Ancaman Kriminalisasi Pembuat Kebijakan


(Dok. legacyinwords.wodprss.com)

Instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada seluruh penegak hukum untuk tidak mudah mengkriminalisasikan para pembuat kebijakan, baik pada tataran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah patut diapresiasi. Dalam jangka pendek, paling tidak hal tersebut akan dapat berkontribusi positif pada perbaikan perekonomian nasional. Terlebih lagi, pada saat ini perekonomian nasional tengah mendapatkan tekanan bertubi-tubi, mulai dari terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar amerika serikat (U$ D), rendahnya daya beli masyarakat, hingga melambatnya penyaluran kredit perbankan. Maka, dengan adanya instruksi presiden tersebut diharapkan para pejabat tidak lagi khawatir untuk bertindak cepat dalam membuat atau pun mengeksekusi sebuah kebijakan. Dengan demikian, penyerapan anggaran akan dapat berjalan lebih optimal.
Dalam konteks saat ini, optimalisasi penyerapan anggaran menjadi penting dilakukan tidak semata-mata hanya agar ketentuan konstitusi (baca: APBN/APBD) terpenuhi. Akan tetapi, penting pula dilakukan untuk memitigasi pelemahan di sektor ekonomi yang diprediksi masih akan terus terjadi. Dengan tingginya tingkat penyerapan anggaran, maka paling tidak pelemahan di sektor ekonomi yang diakibatkan oleh faktor-faktor internal (dalam negeri) dapat ditekan seminimal mungkin. Di sisi lain, perlu dipahami bahwa instruksi presiden untuk tidak mengkriminalisasi pembuat kebijakan bukan dimaksudkan untuk menghambat pemberantasan korupsi. Itulah sebabnya, bila dalam kebijakan yang dibuat tetap ditemukan motif buruk (mens rea), pembayaran kembali (kick back), atau suap (bribery), maka aparat penegak hukum tidak perlu ragu untuk mempidanakan pejabat bersangkutan.
Kerentanan Pembuat Kebijakan
Sejatinya kerentanan para pembuat kebijakan untuk dapat dengan mudah “dikriminalisasi” bukan tanpa sebab. Salah satunya karena banyak peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan kebijakan publik namun justru disertai adanya sanksi pidana. Walhasil, setiap kebijakan yang dianggap merugikan negara sekali pun tidak memberikan keuntungan pribadi, pada akhirnya si pembuat kebijakan tetap dapat dikenai sanksi pidana. Terlebih lagi bila ada campur tangan kekuatan politik di belakanganya, maka sekecil apa pun kerugian negara yang ditimbulkan akibat adanya kebijakan tersebut, besar kemungkinan si pembuat kebijakan akan terkena sanksi pidana.
Merujuk data pemerintah, hingga saat ini tercatat cukup banyak pembuat kebijakan yang dikenai sanksi pidana karena terkait dengan kerugian negara akibat kebijakan yang dibuatnya. Diantaranya tercatat ada 8 menteri, 19 gubernur, 2 gubernur Bank Indonesia (BI), 5 deputi gubernur BI, dan tak kurang dari 200 bupati/ walikota. Dalam konteks penyerapan anggaran, data pemerintah tersebut tentu menimbulkan kekhawatiran bagi pejabat lain untuk dengan cepat membuat maupun mengeksekusi sebuah kebijakan. Tak heran bila kemudian hal tersebut berdampak pada rendahnya penyerapan anggaran, baik pada tataran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Mengonfirmasi hal tersebut, data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Kuartal I/ 2015 mencatat bahwa realisasi belanja barang pemerintah pusat hanya dikisaran 25 persen dari pagu APBNP 2015. Sementara, realisasi belanja modal juga tak kalah memprihatinkan, yakni hanya dikisaran 11 persen. Di sisi lain, tercatat pula dana pemerintah daerah yang masih mengendap di bank-bank pembangunan daerah mencapai lebih dari Rp 273,5 triliun. Setali tiga uang, dana pembangunan infrastruktur yang totalnya mencapai Rp290,3 triliun dan terbesar sepanjang sejarah Indonesia, juga belum terserap seperti diharapkan. Itulah sebabnya, penting bagi aparat penegak hukum untuk tidak hanya memahami, akan tetapi juga benar-benar menjalankan instruksi Presiden Jokowi tersebut. Dengan demikian, rendahnya penyerapan anggaran pada Kuartal I/ 2015 ini tidak lagi terjadi pada Kuartal II/ 2015.
Tidak Mengabaikan UU Adpem
Selain benar-benar menjalankan instruksi Presiden Jokowi untuk tidak mudah mengkriminalisasikan para pembuat kebijakan, aparat penegak hukum dan stake holder terkait hendaknya juga tidak mengabaikan keberadaan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Adpem). Pasalnya, keberadaan UU yang disahkan diakhir masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut pada dasarnya memang ditujukan untuk mengantisipasi terjadinya kriminalisasi pada kebijakan publik. Misalnya, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2) huruf i UU tersebut, yakni pejabat pemerintah memiliki hak memperoleh perlindungan hukum dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan. Itu berarti jelas bahwa pembuat kebijakan tidak dapat serta merta diseret ke ranah hukum, terlebih hukum pidana meskipun imbas dari kebijakan yang dibuatnya menimbulkan kerugian bagi negara.
Setali tiga uang, Pasal 80 ayat (4) UU Adpem pun menegaskan bahwa pejabat yang membuat keputusan menimbulkan kerugian pada keuangan negara, perekonomian nasional, dan/atau merusak lingkungan hidup dikenai sanksi administratif berat (pemecatan). Merujuk pada ketentuan pasal tersebut jelas bahwa sanksi bagi pejabat pemerintah yang membuat kebijakan tidak tepat berorientasi pada sanksi administratif, bukan sanksi pidana seperti yang jamak diterapkan pada saat ini. Karenanya, langkah Presiden Jokowi yang menginstruksikan aparat penegak hukum untuk tidak mengkriminalisasi pembuat kebijakan patut pula dipandang sebagai upaya menegakkan ketentuan konstitusi. Akhirnya, penting bagi pemerintahan Presiden Jokowi untuk benar-benar mewujudkan adanya perlindungan hukum bagi para pembuat kebijakan. Sehingga, selain tingkat penyerapan anggaran dapat menjadi lebih optimal, penguatan perekonomian nasional secara menyeluruh pun dapat terwujud. Semoga. 

Dimuat dalam opini Banjarmasin Post edisi 14 September 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar