Rivalitas antar kubu pasangan
capres- cawapres di Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 kian ketat. Hal ini ditandai
dengan gap elektabilitas kedua
pasangan, yaitu Prabowo Subiantto- Hatta Radjasa dan Joko Widodo (Jokowi)-
Jusuf Kalla yang terus menipis. Berdasarkan rilis survei Lembaga Survei
Indonesia (LSI) misalnya, pada Mei 2014 selisih elektabilitas ke dua kubu
mencapai 13 persen. Sementara, rilis survei bulan Juni pasca pendeklarasian
pasangan capres- cawapres secara resmi, selisih elektabilitas kedua kubu sudah berada
dikisaran 6 persen. Menurut beberapa pengamat politik nasional, angka tersebut
akan terus menipis seiring berlangsungnya debat pasangan capres- cawapres.
Terlepas dari semakin tipisnya gap
elektabilitas ke dua kubu, setidaknya ada dua faktor dominan lain yang juga
ikut mempengaruhi langsung kemenangan di Pilpres kali ini. Pertama, faktor swing voters (massa mengambang). Seiring
berlangsungnya debat capres- cawapres angka swing
voters memang cenderung menurun. Akan tetapi, saat ini angkanya masih cukup
signifikan dan masih berpengaruh pada kemenangan di Pilpres, yakni dikisaran 10
persen. Kedua, praktik kecurangan yang dilakukan secara terstruktur dan
sistematis. Berdasarkan kajian dari tim pemenangan kedua kubu, praktik kecurangan
yang dilakukan secara terstruktur dan sistematis bisa berpotensi menyumbang
suara hingga 10 persen (Kompas, 2-7-2014).
Jika mengacu pada gap elektabilitas
kedua kubu saat ini, potensi kecurangan tersebut jelas bisa mengantarkan
kandidat yang melakukan praktik kecurangan sebagai presiden dan wakil presiden
terpilih. Dari dua faktor dominan di atas, khusus praktik kecurangan patut
menjadi fokus tersendiri bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) untuk melakukan upaya antisipasi. Pasalnya, praktik-praktik
kecurangan lazimnya kerap melibatkan orang dalam (internal) KPU itu sendiri.
Jamak
Terjadi
Praktik kecurangan Pemilu baik di
Pileg maupun Pilpres adalah hal yang sudah jamak terjadi. Kecurangan kerap
dilakukan dalam rangka menjatuhkan lawan atau untuk sekedar mendongkrak suara
pribadi. Sekedar mereview kecurangan
di Pileg lalu, jumlah perkara yang diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK)
mencapai 903 perkara. Dari jumlah tersebut, 225 perkara merupakan gugatan
terhadap penetapan hasil Pemilu DPR RI, 181 perkara merupakan gugatan terhadap
penetapan hasil Pemilu anggota DPRP Provinsi, 461 perkara merupakan gugatan penetapan
hasil Pemilu anggota DPRD Kabupaten/ Kota, 2 perkara merupakan gugatan parpol
terkait ambang batas dan 34 perkara merupakan gugatan perseorangan calon
anggota DPD. Jumlah tersebut belum ditambah dengan praktik-praktik kecurangan
lain yang memang tidak diajukan ke MK. Dengan kata lain, jumlah kecurangan yang
terjadi di Pileg lalu sangat mungkin melebihi jumlah perkara yang diajukan ke
MK. Maka, menjadi fokus utama KPU dan Bawaslu untuk mencegah kembali masifnya
praktik-praktik kecurangan itu. Berkaca dari Pileg, maka setidaknya ada empat
jenis praktik kecurangan yang patut menjadi perhatian bagi KPU dan Bawaslu. Pertama, praktik manipulasi distribusi
formulir C 6, yakni formulir pemberitahuan atau undangan untuk memberikan suara
di tempat pemungutan suara (TPS). Dalam beberapa kasus, formulir C 6 ini
disortir penyebarannya sesuai preferensi pilihan warga yang sudah
diidentifikasi sebelumnya. Warga yang memiliki preferensi pilihan berbeda,
biasanya tidak akan diberikan atau dipersulit dalam mendapatkan formulir C 6
ini. Kedua, praktik jual beli
formulir C 6. Pada akhirnya, formulir C 6 tersebut akan digunakan oleh pemilih
yang bisa dimobilisasi. Di beberapa kasus, pemilih yang dimobilisasi tersebut
juga telah dikondisikan sebelumnya dengan petugas di TPS yang akan dituju. Ketiga, praktik manipulasi distribusi
surat suara. Di Pileg lalu, salah satu penyebab menumpuknya perkara di MK
adalah akibat dari masifnya praktik manipulasi surat suara ini. Keempat, praktik kecurangan pada proses
perhitungan suara di daerah, khususnya di level Panitia Pemungutan Suara (PPS)
dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Biasanya mereka berkolaborasi dengan
pihak yang memesan untuk menaikkan atau menurunkan jumlah suara kandidat
tertentu.
Memperberat
Hukuman
Dari pemetaan praktik kecurangan
Pemilu di atas, keterlibatan internal KPU patut menjadi sorotan utama bagi
publik. Pasalnya, sebagai penyelenggara Pemilu sebagaimana yang diamanatkan
oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, maka netralitas dan
independensi mutlak menjadi pegangan utama. Karenanya, praktik-praktik
kecurangan Pemilu yang melibatkan internal KPU hendaknya tak cukup hanya diberhentikan
keanggotaannya dari KPU dan dipidana ringan saja. Pasal 287 UU Nomor 8 tahun
2012 menyebutkan bahwa anggota KPU, PPK, dan PPS yang karena kelalaiannya
sehingga berubahnya berita acara rekapitulasi hasil perhitungan suara di pidana
kurungan 1 tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta. Dalam konteks kekinian,
relevansi dan esensi hukuman sebagaimana yang dituangkan dalam pasal 287 UU
Nomor 8 Tahun 2012 tersebut jelas sudah tidak tepat lagi. Buktinya, praktik
kecurangan yang melibatkan internal penyelenggara Pemilu dari setiap Pemilu ke
Pemilu selanjutnya selalu meningkat. Maka, memperberat hukuman bagi internal
penyelenggara Pemilu yang terbukti terlibat melakukan praktik kecurangan mutlak
dilakukan. Sebagaimana vonis seumur hidup mantan ketua MK, Akil Mochtar, yang
membuat nyali penyelenggara negara menjadi ciut untuk melakukan korupsi, nalar
seperti itu seyogianya juga diimplementasikan dalam UU Pemilu. Dengan begitu,
orang-orang internal penyelenggara Pemilu yang rakus harta, akan berpikir
ribuan kali sebelum melibatkan diri dalam praktik kecurangan Pemilu. Semoga!
Dimuat dalam Opini Lampost edisi 8 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar