Rekapitulasi
perhitungan suara secara nasional pemilu legislatif (pileg) 2014 memang belum selesai.
Meskipun demikian, figur-figur yang akan menjadi penghuni parlemen baru periode
2014-2019 sebagian besar sudah dapat diprediksi, yakni melalui hitung cepat (quick count) dan perhitungan independent
tim sukses calon legislatif (caleg) masing-masing. Sejauh ini memang belum ada
data pasti mengenai jumlah wajah baru maupun wajah lama (incumbent) yang akan menghuni parlemen baru, namun dapat dipastikan
bahwa akan terjadi regenerasi parlemen. Regenerasi parlemen jelas memberikan
harapan baru bagi masyarakat agar tercipta pemerintahan yang lebih peka
terhadap aspirasi rakyat. Pertanyaannya, apakah regenerasi yang terjadi di parlemen
tersebut nantinya benar-benar dapat menciptakan parlemen pro rakyat? Dalam
artian, apakah kemudian parlemen baru mau dan mampu menyerap aspirasi rakyat
yang kemudian menyalurkannya dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang pro rakyat?.
Sungguh, bukan pertanyaan yang mudah dijawab, apalagi keterpilihan figur-figur
baru di parlemen secara nyata masih menyisakan berbagai persoalan pelik.
Misalnya saja, begitu kentaranya penggunaan politik uang (money politics), kampanye hitam (black campaign), dan manipulasi jumlah suara. Khusus modus yang
disebut terakhir, menjadi catatan penting bagi partai politik (parpol) agar
lebih fokus dalam menciptakan iklim kompetisi
yang sehat dan konstruktif di internal parpol. Pasalnya, manipulasi jumlah
suara seringkali malah terjadi antar caleg dalam satu parpol. Manipulasi jumlah
suara tersebut biasanya dilakukan dengan “mencuri” suara caleg A, untuk
kemudian ditambahkan pada jumlah perolehan suara caleg B yang sejatinya
bernaung dalam satu parpol.
Direktur Eksekutif Research Center for Democratic Education. Alumnus Universitas Negeri Yogyakarta. Bergiat bersama para penulis Jogja dalam Forum Kolumnis Muda Jogja (FKMJ).
Batal Dodolan
Dok. Solopos |
Beberapa
bulan lalu ketika musim durian tiba, disetiap sudut kota Wates ramai dengan
pedagang durian. Meskipun jumlah pedagang lumayan banyak, namun setiap pedagang
tak pernah sepi dikunjungi pembeli. Melihat peluang bisnis seperti ini, Jon
Koplo pun turut tertarik untuk ikut serta menjadi penjual durian. Apalagi
dirumah Jon Koplo sudah ada mobil pick up,
sehingga sarana transportasi tak menjadi masalah buat Jon Koplo. Kemudian,
keinginan Jon Koplo ini diutarakan kepada temannya, Tom Gembus. Dia ternyata
setuju dengan ide Koplo untuk berbisnis durian ini. Akhirnya, mereka patungan
mengumpulkan sejumlah uang untuk modal. Esok harinya, mereka berangkat menuju
desa Semono, kecamatan Bagelen. Jalan desa lumayan sempit, selain itu tempatnya
didaerah pegunungan. Bahkan sinyal hp pun tak bisa tertangkap ketika mereka
berada di sana. Sesampai di desa Semono, pick
up-nya mereka parkir di dekat sebuah masjid, dan mereka melanjutkan dengan
jalan kaki. Mobil tidak bisa dibawa naik lebih jauh lagi, karena jalannya
sangat kecil sehingga hanya bisa dilalui sepeda motor atau pejalan kaki saja.
Rekapitulasi yang Menyisakan "Catatan"
Dok. Berita Satu |
Memerangi Predator Seksual Anak
Dok. KR |
Beberapa
hari terakhir kasus kejahatan seksual pada anak begitu marak terjadi di negara
ini. Kejahatan seksual pada anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana
orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan
seksual (Wikipedia). Kenyataan pahit ini membuktikan bahwa negara ini belum
mampu memberikan perlindungan yang aman bagi calon penerus generasi bangsa.
Celakanya, akibat isu koalisi dan segala macam urusan menjelang pemilu presiden
(pilpres), solusi penyelesaian kejahatan seksual pada anak ini menjadi terbengkalai.
Berkaca dari kasus-kasus yang terjadi dewasa ini, dapat disimpulkan bahwa kejahatan
seksual pada anak bisa terjadi di mana saja, di sekolah maupun di ruang-ruang
publik. Kasus kejahatan seksual di lingkungan Taman Kanak-kanak Jakarta
International School (TK JIS), maupun kasus Andri Shobari alias Emon setidaknya
menjadi bukti valid dari pernyataan tersebut. Tak kurang 5 (lima) anak telah
menjadi korban kejahatan seksual di JIS, dan seiring berjalannya penyelidikan
jumlah korban juga terus bertambah. Sementara, kasus Emon memberikan gambaran
lain, betapa lebih mengerikan potensi kejahatan seksual yang mengancam diluar
institusi pendidikan. Menurut data dari Polres Sukabumi, hingga kini korban
kejahatan seksual Emon mencapai 73 orang anak. Belakangan, di Sumedang juga
muncul kasus serupa dan diduga korbannya sudah mencapai belasan anak.
Hilangnya Humanisme dalam Politik Demokrasi
Doc. Banjarmasin Post |
Partisipasi
politik rakyat dalam ritual elektoral pemilu legislatif (pileg) 2014 sudah
ditunaikan pada 9 April. Hasilnya, angka partisipasi politik rakyat cenderung
stagnan dari partisipasi politik di pemilu-pemilu sebelumnya, yakni dikisaran
70-75 persen. Sejalan dengan hal tersebut, rilis hitung cepat (quick count) terbaru yang dikeluarkan
Center for Strategic and International Studies (CSIS) dan Cyrus Network juga
menunjukkan bahwa angka keterlibatan masyarakat dalam pileg 2014 lalu masih
merisaukan, yakni dikisaran 75,3 persen. Maka benar prediksi beberapa pengamat
politik sebelum pileg 2014 digelar, bahwa fenomena pemilu 2009 kembali akan
terulang. Realitas tersebut tentu menjadi noda hitam bagi penyelenggaraan pesta
demokrasi nasional ditengah puja dan puji demokrasi Indonesia dari negara luar.
Namun, noda hitam tersebut jelas tidak bisa hanya dibebankan pada rakyat
sepenuhnya, karena etos kerja para wakil rakyat yang sangat buruk itulah yang
menjadi penyebab sesungguhnya. Sebagai gambaran, dalam kurun waktu 3 (tiga)
tahun terakhir para wakil rakyat yang duduk di Senayan tak pernah mampu
menjalankan fungsi legislasinya dengan memuaskan, bahkan cenderung sangat
buruk. Pada tahun 2011 misalnya, dari 93 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang
ditargetkan, hanya 18 RUU saja yang mampu dituntaskan. Lalu pada tahun 2012,
dari target 64 RUU, hanya 10 RUU yang mampu dituntaskan menjadi Undang-Undang
(UU). Sementara pada tahun 2013, dari 76 RUU dalam program legislasi nasional
(prolegnas), pada sidang I DPR (2013-2014) hanya bisa menuntaskan 15 RUU
menjadi UU, dan pada periode sidang II sebanyak 33 RUU masih dalam tahap
pembahasan. Disisi lain, begitu masifnya polutan politik yang berwujud perilaku
korup para pejabat negara juga mempunyai andil besar dalam terciptanya noda
hitam demokrasi tersebut.
Pilpres Rentan Kampanye Hitam
Doc. Joglosemar |
Ritual
elektoral pemilu legislatif (pileg) telah terlewati dengan sukses pada 9 April
lalu. Meski begitu, harus diakui masih banyak kecurangan-kecurangan yang terjadi
dalam pelaksanaannya. Berbagai kecurangan tersebut patut segera dievaluasi dan
dicarikan solusi agar tidak terulang kembali pada pemilu presiden (pilpres), 9
Juli 2014 mendatang. Salah satu kecurangan yang kentara digunakan namun sulit
terdeteksi pelakunya adalah penggunaan kampanye hitam. Kampanye hitam atau black campaign memang masih dipandang
sebagai jurus ampuh untuk menjatuhkan lawan politik dalam perebutan kursi
kekuasaan. Fenomena ini menunjukkan bahwa etika berpolitik para politikus di
negeri ini masih buruk serta tidak siap menerima kekalahan politik. Maka tak
heran jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam satu kesempatan pernah
mewanti-wanti agar semua pihak benar-benar menjauhi praktik kampanye hitam.
Selain itu, Presiden SBY juga pernah berpesan agar masyarakat waspada dan bisa
memilah pesan politik yang berupa fakta, dan pesan politik yang hanya berupa black campaign.
Langganan:
Postingan (Atom)