Kesesatan Demokrasi Partai Politik





Beberapa hari terakhir, media massa ramai memberitakan konflik yang terjadi di internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Konflik bermula dari kehadiran Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali (SDA) dalam kampanye Partai Gerindra di Pemilu Legislatif (Pileg) lalu. Bagi masyarakat awam, kehadiran SDA dalam kampanye Partai Gerindra tersebut jelas mengisyaratkan kemana langkah PPP nantinya setelah pileg. Namun bagi sebagian elite PPP, kehadiran SDA dalam acara tersebut dianggap sebagai bentuk “perselingkuhan” politik. Dari sisi etika partai, mungkin saja hal itu dapat dibenarkan. Karena kala itu masih dalam masa kampanye pileg, berbeda kondisinya jika PPP telah resmi berkoalisi dengan Partai Gerindra, dan SDA turut menghadiri kampanye yang digelar oleh partai politik (parpol) tersebut. 

Problema Kualitas Koalisi Parpol



Meski hasil pemilu legislatif belum resmi ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), namun partai-partai politik yang lolos parliamentary threshold (berdasarkan quick count) sudah mulai sibuk bermanuver untuk menjajaki koalisi yang dianggap ideal dan menguntungkan. Ada 10 partai politik (parpol) dari 12 parpol peserta pemilu 2014 yang mampu memenuhi ambang batas minimum 3,5% sebagai syarat lolos parlemiantery threshold, yakni PDI-P, Golkar, Gerindra, Demokrat, PKB, PPP, PKS, Hanura, Nasdem, dan PAN. Namun demikian, koalisi tetap menjadi harga mati bagi seluruh parpol yang lolos parlemiantary threshold, karena jumlah suara yang diperoleh tidak memenuhi ambang batas minimal seperti yang telah diisyaratkan dalam undang-undang. Pada pasal 9 Undang-Undang (UU) Nomor 42 tahun 2008 tentang Pilpres secara tegas dijelaskan bahwa pasangan calon (presiden dan wakil presiden) diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.

Nalar Politik Mempresidenkan Jokowi

(Doc. Boyolali Pos)


Magis Jokowi benar-benar sedang melanda negeri ini. Imbasnya, pencalonan figur orang yang sering “blusukan” ini  menjadi calon presiden (capres) oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) tak bisa terelakkan lagi. Melalui secarik kertas bertuliskan tangan dan bertanda tangan Megawati, Jokowi resmi didaulat sebagai capres dari partai berlambang banteng ini. Beberapa saat setelah pengumuman resmi pencapresan Jokowi, sentimen positif langsung mempengaruhi pasar perekonomian nasional.  Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melonjak 3,22% ke 4.878,64 sementara itu net buying asing melonjak ke Rp 7,5 triliun, sedangkan volume perdagangan menembus Rp 15,9 triliun. Bahkan Jokowi Effect ini juga mampu membuat nilai tukar rupiah menguat atas mata uang dolar AS, yakni dari level Rp 11.400,00 per dolar AS ke level Rp 11.255,00 per dolar AS.

Berharap Ujian Nasional (UN) yang Lebih Baik

(Doc. annasaja.blogspot.com)

Penyelenggaraan pendidikan tahun ajaran 2013/ 2014 akan segera memasuki tahapan akhir. Sebanyak 3 juta siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat, pada pekan ini akan mulai mengikuti Ujian Nasional (UN) sebagai salah satu syarat untuk menempuh kelulusan. UN merupakan bagian dari penyelenggaraan pendidikan yang didasarkan pada pasal 35 ayat (1) UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Lebih jauh lagi, penyelenggaraan UN ini dipertegas melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 32 tahun 2013 pasal 67, yakni pemerintah menugaskan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) untuk menyelenggarakan UN bagi pendidikan dasar dan menengah kecuali SD/ MI/ SDLB. Di negara ini, UN memang masih dianggap sebagai cara terbaik untuk mengukur kualitas siswa. Maka tak heran, jika kemudian UN masih menjadi rutinitas yang wajib dilakukan disetiap akhir tahun ajaran. Parahnya, kondisi ini seringkali malah dimanfaatkan oleh oknum di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), pejabat dinas, kepala sekolah, maupun guru untuk mengeruk keuntungan pribadi. Mark up anggaran, jual beli jawaban, dan penawaran bocoran soal seringkali mewarnai setiap penyelenggaraan UN.

Mewaspadai Aliran (Gelap) Dana Kampanye

(Doc. Haluan edisi 17 Maret 2014)



Di negara ini, tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik terus melemah. Hal ini ditandai dengan pemilih golput yang semakin banyak jumlahnya dari setiap pemilu ke pemilu lainnya. Meski begitu, parpol sekarang agaknya sudah tidak punya rasa malu lagi pada publik. Terbukti tidak ada usaha signifikan yang dilakukan oleh parpol untuk memperbaiki situasi ini. Bahkan, laporan dana kampanye yang seyogianya bisa menjadi jalan bagi parpol untuk mengembalikan kepercayaan publik, faktanya hanya dijadikan formalitas belaka. Pekan lalu, seluruh parpol telah mengumpulkan laporan dana kampanye sesuai amanat dari UU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPRD, DPR, dan DPD. Dalam pasal 134 UU ini menyebutkan bahwa parpol peserta pemilu sesuai tingkatannya wajib memberikan laporan awal dana kampanye pemilu kepada KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota paling lambat 14 hari pertama dari jadwal pelaksanaan kampanye.

Satinah dan Perlindungan TKI Lainnya

( Doc. Batam Pos edisi 7 April 2014 )

Mencuatnya kasus Satinah bertepatan dengan tahun pemilu, kembali membuka mata publik mengenai pentingnya perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Kondisi ini patut menjadi salah satu pertimbangan bagi masyarakat dalam menentukan calon pemimpin masa depan negera ini, baik untuk calon pemimpin legislatif maupun untuk calon presiden. Artinya, masyakat wajib memberikan suaranya bagi calon pemimpin yang tegas dan responsif dalam menghadapi suatu permasalahan. Menurut data dari Migran Care, yakni lembaga masyarakat yang intens memberikan advokasi bagi TKI di luar negeri, penangangan kasus Satinah ini tergolong lamban. Pasalnya, kasus pembunuhan yang menjerat Satinah terjadi pada Juni 2007, dan baru diketahui oleh pemerintah pada tahun 2009. Isu lain dari kasus ini yang memprihatinkan ialah, ketiadaan perwakilan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Arab Saudi yang mendampingi Satinah selama masa persidangan. Pihak KBRI mulai membantu penangan kasus ini pada 2012, yakni setelah Satinah sudah dijatuhi vonis mati. Satinah dinyatakan bersalah oleh pengadilan Arab Saudi karena telah membunuh majikannya, yakni Nura Al Gharib. Seperti kita ketahui, di Arab Saudi berlaku hukum Qisas yakni terdakwa yang telah dijerat hukuman mati bisa saja diampuni asalkan keluarga korban memaafkan. Meski begitu, permintaan maaf ini biasanya disertai dengan diyat (denda). Pada kasus Satinah ini, keluarga korban bersedia untuk memaafkan dan membebaskan Satinah dari hukuman pancung asalkan bersedia membayar diyat sebesar 7,5 juta riyal atau setara dengan Rp 21 miliar.

Mewaspadai Nalar Politik Transaksional

( radaronline.co.id )
Dua pekan kampanye pemilu legislatif berlangsung, praktik politik uang (politik transaksional) mulai kentara terlihat. Argumen yang dipakai oleh calon legislatif (caleg) dalam melakukan praktik ini seringkali bermacam-macam, diantaranya sebagai pengganti uang transport, uang makan, bahkan pernah suatu kali ada caleg yang membagikan uang setelah sosialisasi pemilu dengan argumen bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Praktik politik uang yang sedemikian vulgar seperti ini, seharusnya mampu dengan mudah ditindak dan diberikan sanksi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sehingga, potensi praktik politik uang yang akan dilakukan oleh caleg-caleg lain bisa diminimalisasikan. Faktanya, mendekati pemilu legislatif  9 April mendatang, praktik politik “wani piro” ini malah semakin mewabah. Hal ini sejalan dengan hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Nasional (LSN) yang dirilis pada tanggal 25 Maret 2014 lalu.

Mewaspadai Praktik Black Campaign

(Doc. Batam Pos edisi 1 April 2014)


Hampir dua pekan kampanye pemilu legislatif (Pileg) telah bergulir, satu per satu kampanye hitam (black campaign) mulai menyeruak ke permukaan. Tak tangung-tanggung, salah satu kandidat calon presiden 2014, yakni Aburizal Bakrie (ARB) langsung terkena imbas dari black campaign ini. Beberapa kalangan di internal partai pengusungnya, yakni Partai Golkar berharap agar ARB mengevaluasi pencapresannya di pemilu 2014. Beberapa kalangan di internal partai tersebut mempermasalahkan tentang video plesiran ARB dengan dua artis kakak beradik Marcela dan Olivia Zalianty yang sedang berlibur ke Maladewa. Terlepas tujuan sesungguhnya dari plesiran ARB, Marcela dan Olivia Zalianty ke Maladewa, video yang beredar ditengah masa kampanye ini jelas merupakan salah satu bentuk kampanye hitam untuk menjatuhkan ARB sebagai capres dan merongrong suara Golkar di pemilu legislatif.