Direktur Eksekutif Research Center for Democratic Education. Alumnus Universitas Negeri Yogyakarta. Bergiat bersama para penulis Jogja dalam Forum Kolumnis Muda Jogja (FKMJ).
Kesesatan Demokrasi Partai Politik
Problema Kualitas Koalisi Parpol
Meski
hasil pemilu legislatif belum resmi ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU), namun partai-partai politik yang lolos parliamentary threshold (berdasarkan quick count) sudah mulai sibuk bermanuver untuk menjajaki koalisi
yang dianggap ideal dan menguntungkan. Ada 10 partai politik (parpol) dari 12
parpol peserta pemilu 2014 yang mampu memenuhi ambang batas minimum 3,5%
sebagai syarat lolos parlemiantery
threshold, yakni PDI-P, Golkar, Gerindra, Demokrat, PKB, PPP, PKS, Hanura, Nasdem,
dan PAN. Namun demikian, koalisi tetap menjadi harga mati bagi seluruh parpol
yang lolos parlemiantary threshold,
karena jumlah suara yang diperoleh tidak memenuhi ambang batas minimal seperti
yang telah diisyaratkan dalam undang-undang. Pada pasal 9 Undang-Undang (UU)
Nomor 42 tahun 2008 tentang Pilpres secara tegas dijelaskan bahwa pasangan
calon (presiden dan wakil presiden) diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol
peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20%
dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional dalam pemilu
anggota DPR.
Nalar Politik Mempresidenkan Jokowi
(Doc. Boyolali Pos) |
Magis
Jokowi benar-benar sedang melanda negeri ini. Imbasnya, pencalonan figur orang
yang sering “blusukan” ini menjadi calon presiden (capres) oleh Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) tak bisa terelakkan lagi. Melalui
secarik kertas bertuliskan tangan dan bertanda tangan Megawati, Jokowi resmi
didaulat sebagai capres dari partai berlambang banteng ini. Beberapa saat
setelah pengumuman resmi pencapresan Jokowi, sentimen positif langsung
mempengaruhi pasar perekonomian nasional.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melonjak 3,22% ke 4.878,64 sementara
itu net buying asing melonjak ke Rp
7,5 triliun, sedangkan volume perdagangan menembus Rp 15,9 triliun. Bahkan Jokowi Effect ini juga mampu membuat
nilai tukar rupiah menguat atas mata uang dolar AS, yakni dari level Rp
11.400,00 per dolar AS ke level Rp 11.255,00 per dolar AS.
Berharap Ujian Nasional (UN) yang Lebih Baik
(Doc. annasaja.blogspot.com) |
Penyelenggaraan
pendidikan tahun ajaran 2013/ 2014 akan segera memasuki tahapan akhir. Sebanyak
3 juta siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat, pada pekan ini akan
mulai mengikuti Ujian Nasional (UN) sebagai salah satu syarat untuk menempuh
kelulusan. UN merupakan bagian dari penyelenggaraan pendidikan yang didasarkan
pada pasal 35 ayat (1) UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas). Lebih jauh lagi, penyelenggaraan UN ini dipertegas
melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 32 tahun 2013 pasal 67, yakni
pemerintah menugaskan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) untuk
menyelenggarakan UN bagi pendidikan dasar dan menengah kecuali SD/ MI/ SDLB. Di
negara ini, UN memang masih dianggap sebagai cara terbaik untuk mengukur
kualitas siswa. Maka tak heran, jika kemudian UN masih menjadi rutinitas yang
wajib dilakukan disetiap akhir tahun ajaran. Parahnya, kondisi ini seringkali
malah dimanfaatkan oleh oknum di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud), pejabat dinas, kepala sekolah, maupun guru untuk mengeruk
keuntungan pribadi. Mark up anggaran,
jual beli jawaban, dan penawaran bocoran soal seringkali mewarnai setiap
penyelenggaraan UN.
Mewaspadai Aliran (Gelap) Dana Kampanye
(Doc. Haluan edisi 17 Maret 2014) |
Di negara
ini, tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik terus melemah. Hal ini
ditandai dengan pemilih golput yang semakin banyak jumlahnya dari setiap pemilu
ke pemilu lainnya. Meski begitu, parpol sekarang agaknya sudah tidak punya rasa
malu lagi pada publik. Terbukti tidak ada usaha signifikan yang dilakukan oleh
parpol untuk memperbaiki situasi ini. Bahkan, laporan dana kampanye yang
seyogianya bisa menjadi jalan bagi parpol untuk mengembalikan kepercayaan
publik, faktanya hanya dijadikan formalitas belaka. Pekan lalu, seluruh parpol
telah mengumpulkan laporan dana kampanye sesuai amanat dari UU Nomor 8 tahun
2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPRD, DPR, dan DPD. Dalam pasal 134 UU ini
menyebutkan bahwa parpol peserta pemilu sesuai tingkatannya wajib memberikan
laporan awal dana kampanye pemilu kepada KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/
Kota paling lambat 14 hari pertama dari jadwal pelaksanaan kampanye.
Satinah dan Perlindungan TKI Lainnya
Mencuatnya
kasus Satinah bertepatan dengan tahun pemilu, kembali membuka mata publik
mengenai pentingnya perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.
Kondisi ini patut menjadi salah satu pertimbangan bagi masyarakat dalam
menentukan calon pemimpin masa depan negera ini, baik untuk calon pemimpin
legislatif maupun untuk calon presiden. Artinya, masyakat wajib memberikan
suaranya bagi calon pemimpin yang tegas dan responsif dalam menghadapi suatu
permasalahan. Menurut data dari Migran Care, yakni lembaga masyarakat yang
intens memberikan advokasi bagi TKI di luar negeri, penangangan kasus Satinah
ini tergolong lamban. Pasalnya, kasus pembunuhan yang menjerat Satinah terjadi
pada Juni 2007, dan baru diketahui oleh pemerintah pada tahun 2009. Isu lain
dari kasus ini yang memprihatinkan ialah, ketiadaan perwakilan dari Kedutaan
Besar Republik Indonesia (KBRI) di Arab Saudi yang mendampingi Satinah selama
masa persidangan. Pihak KBRI mulai membantu penangan kasus ini pada 2012, yakni
setelah Satinah sudah dijatuhi vonis mati. Satinah dinyatakan bersalah oleh
pengadilan Arab Saudi karena telah membunuh majikannya, yakni Nura Al Gharib.
Seperti kita ketahui, di Arab Saudi berlaku hukum Qisas yakni terdakwa yang
telah dijerat hukuman mati bisa saja diampuni asalkan keluarga korban
memaafkan. Meski begitu, permintaan maaf ini biasanya disertai dengan diyat
(denda). Pada kasus Satinah ini, keluarga korban bersedia untuk memaafkan dan
membebaskan Satinah dari hukuman pancung asalkan bersedia membayar diyat
sebesar 7,5 juta riyal atau setara dengan Rp 21 miliar.
Mewaspadai Nalar Politik Transaksional
( radaronline.co.id ) |
Dua
pekan kampanye pemilu legislatif berlangsung, praktik politik uang (politik
transaksional) mulai kentara terlihat. Argumen yang dipakai oleh calon
legislatif (caleg) dalam melakukan praktik ini seringkali bermacam-macam,
diantaranya sebagai pengganti uang transport, uang makan, bahkan pernah suatu
kali ada caleg yang membagikan uang setelah sosialisasi pemilu dengan argumen
bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Praktik politik uang yang sedemikian
vulgar seperti ini, seharusnya mampu dengan mudah ditindak dan diberikan sanksi
oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sehingga, potensi praktik politik uang
yang akan dilakukan oleh caleg-caleg lain bisa diminimalisasikan. Faktanya,
mendekati pemilu legislatif 9 April
mendatang, praktik politik “wani piro”
ini malah semakin mewabah. Hal ini sejalan dengan hasil survei yang dilakukan
Lembaga Survei Nasional (LSN) yang dirilis pada tanggal 25 Maret 2014 lalu.
Mewaspadai Praktik Black Campaign
(Doc. Batam Pos edisi 1 April 2014) |
Hampir dua pekan kampanye pemilu
legislatif (Pileg) telah bergulir, satu per satu kampanye hitam (black campaign) mulai menyeruak ke
permukaan. Tak tangung-tanggung, salah satu kandidat calon presiden 2014, yakni
Aburizal Bakrie (ARB) langsung terkena imbas dari black campaign ini. Beberapa kalangan di internal partai
pengusungnya, yakni Partai Golkar berharap agar ARB mengevaluasi pencapresannya
di pemilu 2014. Beberapa kalangan di internal partai tersebut mempermasalahkan
tentang video plesiran ARB dengan dua artis kakak beradik Marcela dan Olivia
Zalianty yang sedang berlibur ke Maladewa. Terlepas tujuan sesungguhnya dari
plesiran ARB, Marcela dan Olivia Zalianty ke Maladewa, video yang beredar
ditengah masa kampanye ini jelas merupakan salah satu bentuk kampanye hitam
untuk menjatuhkan ARB sebagai capres dan merongrong suara Golkar di pemilu
legislatif.
Langganan:
Postingan (Atom)