![]() |
(Dok. nasional-kompas.com) |
Vis
a vis “terselubung” yang terjadi diantara dua institusi
penting penegak(an) hukum negara ini,
yaitu antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Polri) melahirkan sebuah resistensi di masyarakat yang
justru berpotensi meluluhlantahkan marwah penegak(an) hukum itu sendiri. Resistensi
tersebut secara nyata terlihat dari realitas terbelahnya dukungan masyarakat
terhadap dua institusi penegak(an) hukum itu. Sebagian masyarakat secara
terang-terangan mendukung KPK dengan argumentasi pelemahan KPK akan berdampak
pada terhambatnya pemberantasan korupsi.
Itulah sebabnya kemudian muncul wacana dari
aktivis dan relawan antikorupsi untuk mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi)
agar mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
Imunitas bagi KPK. Sehingga, upaya “kriminalisasi” terhadap KPK yang terjadi
secara masif, terstruktur, dan sistematis seperti belakangan ini dapat
dihindarkan. Sementara sebagian masyarakat yang lain, meskipun dari segi jumlah
secara kasat mata lebih sedikit dari masyarakat pendukung KPK, tetapi arus
dukungan yang diberikan tetap kuat dan konsisten. Konsistensi itu terlihat dari
hadirnya pendukung Polri dalam beberapa momen penting tertentu, salah satunya
pada saat sidang perdana praperadilan Budi Gunawan digelar (2/2/2015).
Argumentasi yang diberikan oleh
masyarakat pendukung Polri, jika ditelaah secara mendalam sebenarnya juga
sangat relevan bagi KPK. Yaitu, tidak boleh ada “mafia hukum” yang bersembunyi
di balik KPK. Ini penting, mengingat KPK dianggap sebagai institusi yang
bersih, maka komisioner maupun penyidiknya harus bersih pula, utamanya dari
kasus-kasus pelanggaran hukum. Tak heran mereka pun menentang keras atas adanya
wacana untuk mengeluarkan Perppu Imunitas bagi KPK. Maka, bila ada anggota KPK
termasuk jajaran pimpinan KPK yang terindikasi melakukan tindakan melanggar
hukum harus segera diproses secara hukum. Tidak boleh ada tebang pilih dan
pembedaan perlakuan di depan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 28D ayat (1)
yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”
Meluruskan
Opini Publik
Alih-alih menunjukkan ketegasannya dalam
menyikapi vis a vis antara KPK dan
Polri, Presiden Jokowi yang dikenal dengan “antilogika-nya” ketika
menyelesaikan sebuah persoalan justru bersikap normatif dan pragmatis. Hal itu
tergambar jelas dari isi pidato Presiden Jokowi di Istana Negara (25/1/2015), yang pada intinya menyatakan
bahwa tidak boleh ada kriminalisasi dan intervensi atas proses hukum yang
tengah dilakukan KPK dan Polri. Perspektif senada juga diungkapkan Dosen
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) yang sekaligus merupakan Direktur
Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Zainal Arifin Mochtar yang menyebut
substansi pidato Presiden Jokowi terkait polemik KPK vs Polri normatif,
layaknya hanya seperti mengajak “Ayo kita berbuat baik”.
Namun terlepas dari itu semua,
sesungguhnya yang terpenting bagi Presiden Jokowi saat ini adalah mampu
meluruskan opini yang terbentuk di mata publik. Yaitu, dukungan masyarakat tidak
semestinya hanya diarahkan pada KPK atau Polri sebagai institusi saja. Akan
tetapi, substansi vital yang lebih penting dari hal itu yakni dukungan
masyarakat secara mutlak seharusnya diarahkan pada upaya menyelamatkan marwah
penegak(kan) hukum itu sendiri. Dalam konteks konfrontasi “terselubung” antara
KPK dengan Polri, upaya untuk menyelamatkan marwah penegak(kan) hukum sekaligus
upaya menyelamatkan KPK dan Polri secara institusi dapat dilakukan oleh
Presiden Jokowi dengan mendorong dihidupkannya kembali Forum Previlegiatum. Yaitu, peradilan khusus
bagi pejabat negara yang terindikasi melakukan pelanggaran hukum.
Legalitas
Hukum
Mengingat peradilan ini bersifat khusus,
maka batasan-batasan terkait kasus hukum yang bisa dibawa ke forum ini juga harus dijabarkan secara jelas dan
tegas. Semisal, tindakan pelanggaran hukum pejabat negara yang menimbulkan
kerugian keuangan negara di atas 1 milyar rupiah. Sehingga, tidak sembarangan
kasus hukum, terlebih lagi hanya kasus hukum “ecek-ecek” yang kemudian di bawa
ke peradilan khusus tersebut. Secara
lebih spesifik, anggota Forum Previlegiatum
nantinya bisa berasal dari Mahkamah Agung (MA). Sesuai konstitusi kewenangan
ini dimungkinkan sebagaimana bunyi Pasal 24A ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD)
1945, “MA berwenang mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang”. Ini berarti, Presiden bisa memberikan tambahan kewenangan
kepada MA, utamanya terkait pembentukan Forum Previlegiatum dengan terlebih dahulu menggunakan hak prerogratifnya
dalam hal mengeluarkan Perppu.
Merujuk Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3)
UUD 1945, Perppu kemudian bisa menjadi undang-undang jika mendapatkan
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di persidangan berikutnya. Pada
titik inilah, Presiden Jokowi mesti menjalin konsolidasi dan komunikasi politik
intensif dengan elit-elit politik DPR. Sehingga, dapat tercipta dukungan kuat terhadap
pengesahan Perppu penambahan kewenangan MA terkait pembentukkan Forum Previlegiatum menjadi undang-undang.
Mengakhiri uraian ini, seyogianya Presiden Jokowi dapat lebih pro aktif lagi dalam
upaya menyelamatkan marwah penegak(an) hukum negeri ini. Maka, menghidupkan
kembali Forum Previlegiatum bisa
menjadi pilihan yang tepat bagi Presiden Jokowi. Sebab, hadirnya Forum Previlegiatum akan dapat menghindarkan
terjadinya conflict of interest, baik
yang terjadi antara individu sebagai penegak hukum maupun antar institusi
penegak hukum itu sendiri. Demikian juga dari perspektif waktu pembuktian
hukumnya, akan dapat berjalan lebih cepat. Sehingga, secara tidak langsung bisa
memberikan keuntungan bagi masyarakat, karena kekosongan jabatan publik dalam
waktu relatif lama yang tentunya berimplikasi negatif pada pelayanan publik dapat
dihindarkan.
Dimuat dalam opini Harian Kompas edisi 16 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar