Dalam periode Pemerintahan Joko Widodo-
Jusuf Kalla (Jokowi- JK) saat ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampaknya
benar-benar sedang mengalami ujian berat. Ujian Pertama, yaitu adanya pembiaran,
baik oleh Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap terjadinya
pelbagai upaya pelemahan KPK. Bukan rahasia umum lagi jika pada saat komisioner
KPK mengalami serangan “geger celeng”,
Pemerintah maupun DPR justru terkesan diam saja. Penulis katakan serangan “geger celeng” karena serangan yang
dialamatkan kepada para komisioner KPK sangat masif dan begitu kasat mata jika
hanya diada-adakan saja kasus hukumnya. Ambil contoh kasus Abraham Samad (AS)
yang dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) atas tuduhan pemalsuan
dokumen.
Selain kasus tersebut ditengarai terjadi
sudah lama (tahun 2007), perbuatan yang disangkakan terhadap AS itu sama sekali
tidak memberikan dampak kerugian terhadap siapa pun. Dalam perspektif hukum,
hal itu disebut mala prohibita, yaitu perbuatan melanggar hukum karena memang telah
diatur demikian oleh hukum, tetapi belum tentu ada yang dirugikan (Mahfud MD,
2015). Contoh pelanggaran hukum tergolong mala probihita lain misalnya,
menerobos lampu merah ketika tengah malam atau mengendarai kendaraan tetapi
lupa tidak membawa SIM (surat izin mengemudi). Secara hukum hal seperti itu
memang salah karena di dalam konstitusi telah diatur demikian. Akan tetapi, di
sisi lain tindakan seperti itu sama sekali tidak memberikan dampak kerugian
bagi orang lain.
Pada titik inilah, kasus hukum yang
dialamatkan pada AS secara kasat mata memang sengaja diada-adakan dengan tujuan
akhir agar AS dinonaktifkan dari jabatannya oleh Presiden ketika sudah
menyandang status tersangka (Pasal 32 UU Nomor 30/ 2002). Sebab, pelanggaran
hukum yang tergolong mala prohibita pada praktiknya lazim tidak pernah
dibesar-besarkan, utamanya sebagai kasus kriminal. Jika tidak demikian, maka
dapat dipastikan banyak anggota DPR kita yang biasanya mempunyai KTP ganda
bahkan lebih akan turut menjadi tersangka pula karena juga termasuk dalam
pemalsuan dokumen. Demikian juga para hakim yang kerap berpindah-pindah tempat
dinasnya, akan menjadi tersangka pula karena hakim yang demikian lazim
mempunyai banyak KTP.
Belum
Perlu Direvisi
Ujian kedua, yaitu rencana DPR untuk mengutak-atik
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU KPK). Mahfum diketahui, rencana mengamandemen UU KPK telah ikut
dimasukkan ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR periode
2014-2019. Total ada 159 RUU yang masuk dalam daftar panjang Prolegnas, dan 37
diantaranya akan menjadi prioritas untuk diselesaikan pada tahun 2015 ini. Maka,
ujian kedua KPK ini bisa jadi juga akan menjadi “ancaman” yang tak kalah
berbahanya terhadap eksistensi KPK selama ini. Penulis katakan termasuk
“ancaman” karena KPK sendiri sesungguhnya merasa bahwa UU KPK saat ini masih
relevan dan memadai untuk diterapkan. Sehingga, sebenarnya belum perlu ikut
dimasukkan dalam Prolegnas untuk diamandemen.
Pernyataan itu ditegaskan oleh salah
satu komisioner KPK, Zulkarnaen. Lebih lanjut, bahkan Zulkarnaen mengungkapkan rencana
amandemen UU KPK merupakan bentuk pemborosan terhadap anggaran negara.
Pasalnya, selain masih relevan dan memadai untuk diterapkan, dari sisi urgensi amandemen
UU KPK tidak lebih penting dilakukan dari pada mengamandemen undang-undang
lainnya, semisal UU Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Dua hal penting yang
mendasari itu yakni perlunya segera mengakomodir pasal perampasan aset dalam UU
Tipikor dan perlunya penyesuaian UU Tipikor terhadap ratifikasi United Nations Convention Againts Corruption
(UNCAC) 2003. Maka dalam konteks masuknya rencana amandemen UU KPK dalam
Prolegnas DPR periode 2014-2019 saat ini, adanya aroma pelemahan KPK melalui jalur
amandemen UU KPK sulit bisa dipungkiri.
Peran
Publik dan Media
Adanya aroma “pembonsaian” terhadap kewenangan-kewenangan
KPK melalui rencana amandemen UU KPK yang sudah mulai tercium patut diwaspadai oleh
publik. Pun demikian dengan media (baca: pers), perlu mengawal substansi materi
dalam UU KPK yang akan diamandemen, mulai dengan memberitakan substansi draf
RUU yang diajukan hingga menyerap aspirasi publik terkait pasal-pasal yang akan
diamandemen. Diantara pasal-pasal yang perlu menjadi perhatian baik bagi publik
atau pun media yaitu, Pasal 6 (Kewenangan penuntutan), Pasal 7 (Kewenangan
penyadapan), Pasal 12 (Pembekuan rekening), Pasal 40 (Perkara jalan terus), dan
Pasal 47 (Penyitaan tanpa izin). Pasal-pasal itu selama ini menjadi “tulang
punggung” bagi KPK untuk membabat habis para koruptor. Itulah sebabnya, utak-atik
terhadap pasal-pasal tersebut yang besar kemungkinan akan dilakukan oleh DPR
dalam revisi UU KPK mutlak harus benar-benar diawasi.
Berkaca dari pengalaman selama ini, jika
peran publik dan media bisa bersatu dalam mengawal nilai-nilai kebajikan, maka
nalar elit pemerintah maupun elit politik yang sesat kerap tidak bisa berkutik.
Fenomena kemenangan pasangan Jokowi- JK dalam kontestasi eletoral pemilu
presiden (Pilpres) 2014 lalu bisa menjadi satu dari sekian banyak contoh
bersatunya peran publik (baca: relawan) dan media dalam mengawal terwujudnya ritual
elektoral berkualitas. Faktanya, meskipun kala itu pelbagai bentuk kampanye
hitam (black campaign) menyerang pasangan
Jokowi- JK secara masif, akan tetapi tak sedikit pun bisa menurunkan tingkat
elektabilitas dan popularitas pasangan tersebut. Sehingga akhirnya, pasangan
Jokowi- JK terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia masa
jabatan 2014-2019. Pada titik inilah, peran
publik dan media yang demikian juga sangat diperlukan dalam mengawal rencana
amandemen UU KPK. Dengan begitu, nalar sesat pembonsaian terhadap
kewenangan-kewenangan KPK melalui proses amandemen UU KPK mendatang bisa
dihindarkan. Semoga.
Dimuat dalam opini Sinar Harapan edisi 3 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar