Ihwal Ke(tidak)adilan Komplain Tulisan

(Dok. juraganloundry.blogspot.com)
Belakangan ini, saya sebagai penulis maupun tulisan-tulisan saya kerap "diusili" bahkan cenderung "dibunuh" secara karakter. Tujuannya sederhana, agar nama saya secara pribadi dan tulisan-tulisan saya tidak kembali mewarnai media massa. Atau dalam bahasa sederhananya, agar tulisan saya tidak lagi dipublikasikan oleh media massa (tertentu). Celakanya lagi, si oknum yang jahil itu juga mengarahkan amunisinya pada Forum Kolumnis Muda Jogja (FKMJ). Padahal, saya jarang menggunakan forum tersebut dalam daftar riwayat kepenulisan saya. Saya lebih sering menggunakan ID lembaga (Research Center for Democratic Education) atau alumnus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) atau bahkan menggunakan keduanya sekaligus. Sementara, FKMJ biasanya saya gunakan bila saya mengirimkan tulisan ke Kompas atau Tempo saja. Maka, orientasi si oknum tersebut sangatlah jelas. Yakni, tak hanya ingin "membunuh" karir kepenulisan saya, akan tetapi juga "membunuh/ menjelekkan" FKMJ.
Pada titik ini, siapa oknum pelakunya menjadi sangat mudah ditebak. Tak lain dan tidak bukan adalah orang yang tidak senang dengan saya (mungkin iri, merasa tersaingi, atau karena alasan lain) dan juga mantan anggota FKMJ. Itulah sebabnya, nama FKMJ turut dibawa, harapannya tentu saja agar forum itu mempunyai nama buruk di jagad kepenulisan. Maka dengan gampang mengerucutlah sebuah nama yakni BA atau kalau dalam Kompasiana menggunakan ID Wartawan Abal-abal atau #Gusrie1980 (kadang kalau komplain juga menggunakan email Ayu Jogja). Bagaimana saya tahu kalau BA, #Gusrie1980 (Wartawan Abal-abal), dan Ayu Jogja adalah orang yang sama??? Jawabannya gampang, tapi tidak akan saya jelaskan, karena saya tahu si jahil cenderung munafik itu suka ngintip blog saya ini (wkwkwkkw...kasian ketahuan). Namun demikian, saya sudah menyiapkan bukti valid yang mampu membuktikan bahwa ketiga ID itu adalah orang yang sama. Sekedar buat berjaga-jaga saja, kalau suatu waktu nanti akan berguna.

Angpau Lebaran


(Dok. Pribadi)
Hari Raya Idul Fitri kali ini aku harus berfikir keras untuk menambah pemasukan. Soalnya, pendapatanku dari berdagang di bulan puasa ini malah menurun. Sementara, di depan mata para ponakan pasti minta jatah angpau di hari lebaran nanti. Untung ada teman yang menawari saya pekerjaan sampingan, yaitu merambatkan dahan tumbuhan melon ke potongan bambu. Tujuannya agar buah melon yang dihasilkan bisa bulat utuh, tidak benjol seperti kalau dahan melon hanya diletakkan di atas tanah. Meski belum pernah melakukan pekerjaan itu, tanpa pikir panjang aku menerima tawaran dari teman ku itu. Sebab bayaran yang ditawarkan lumayan, 100 ribu per harinya. Esok harinya aku langsung ikut dia ke lahan tempat menanam melon di daerah Pundong, Bantul.
Dia berpesan agar berhati-hati, sebab di tanaman melon ada semacam lugut yang gatal kalau mengenai kulit. Tapi dari situ lah musibah justru datang menghampiriku. Saking semangatnya merambatkan dahan melon ke potongan bambu, dahan melon yang aku tarik malah mengenai mata kiri ku. Alhasil, mata kiriku terasa sangat perih. Celakanya lagi, aku obati pake obat mata biasa tidak mempan. Rasa sakit dan perih di matanya tidak mau hilang. Aku menduga pasti ada lugut dahan melon yang tertinggal di mata kiriku itu. Lalu aku bawa ke RSUD Wates, di sana saya langsung diperiksa di Poli Mata. Dan benar, dokter yang memeriksa mengatakan ada lugut dahan melon yang tertinggal di dalam mata. Dokter itu lantas meneteskan semacam cairan yang membuat mata terasa dingin. Sehingga, waktu lugut diambil dengan jepitan kecil mata tidak terasa sakit

Idulfitri, ASN, dan Kendaraan Dinas


(Dok. manado.tribunnews.com)

Perayaan Hari Raya Idul Fitri (Lebaran) 1436 Hijriyah oleh seluruh umat Islam di negara ini baru saja usai. Akan tetapi bagi para perantau, ritual lebaran itu belumlah sepenuhnya usia karena mereka harus kembali ke tempat perantauannya untuk bekerja lagi. Pada titik inilah kita kerap dihadapkan pada fenomena yang sering dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN), yakni penyalahgunaan kendaraan dinas, baik yang digunakan sebelumnya untuk mudik maupun arus balik pascalebaran. Ironisnya lagi, tak sedikit kepala daerah yang justru “melegalkan” penyalahgunaan kendaraan dinas tersebut meskipun dengan menyertakan persyaratan tertentu. Misalnya saja, Gubernur Gorontalo Rusli Habibie yang mengizinkan penggunaan kendaraan dinas untuk keperluan mudik dan arus balik namun seluruh biaya harus ditanggung menggunakan uang pribadi, mulai dari biaya bahan bakar minyak (BBM), biaya pergantian oli, hingga biaya perbaikan bila terjadi kerusakan.
Setali tiga uang, Bupati Bogor Nurhayanti juga melegalkan penggunaan kendaraan dinas untuk keperluan mudik dan sekaligus arus balik lebaran. Menurutnya, dari pada kendaraan dinas hilang di kantor dinas saat libur lebaran, maka lebih baik kendaraan dinas tersebut “dititipkan” pada ASN-nya. Lebih jauh, Nurhanyanti mengungkapkan bahwa kendaraan dinas yang dipinjam untuk mudik (dan arus balik) lebaran harus dirawat seperti milik pribadi. Merujuk data dari bagian Inventarisasi dan Administrasi pada Dinas Pendapatan, Keuangan, dan Barang Daerah (BPKBD) Kabupaten Bogor, jumlah kendaraan dinas yang dimiliki kabupaten tersebut mencapai 2.020 kendaraan yang terdiri dari 400 unit kendaraan roda empat, 120 kendaraan roda enam, dan 1.500 unit kendaraan roda dua. Tercatat pula, masih ada beberapa pemerintah daerah (Pemda) lainnya yang turut memberikan keleluasaan bagi para ASN-nya untuk mudik dan arus balik lebaran menggunakan kendaraan dinas, diantaranya Pemda Purwakarta, Pemda Aceh Tamiang, dan Pemda Sidoarjo.

Pemilukada, Parlemen, dan Islah Golkar


(Dok. www.liputan6.com)

Mudah ditebak, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang mengabulkan sebagian gugatan Partai Golkar versi Munas Bali atas SK Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH- 01.AH.11.01 Tahun 2015 tentang pengesahan AD/ART serta komposisi DPP Partai Golkar versi Munas Jakarta tidak berimplikasi apa pun terhadap peluang keikutsertaan Partai Golkar dalam kontestasi elektoral pilkada serentak. Pasalnya, baik Menkumham selaku tergugat maupun Golkar versi Munas Jakarta selaku tergugat intervensi sama-sama telah mengajukan upaya banding atas putusan PTUN tersebut. Itu artinya, sebagaimana ketetapan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dapat dikatakan belum ada keputusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang dapat digunakan oleh Golkar sebagai partai yang tengah berkonflik untuk mendaftarkan diri dalam kontestasi elektoral pilkada.
Pun demikian dari perspektif putusan PTUN itu sendiri, tegas disebutkan pada Pasal 115 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN bahwa hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap tidak memiliki kekuatan eksekusi atau dengan kata lain putusan pengadilan yang masih mempunyai upaya hukum tidak dapat dimintakan eksekusinya (Harahap, 2008). Prinsip yang sama tegas pula tertuang dalam norma Pasal 19 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, disebutkan bahwa keputusan pejabat PTUN atau administrator negara baru dianggap sah setelah ada putusan berkekuatan hukum tetap. Kulminasinya, Partai Golkar saat ini benar-benar sedang berada dalam situasi yang sangat mengkhawatirkan. Sebab, meskipun menjadi partai kedua pemenang pemilu legislatif (Pileg) 2014, namun bukan tidak mungkin partai berlambang pohon beringin itu justru akan absen dalam perhelatan pilkada serentak pada 9 Desember 2015 mendatang.

Revisi UU KPK, Konstitusi, dan Pelemahan KPK


(Dok. nasional.vivanews.co.id)

Belum cukup pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui “kriminalisasi” jajaran pimpinan dan pegawainya, kini upaya serupa tampaknya kembali digagas melalui mekanisme yang berbeda. Kali ini dan untuk yang kesekian kalinya, upaya itu kuat dugaan akan dilakukan melalui revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Pasalnya, sejumlah politisi Senayan telah bersepakat untuk mendorong agar revisi UU KPK bisa masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2015. Untuk itu, seharusnya pemerintah dan internal KPK dapat satu suara menolak upaya revisi itu. Ironisnya, baik pihak pemerintah maupun internal KPK justru terbelah. Terbukti Wakil Presiden Jusuf Kalla tidak keberatan dengan wacana revisi yang diusung oleh sejumlah politisi Senayan itu meskipun Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara tegas telah menolaknya.
Pun demikian dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna H Laoly yang notabene adalah kepanjangan tangan langsung presiden bidang hukum dan HAM. Meskipun di media mengungkapkan akan satu suara dengan presiden, tetapi dalam realisasinya Menkumham tidak mampu berkutik untuk menolak masuknya revisi UU KPK dalam Prolegnas Prioritas tahun 2015. Setali tiga uang, Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK Taufiequrachman Ruki juga tidak keberatan bila UU KPK akan direvisi. Hal ini bertentangan dengan pandangan Komisioner KPK lainnya, salah satunya Plt Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Aji. Menurutnya, revisi UU KPK dalam waktu dekat belum diperlukan. Lebih jauh, revisi UU KPK kuat dugaan justru akan melemahkan kewenangan-kewenangan yang dimiliki KPK. Walhasil, revisi UU KPK pun akhirnya dengan mulus dapat masuk dalam Prolegnas Prioritas tahun 2015.