Menagih Janji Politik Memperkuat KPK


(Dok. merdeka.com)

Mafhum disadari, salah satu motif pembentukkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2003 silam dilandasi atas kurang maksimalnya kinerja aparat penegak hukum, utamanya Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kepolisian dalam memberantas kasus korupsi. Bahkan, tak jarang ada oknum-oknum dari ke dua instansi penegak hukum tersebut yang justru malah terlibat praktik korupsi. Maka, pembentukkan KPK diharapkan mampu mempercepat akselerasi penegakkan hukum dalam rangka memberangus praktik kartel korupsi, utamanya yang dilakukan oleh para pejabat negara. Seiring berjalannya waktu dan pergantian komisioner KPK, prestasi KPK dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini pun semakin mengkilap. Terbukti tak hanya pejabat-pejabat negara biasa yang berhasil dibawa KPK ke meja hijau akibat terjerat kasus korupsi, tetapi pejabat tinggi negara seperti menteri pun tak luput dari jerat hukum KPK.
Masih ingat jelas dalam ingatan, setidaknya ada tiga menteri era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berhasil dijerat KPK ke jalur hukum karena terindikasi melakukan korupsi. Yaitu, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Alfian Malaranggeng, mantan Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali, dan mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik. Prestasi terbaru tentu saja keberanian dalam menetapkan calon tunggal Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Komisaris Jenderal (Pol) Budi Gunawan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi. Bila melihat track record KPK, tanpa mendahului proses hukum yang sedang berjalan, besar kemungkinan pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka pada akhirnya akan menjadi penghuni hotel prodeo. Sehingga, wajar bila prestasi KPK tersebut kemudian menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian orang, terutama para pejabat negara yang gemar memperkaya diri sendiri dan keluarganya melalui korupsi.
Masifnya Upaya Kriminalisasi
Dalam konteks kekinian, kekhawatiran sebagian pejabat negara terhadap prestasi yang telah dicapai KPK dalam memberantas korupsi di negara ini semakin nyata adanya. Tak heran, bila pelbagai tindakan terselubung dalam rangka memperlemah KPK terus bermunculan. Belakangan, indikasi tersebut tercermin dari masifnya upaya mengkriminalisasi jajaran komisioner KPK. Pascapenangkapan dan penetapan tersangka Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto (BW) oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) terkait dugaan melanggar Pasal 242 jo Pasal 55 KUHP perihal sumpah palsu dan keterangan palsu, komisioner KPK lainnya yaitu Adnan Pandu Praja dan Abraham Samad terindikasi kuat juga akan dikriminalisasikan. Pasalnya, Adnan Pandu Praja diketahui telah dilaporkan ke Bareskrim oleh Mukhlis Ramlan selaku kuasa hukum dari PT Desy Timber atas tuduhan pemalsuan surat notaris dan penghilangan saham PT Desy Timber. Sementara, Abraham Samad juga diketahui telah dilaporkan oleh KPK Watch atas dugaan terlibat aktivitas politik ketika Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 diselenggarakan.
Upaya mengkriminalisasi komisioner KPK sebagai perseorangan adalah hal yang wajar mengingat setiap orang berkedudukan sama di mata hukum, terlebih lagi bila sudah ada minimal dua alat bukti kuat terhadap kasus yang disangkakan. Maka, pelanggaran hukum yang dilakukan memang sudah menjadi keharusan untuk dikriminalisasi, dalam artian dilaporkan dan diproses ke jalur hukum. Persoalannya kemudian muncul ketika dikaitkan dengan jabatan publik yang sedang disandang. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, dalam Pasal 32 ayat (2) ditegaskan bahwa dalam hal Pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya. Lebih jauh ditegaskan dalam ayat (3), yakni pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia.
Imunitas “Terbatas”
Mengacu pasal di atas, maka status tersangka yang disandang oleh komisioner KPK sebagai perseorangan jelas akan berdampak langsung pada jabatan publik yang sedang diembannya. Sebab, mau tak mau komisioner KPK yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus hukum tertentu harus diberhentikan sementara oleh presiden sebagaimana ketetapan undang-undang. Terkait hal ini, bila kemudian semua laporan yang diajukan ke Bareskrim berbuah penetapan tersangka bagi para komisioner KPK yang dilaporkan, maka KPK setidaknya akan kehilangan tiga komisionernya mulai dari Bambang Widjojanto, Adnan Pandu Praja, dan Abraham Samad. Sehingga, upaya pemberantasan korupsi jelas akan terhambat, bahkan bisa mengalami kelumpuhan mengingat mekanisme pengambilan kebijakan di KPK ialah bersifat kolektif kolegial.
Karenanya, penting sekiranya bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang memberikan imunitas “terbatas” bagi komisioner KPK. Imunitas “terbatas” dapat dimaknai sebagai hak kebal hukum yang diberikan dengan batasan-batasan tertentu. Misalnya, hanya selama menjabat sebagai komisioner KPK dan bukan termasuk pelanggaran hukum bersifat extra ordinary crime. Sehingga, kekhawatiran sebagian masyarakat akan potensi penyalahgunaan hak imunitas oleh jajaran komisioner KPK dapat dihindarkan. Sebab, pelanggaran hukum yang dilakukan di luar ketentuan hak imunitas yang diberikan masih bisa dilaporkan dan diproses secara hukum. Akhirnya, Presiden Jokowi mesti membuktikan janji politik masa kampanye Pilpres lalu untuk memperkuat KPK. Segera mengeluarkan Perppu Imunitas terbatas bagi komisioner KPK bisa menjadi simbol politik pembuktian Presiden Jokowi dalam rangka merealisasikan janji politiknya tersebut. Dengan begitu, upaya pemberantasan korupsi bisa tetap berjalan optimal dan janji politik Presiden Jokowi untuk memperkuat KPK bukan merupakan sebuah omong kosong belaka. Wallahu a’lam.

Dimuat dalam kolom opini Harian Waspada edisi 13 Februari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar