menimbulkan dualisme orientasi yang berbeda. Perbedaan biasanya hanya sebatas pada rentang hasil riset saja. Semisal, hasil quick count Pilpres 2014 yang dirilis oleh SMRC, RRI, dan Pol- Tracking Institute. Ketiganya merilis hasil quick count yang berbeda, akan tetapi orientasinya tetap searah yaitu memberikan keunggulan pada satu pasangan capres- cawapres yang sama. Hasil quick count yang dirilis SMRC yaitu 47,09 persen untuk Prabowo- Hatta dan 52,91 persen untuk Jokowi- JK, RRI yaitu 47,32 persen untuk Prabowo- Hatta dan 52,68 persen untuk Jokowi- JK, sementara rilis Pol- Tracking Institute yaitu 46,63 persen untuk Prabowo- Hatta dan 53,37 persen untuk Jokowi- JK. Karenanya, jika terjadi perbedaan orientasi hasil quick count dapat dipastikan bahwa telah terjadi sesuatu yang keliru. Dalam hal ini munculnya perbedaan orientasi hasil quick count yang berbeda bukanlah suatu hal yang tak dapat dianalisis. Setidaknya, ada tiga penyebab utama yang memunculkan kondisi tersebut. Pertama, karena lembaganya adalah lembaga partisan atau memihak kepada salah satu pasangan kandidat. Sehingga, besar kemungkinan data yang disajikan hanyalah data hasil rekayasa belaka. Lembaga seperti ini biasanya “bermain” diambang batas margin of error. Kedua, adanya kesalahan metodologi yang digunakan. Penggunaan metodologi sangat berpengaruh terhadap hasil quick count yang dilakukan. Karenanya, penggunaan metodologi harus benar-benar tepat. Pada beberapa kasus, metodologi sengaja dimanipulasi untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Ketiga, adanya human error atau kesalahan yang disebabkan oleh keteledoran manusia. Faktor ketiga ini meski ada, tapi sangat jarang ditemukan. Melihat panasnya dinamika politik nasional saat ini, faktor pertama dan kedua patut menjadi sorotan bagi publik. Hal ini tak lepas dari nalar elit politik saat ini yang benar-benar haus akan kekuasaan tertinggi negara ini yang dalam sepuluh tahun terakhir telah di kuasai oleh petinggi Partai Demokrat.
Pembelajaran bagi Demokrasi
Perbedaan hasil quick count Pilpres 2014 saat ini, semestinya menjadi pembelajaran berharga bagi demokrasi nasional. Publik juga tak perlu terlalu larut dalam kebingungan mengingat hasil rekapitulasi yang mempunyai legitimasi di mata hukum ialah real count yang dilakukan oleh KPU. Publik dan seluruh elit negeri ini mesti bisa bersabar dan menahan diri hingga diumumkannya rekapitulasi suara nasional oleh KPU pada 22 Juli mendatang. Namun demikian, investigasi atas data maupun metodologi quick count yang digunakan oleh setiap lembaga survey perlu segera dilakukan. Dengan begitu, dualisme orientasi yang ada pada hasil quick count saat ini bisa dihilangkan. Senada dengan hal tersebut, anggota Dewan Etik Perhimpunan Survey Opini Publik Indonesia (Persepi), Prof. Dr. Hamdi Muluk juga menegaskan komitmen perhimpunannya untuk melakukan audit terhadap lembaga survey yang berada di bawah naungannya. Dari sebelas lembaga survey yang mencuri perhatian publik melalui rilis hasil quick count-nya saat ini, tujuh diantaranya adalah anggota dari Persepi, yaitu LSI, Indikator Politik, SMRC, Cyrus Network, Populi Center, JSI, dan Puskaptis. Komitmen Persepi tersebut patut diapresiasi mengingat publik saat ini sangat menginginkan segera tercipta kepastian politik. Selain itu, Persepi juga harus berani memberikan sanksi tegas kepada lembaga survey dari anggotanya yang terbukti melakukan manipulasi data maupun manipulasi metodologi. Sehingga, dualisme orientasi hasil quick count tak lagi terjadi pada pergelaran elektoral negara ini di masa mendatang.

Dimuat dalam Gagasan Solopos edisi 12 Juli 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar