![]() |
(Dok. nasional.vivanews.co.id) |
Belum cukup pelemahan terhadap Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui “kriminalisasi” jajaran pimpinan dan
pegawainya, kini upaya serupa tampaknya kembali digagas melalui mekanisme yang
berbeda. Kali ini dan untuk yang kesekian kalinya, upaya itu kuat dugaan akan
dilakukan melalui revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Pasalnya, sejumlah
politisi Senayan telah bersepakat untuk mendorong agar revisi UU KPK bisa masuk
ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2015. Untuk
itu, seharusnya pemerintah dan internal KPK dapat satu suara menolak upaya
revisi itu. Ironisnya, baik pihak pemerintah maupun internal KPK justru terbelah.
Terbukti Wakil Presiden Jusuf Kalla tidak keberatan dengan wacana revisi yang
diusung oleh sejumlah politisi Senayan itu meskipun Presiden Joko Widodo
(Jokowi) secara tegas telah menolaknya.
Pun demikian dengan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna H Laoly yang notabene adalah kepanjangan
tangan langsung presiden bidang hukum dan HAM. Meskipun di media mengungkapkan
akan satu suara dengan presiden, tetapi dalam realisasinya Menkumham tidak
mampu berkutik untuk menolak masuknya revisi UU KPK dalam Prolegnas Prioritas
tahun 2015. Setali tiga uang, Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK Taufiequrachman
Ruki juga tidak keberatan bila UU KPK akan direvisi. Hal ini bertentangan
dengan pandangan Komisioner KPK lainnya, salah satunya Plt Wakil Ketua KPK
Indriyanto Seno Aji. Menurutnya, revisi UU KPK dalam waktu dekat belum
diperlukan. Lebih jauh, revisi UU KPK kuat dugaan justru akan melemahkan
kewenangan-kewenangan yang dimiliki KPK. Walhasil, revisi UU KPK pun akhirnya dengan
mulus dapat masuk dalam Prolegnas Prioritas tahun 2015.
Ketentuan
Konstitusi
Jamak diketahui, revisi UU KPK
sesungguhnya telah masuk dalam Prolegnas Jangka Menengah 2014-2019, tepatnya
dengan nomor urut pembahasan 63. Maka, bila mengacu ketentuan Pasal 17
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, revisi terhadap UU KPK seharusnya dilakukan paling tidak
setelah 37 rancangan undang-undang (RUU) yang masuk dalam Prolegnas Prioritas
tahun 2015 telah selesai dibahas oleh DPR. Faktanya, target penyelesaian
pembahasan untuk 37 RUU yang telah disepakati dalam Prolegnas Prioritas tahun
2015 masih jauh panggang dari api realisasinya. Hingga saat ini, DPR baru mampu
mengesahkan 5 UU dari 37 RUU yang ditargetkan dalam Prolegnas Prioritas tahun
2015. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya DPR lebih fokus untuk mengejar dan meningkatkan
kinerja legislasinya, bukan malah melakukan manuver terhadap program legislasi
yang telah disepakati.
Meski demikian, konstitusi sesungguhnya
juga memberikan kewenangan, baik bagi Presiden maupun DPR untuk memajukan masa
revisi terhadap suatu RUU. Maksudnya, bisa saja revisi UU KPK yang sebelumnya
telah masuk dalam Prolegnas Jangka Menengah untuk dimajukan masuk dalam
Prolegnas Prioritas. Hanya saja, harus memenuhi keadaan tertentu sebagaimana
yang termaktub pada Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011. Yaitu, untuk mengatasi
keadaan luar biasa,
keadaan konflik, atau bencana alam (huruf a) dan keadaan tertentu
lainnya yang memastikan adanya urgensi
nasional atas suatu RUU (huruf b). Sementara untuk saat ini, keadaan
tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011
untuk memajukan masa revisi UU KPK dari Prolegnas Jangka Menengah ke Prolegnas
Prioritas jelas tidak ditemukan. Maka, manuver legislasi yang dilakukan oleh sebagian
oknum pemerintah dan sejumlah politisi Senayan agar bisa segera merevisi UU KPK
jelas telah menyalahi ketentuan konstitusi.
Pelemahan
Sistemik
Bila membaca manuver sejumlah politisi,
baik yang berada di pihak pemerintah maupun pihak DPR agar bisa secepatnya
merevisi UU KPK tanpa mengindahkan ketentuan konstitusi sekali pun, maka kuat
dugaan orientasinya juga tidak akan baik bagi KPK. Tak heran, bila publik dan
pegiat antikorupsi pun langsung menjustifikasikan upaya tersebut sebagai
mekanisme pelemahan sistemik terhadap KPK. Terlebih lagi, usulan-usulan yang
dimasukkan dalam pembahasan revisi UU KPK juga tidak jauh-jauh dari kewenangan
yang selama ini justru menjadi senjata utama KPK dalam memberantas tindak
pidana korupsi (tipikor). Misalnya saja, rencana penghapusan kewenangan
penuntutan (Pasal 6 UU KPK), rencana pencabutan kewenangan penyadapan (Pasal 7
UU KPK), dan rencana pemberian
kewenangan untuk dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan/
SP3 (Pasal 40 UU KPK).
Dua kewenangan yang disebut terakhir,
belakangan menjadi usulan yang paling nyaring disuarakan oleh DPR agar segera
direvisi. Padahal, jamak diketahui bila kewenangan penyadapan selama ini
menjadi kunci utama KPK untuk melancarkan Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Hasilnya pun sangat signifikan, buktinya telah banyak koruptor yang dapat
dijebloskan KPK ke hotel prodeo karena terkena OTT. Terfaktual, kewenangan
penyadapan yang dimiliki KPK sekali lagi mampu menyukseskan OTT terhadap
anggota DPRD Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan (19/6). Sementara
terkait kewenangan SP3, bila diberikan kepada KPK maka dapat dipastikan terduga
pelaku tipikor yang memenangkan gugatan praperadilan akan menuntut KPK untuk
mengeluarkan SP3 pada perkaranya. Ini berarti, KPK tidak bisa lagi melanjutkan
penyelidikan dan penyidikan pada perkara itu.
Di samping itu, ada pula rencana untuk
membentuk dewan pengawas KPK dan memperketat rumusan kolektif kolegial dalam setiap
pengambilan keputusan. Terakhir, revisi terhadap UU KPK menjadi keniscayaan yang
akan segera terjadi karena telah disahkan masuk dalam Prolegnas Prioritas tahun
2015. Oleh sebab itu, penting bagi publik dan media untuk bersinergi mendorong
Presiden Jokowi agar menolak usulan revisi UU KPK sekali pun telah dimasukkan
oleh DPR dalam Prolegnas Prioritas. Dengan demikian, terjadinya pelemahan
sistemik terhadap KPK bisa dihindarkan.
Dimuat dalam opini Harian Analisa edisi 13 Juli 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar