(Dok. ngaler-ngidul.blogspot.com) |
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan
sebagian permohonan uji materi atas Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang diajukan oleh Supriyadi
Widodo E dan Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana. Dalam amar
putusannya, Ketua MK Arief Hidayat menyatakan bahwa frasa “persetujuan tertulis
dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)” dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 diubah
menjadi “persetujuan tertulis dari presiden”. Itu berarti, terhadap anggota
dewan yang diduga melakukan pelanggaran pidana umum, aparat penegak hukum mesti
meminta izin tertulis kepada presiden sebelum melakukan pemeriksaan. Walhasil,
keputusan MK tersebut menuai polemik di aras publik. Terlebih lagi, baik
Supriyadi Widodo E maupun Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana
yang menjadi pemohon atas uji materi tersebut sejatinya menginginkan keseteraan
di depan hukum. Dengan kata lain, pemohon bermaksud untuk menggugurkan ketentuan
Pasal 245 ayat (1) UU MD3, bukan malah hanya mengubah mekanismenya saja.
Nahasnya lagi, jika dicermati amar
putusan MK terhadap uji materi Pasal 245 ayat (1) UU MD tersebut justru
menimbulkan kerancuan hukum. Pasalnya, terhadap ketentuan Pasal 245 ayat (2)
yang notabene merupakan penegasan ayat (1) pasal tersebut MK tidak melakukan melakukan
perubahan apapun. Pasal 245 ayat (2) berbunyi, “Dalam hal
persetujuan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
tidak diberikan oleh MKD paling
lama 30 hari terhitung sejak
diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan
keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan”. Dengan demikian, sejatinya kewenangan MKD untuk memberikan
izin pemeriksaan kepada aparat penegak hukum masih tetap ada. Pun demikian
dengan ketentuan Pasal 224 ayat (6) dan ayat (7) UU MD3, tidak dilakukan
perubahan oleh MK meskipun pada dasarnya ketentuan ayat (6) dan ayat (7)
tersebut merupakan penegasan dari ketentuan Pasal 224 ayat (5) perihal
permintaan izin pemeriksaan anggota dewan kepada MKD.
Imunitas
DPR
Pada hakikatnya, pemberian hak perlindungan
hukum (imunitas) terhadap anggota dewan memang diperlukan agar kehormatan
sebagai anggota dewan dapat terjaga. Di samping itu, anggota dewan menjadi
tidak mudah “dikriminalisasi” terkait dugaan perkara ecek-ecek. Hanya saja, pemberian
imunitas tersebut sepatutnya tidak diberikan sampai pada tahapan yang
berlebihan. Akan tetapi, pemberian imunitas haruslah diberikan dalam takaran
yang tepat dan tidak melampaui ketentuan konstitusi tertinggi di negara ini,
yakni Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Terkait hal ini, negara sejatinya telah
memberikan imunitas dalam takaran yang tepat dalam UU MD3, utamanya yang
tertuang pada Pasal 224 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). Pada
pokoknya, klausa yang terkandung pada pasal dan ayat tersebut menegaskan bahwa
anggota dewan tidak dapat dituntut di pengadilan karena sikap, tindakan, dan
kegiatannya, baik yang dilakukan dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR. Dengan
begitu, selain kehormatan anggota dewan sudah dapat terjaga, ketentuan
konstitusi tertinggi negara ini sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 27 dan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 pun tidak terlampaui.
Namun demikian, nasi sudah menjadi bubur.
Putusan MK perihal perkara nomor 76/PUU-XI/2014 sama sekali tidak menggugurkan
ketentuan Pasal 245 ayat (1) serta turunannya dan Pasal 224 ayat (5) serta
turunannya. Walhasil, para anggota dewan pun tetap menjadi figur yang sulit
tersentuh oleh aparat penegak hukum sekalipun telah terlibat tindak pidana
umum. Sebab berdasarkan putusan MK tersebut, jika presiden tidak memberikan
izin pemeriksaan kepada aparat penegak hukum, maka anggota dewan bersangkutan
menjadi tidak bisa disentuh oleh aparat penegak hukum manapun. Dalam konteks
ini, idiom hukum tumpul ke atas namun tajam ke bawah menjadi relevan untuk
kembali disuarakan. Menjadi rakyat biasa tidak lantas menjadi layak untuk mudah
“dikriminalisasi”. Pun demikian menjadi anggota dewan, tidak lantas menjadi
layak untuk tidak tersentuh hukum. Itulah sebabnya, revolusi mental tidak saja
perlu diterapkan dalam setiap kebijakan pemerintah, tetapi penting pula untuk
diterapkan dalam setiap proses pembuatan undang-undang.
Konsekuensi
bagi Presiden
Bagi Presiden, putusan MK perihal
perkara nomor 76/PUU-XI/2014 itu tentu mempunyai konsekuensi tersendiri. Yaitu,
tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh presiden menjadi semakin menumpuk.
Padahal, harus diakui bahwa tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh presiden
saat ini sudah sangat banyak. Terlebih lagi, pelbagai persoalan serius yang
tengah dihadapi bangsa saat ini sedang membutuhkan perhatian serius dari
presiden, mulai dari bencana asap, melemahnya perekonomian nasional, hingga pengentasan
kemiskinan yang tak kunjung rampung. Maka, sudah sepatutnya tugas presiden
diringankan, bukan malah sebaliknya menyerahkan segala sesuatunya kepada
presiden.
Di sisi lain, tingginya tingkat
kesibukan presiden saat ini, secara tidak langsung jelas akan mempengaruhi
penegakan hukum yang dilakukan terhadap anggota dewan yang terlibat perkara
pidana. Sebab, besar kemungkinan presiden akan lambat dalam menangani setiap
permintaan izin pemeriksaan anggota dewan imbas dari tingginya tingkat
kesibukan presiden. Pada akhirnya, selain kinerja presiden berpotensi
terganggu, penegakan hukum sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 pun menjadi
tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Itulah sebabnya, penting bagi publik dan stake holder terkait untuk bersinergi
dan mendorong perlunya dilakukan kembali perubahan terhadap putusan MK perihal
perkara nomor 76/PUU-XI/2014 tersebut. Dengan demikian, ke depan penegakan
hukum akan dapat berjalan sebagaimana mestinya, yakni tidak terkesan tumpul ke
atas dan tajam ke bawah. Dan yang tak kalah penting, kinerja presiden tidak
akan terganggu dengan kesibukan administratif mengurus izin pemeriksaan anggota
dewan. Semoga.
Dimuat dalam opini Harian Analisa edisi 30 September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar