![]() |
(Dok. harianterbit.com) |
Dalam perpektif hukum dikenal adagium “Sumum ius summa inniora” atau hukum yang
tertinggi adalah ketidakadilan yang terbesar. Itu bisa dengan mudah terjadi
bila para penegak hukum hanya menerapkan hukum secara pragmatis, tanpa
mempertimbangkan asas-asas penegakan hukum lainnya, seperti keadilan sosial (social justice), keadilan moral (moral justice), dan keadilan hukum (legal justice) itu sendiri. Realitas
yang demikian sangat nyata tergambar dalam amar putusan praperadilan yang
dibacakan oleh Hakim Sarpin Rizaldi (SR) atas gugatan praperadilan yang
dilayangkan Komisaris Jenderal (Komjen) Pol Budi Gunawan (BG) terhadap Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Hakim SR sepertinya menutup mata atas realitas
kekhawatiran seluruh masyarakat di negara ini terhadap kelangsungan penegakan
hukum, utamanya pemberantasan korupsi. Sulit dibayangkan tentunya nasib
kelangsungan pemberantasan korupsi, terlebih lagi yang melibatkan jajaran
internal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sendiri bila institusi
penegak hukum tersebut justru dipimpin oleh figur yang berintegritas buruk.
Selain mengabaikan asas-asas penegakan
hukum yang wajar diterapkan, pada amar putusan Hakim SR terkandung pula
inkonsistensi dalam menggunakan hukum penalaran (law of reasoning) atas dalil hukum yang digunakan guna memperkuat
argumentasi putusan praperadilan tersebut. Di satu sisi, Hakim SR memperluas
kewenangannya dengan menambah norma hukum baru, yaitu menganggap bahwa
penetapan tersangka termasuk kewenangan ranah praperadilan. Namun di sisi lain,
Hakim SR malah mempersempit kewenangan KPK dengan menganggap bahwa jabatan
Kepala Biro Pembinaan Karier (Karobinkar) Polri bukan termasuk penegak hukum
atau penyelenggara negara. Padahal, dalam hukum penalaran yang wajar pandangan
hakim terhadap substansi perkara mestinya harus konsisten. Artinya, jika pada
dalil hukum tertentu hakim menggunakan hukum penalaran tafsir ekstensif (memperluas
norma), maka dalil hukum lainnya juga harus diperlakukan dengan sama. Sehingga,
amar putusan yang ditetapkan bisa memenuhi rasa keadilan dan menemukan
kepastian hukum itu sendiri.
Dalam konteks amar putusan Hakim SR atas
gugatan yang diajukan Komjen BG, menjadi wajar bila kemudian malah berlaku
sebaliknya. Yaitu, rasa keadilan hukum tidak terpenuhi dan kepastian hukum
terhadap Komjen BG justru menjadi tidak pasti. Itu karena, unsur bukti
permulaan yang dimiliki oleh KPK sesungguhnya masih bisa digunakan institusi
penegak hukum lainnya untuk meneruskan proses hukum kasus Komjen BG. Jika itu
tidak dilakukan maka hal tersebut tentu saja menyalahi rasa keadilan hukum dan
asas kepastian hukum yang secara eksplisit tertuang pada Pasal 28 D ayat (1)
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal tersebut pada intinya menegaskan bahwa setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan sama di hadapan hukum. Sehingga, dengan bukti permulaan yang
sudah sangat “kasat mata” dimiliki oleh KPK, sesungguhnya aparat penegak hukum
lain wajib untuk bergerak cepat mengambil alih proses hukum kasus Komjen BG
tersebut mengingat amar putusan praperadilan telah mengandaskan kewenangan KPK
pada kasus itu.
Kekacauan
Sistem Hukum
Pada titik ini, kekacauan sistem hukum imbas
dari sesat pikir (cherrypicking) amar
putusan praperadilan Hakim SR patut diwaspadai. Setidaknya ada dua kekacauan
sistem hukum yang patut diwaspadai agar tidak menciptakan kegaduhan hukum di
masa mendatang. Pertama, munculnya
logika sesat penghapusan status tersangka yang melekat pada seseorang tanpa
dilakukannya pembuktian terlebih dahulu terhadap bukti permulaan dan
argumentasi dalil hukum yang ada. Lazimnya, status tersangka yang melekat pada
diri seseorang akan gugur dengan sendirinya setelah terjadi proses pembuktian
terhadap bukti permulaan serta argumentasi dalil hukum yang mengikutinya.
Ambil contoh kasus pencurian ayam, semisal
ada bukti permulaan berupa sidik jari dan jejak kaki tersangka (terlapor) di
kandang ayam si pelapor. Maka, jika dalam proses pembuktian bukti permulaan itu
sesuai dengan argumentasi dan dalil hukum yang diajukan, status tersangka yang
melekat pada terlapor dengan sendirinya akan menjadi terpidana. Sebab, tindakan
melanggar hukum yang disangkakan terbukti dan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisdje). Begitu pula berlaku
sebaliknya, apabila dalam proses pembuktian terhadap bukti permulaan yang
diajukan dan argumentasi serta dalil hukum yang diajukan saling bertentangan,
maka status tersangka yang melekat pada terlapor (pencuri ayam) akan gugur dengan
sendirinya. Sebab, perbuatan melanggar hukum yang disangkakan pada terlapor
oleh pelapor tidak terbukti secara sah dan meyakinkan berdasarkan atas proses
pembuktian yang telah dilakukan.
Kedua,
potensi digunakannya amar putusan Hakim SR sebagai yurisprudensi bagi tersangka
kasus hukum lainnya. Kekacauan sistem hukum yang kedua ini, jauh lebih
berbahaya efeknya bila dibandingkan dengan kekacauan sistem hukum yang penulis
sebutkan di awal tadi. Dalam pandangan sempit, dapat dipastikan setiap
tersangka korupsi sebagaimana kasus hukum Komjen BG, akan menggugat status
tersangka yang melekat pada dirinya melalui praperadilan. Sementara dalam
pandangan lebih luas, setiap tersangka kasus hukum apa pun, tak terkecuali yang
tergolong kejahatan luar biasa (extra
ordinary crime) juga dapat dipastikan akan melakukan upaya serupa untuk
menggugurkan status tersangka yang melekat pada dirinya. Akhirnya, menjadi
penting bagi KPK dan Komisi Yudisial (KY) untuk bersinergi mengoreksi amar
putusan Hakim SR tersebut. KPK mutlak segera mengajukan peninjauan kembali (PK)
terhadap amar putusan Hakim SR, sedangkan KY mesti bergerak cepat memeriksa
Hakim SR itu sendiri. Sehingga, ke depan kegaduhan dan kekacauan sistem hukum
yang jauh lebih kronis bisa dihindari.
Dimuat dalam opini Harian Waspada edisi (Rabu) 4 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar