![]() |
(dok. satunusaforum.blogspot.com) |
Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)
bersubsidi yang dilakukan oleh Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf kalla (Jokowi-
JK) memang terasa sangat menyakitkan bagi rakyat, utamanya kalangan menengah ke
bawah. Mau tak mau mereka tentu harus mengencangkan “ikat pinggang” agar bisa
memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Mafhum diketahui, pascakenaikan harga BBM
bersubsidi pasti akan diikuti dengan kenaikan harga pelbagai jenis kebutuhan
pokok. Dalam konteks ini, penulis sangat menyesalkan skenario kenaikan BBM
bersubsidi yang diterapkan oleh Pemerintahan Jokowi- JK untuk menaikkan harga
BBM bersubsidi. Padahal, Pemerintahan Jokowi- JK bisa saja menerapkan kenaikan
harga hanya untuk kendaraan pelat hitam (pribadi) dan pelat merah (pemerintah)
saja. Sementara, kendaraan mode trasnportasi publik, baik barang maupun orang
tetap menggunakan harga lama. Secara logika, dengan skenario ini harga-harga
pelbagai jenis kebutuhan pokok tentu akan stabil. Jika mengalami kenaikan
harga, pasti kenaikannya juga tidak signifikan sehingga tidak memberatkan
rakyat miskin.
Di samping itu, realisasi kenaikan harga
BBM bersubsidi justru dilakukan di tengah masih maraknya keberadaan para mafia
minyak dan gas (Migas). Tak heran bila mantan Wakil Menteri Hukum dan Ham
(Menkumham) di era Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Denny Indrayana sampai
menyebut negeri ini sebagai negeri para mafioso karena banyaknya para
pengemplang migas tersebut. Kondisi ini jelas sangat mengusik nurani dan rasa
keadilan bagi rakyat miskin. Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 secara tegas
mengamanatkan sektor-sektor penting (seperti migas) dikuasai oleh negara dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Faktanya, para mafia migas
masih bisa leluasa berkeliaran dan mempermainkan sektor krusial bagi hajad
hidup rakyat ini. Karenanya, untuk mengikis ketidakadilan bagi rakyat miskin
akibat penaikan harga BBM bersubsidi, Pemerintahan Jokowi- JK mesti segera
merealisasikan salah satu janjinya pada masa kampanye lalu, yaitu terkait pemberantasan
mafia migas. Sehingga, tata kelola migas ke depannya benar-benar bisa
dimanfaatkan seutuhnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Tantangan
Jokowi- JK
Memberantas para mafia migas di Negeri
Mafioso ini jelas bukan sebuah tantangan yang ringan bagi Pemerintahan Jokowi-
JK. Pasalnya, persoalan mafia migas yang kini di hadapi oleh Pemerintahan
Jokowi- JK terlanjur telah bermetamorfosis menjadi sebuah persoalan yang
kompleks. Kompleksitas persoalan ini tentu tidak lepas dari menumpuknya warisan-warisan
persoalan di bidang tata kelola migas yang tidak terselesaikan oleh pemerintahan-pemerintahan
terdahulu. Imbasnya, negeri ini nyaris tidak memiliki kuasa atas kandungan minyak
di buminya sendiri (Joko Riyanto, 2014). Ismantoro Dwi Yuwono dalam bukunya
berjudul “Mafia Migas vs Pertamina”, mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan
asing telah menguasai tata kelola migas negara ini dari hulu sampai ke hilir.
Diantaranya yaitu, Chevron, Caltex, Exxon, BP, Shell, dan Unocal. Dalam konteks
ini, ada dua mafia migas yang harus dihadapi oleh Pemerintahan Jokowi- JK. Pertama,
mafia migas “gelap” yaitu orang-orang yang mengeruk keuntungan dari eksploitasi
dan tata kelola migas nasional untuk kepentingan pribadi. Kedua, mafia migas “legal” yaitu invasi dan
eskploitasi migas oleh perusahaan-perusahaan migas negara asing.
Pada praktiknya, mafia migas “gelap”
maupun mafia migas “legal” memiliki keterkaitan hubungan dalam mengemplang keuntungan
hasil eksploitasi sumber daya migas dalam negeri. Contohnya, kasus mantan Kepala
SKK Migas, Rudi Rubiandini yang kini telah di vonis oleh pengadilan dengan
tujuh tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Rubi Rubiandini dinyatakan terbukti menerima
uang dari bos Kernel Oil Singapura, Widodo Ratanachaitong dan PT Kernel Oil
Private Limited (KOPL) Indonesia sebesar USD 900.000 dan 200.000 dolar
Singapura. Kejahatan kerah putih (white
collar crime) yang dilakukan Rubi Rubiandini dan perusahaan minyak asing
dalam kaitannya dengan lelang minyak mentah di SKK Migas tersebut membuktikan bahwa
telah terjadi kerja sama antara mafia migas “gelap” dengan mafia migas “legal”.
Itulah sebabnya, pemerintah perlu membuat regulasi tata kelola migas yang lebih
transparan dan akuntabel agar tata kelola migas nasional tidak mudah disusupi
oleh kepentingan sesat para mafia migas.
Harapan
Baru Publik
Dibentuknya Tim Reformasi Tata Kelola
Migas oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tentu kembali
memunculkan harapan baru bagi publik terkait komitmen dan keseriusan pemerintah
dalam memberantas keberadaan para mafia
migas. Secara garis besar tim ad hock
yang diketuai oleh ekonom Faisal Basri ini mempunyai empat tugas utama yang
harus diselesaikan dalam kurun waktu enam bulan ke depan. Yaitu, melakukan kajian
kebijakan tata kelola migas dari hulu ke hilir, memotong mata rantai birokrasi
yang tidak efisien, mempercepat revisi UU Migas dan meminimalisir pemburu rente
di industri migas dalam negeri.
Hanya saja, agar kinerja Tim Reformasi
Tata Kelola Migas bisa berjalan optimal, maka tim ad hock ini perlu bekerja sama dengan pelbagai institusi lain yang
memiliki spirit yang sama dalam memberangus bagian dari white collar crime ini. Misalnya, bekerja sama dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kejaksaan, dan Kepolisian. Lebih jauh,
apabila Tim Reformasi Tata Kelola Migas ini bisa bekerja sesuai dengan
ekspektasi publik, maka ke depan penting juga untuk mempertimbangkan dan
menempatkan tim ini langsung di bawah presiden. Tidak seperti saat ini, dimana
tim masih bertanggung jawab di bawah Kementerian ESDM. Dengan begitu, tim ini nantinya
akan mempunyai kewenangan lintas sektoral yang tentu saja akan memudahkan upaya
pemberantasan mafioso sektor migas di negara ini. Semoga!.
Dimuat dalam Opini Sinar Harapan edisi 28 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar