![]() |
(Dok. Galamedia) |
Kampanye hitam (black campaign) tanpa disadari kini telah benar-benar menjelma
menjadi senjata politik pemusnah massal. Senjata pemusnah itu saat ini semakin
sering ditembakkan ke publik dengan tujuan mengalahkan lawan dan mempengaruhi
preferensi pemilih di bilik suara pada 9 Juli mendatang. Dua kandidat calon
presiden (capres) Republik Indonesia ke tujuh yaitu Joko Widodo (Jokowi) dan
Prabowo Subianto, secara kasat mata sama-sama telah menjadi sasaran empuk
senjata politik pemusnah ini. Kampanye hitam yang menyerang Jokowi antara lain
isu tentang kadar ke-Islaman Jokowi, sms penghapusan renumerasi dan tunjangan
bagi guru, serta yang paling radikal adalah foto iklan kematian Jokowi.
Sementara, kampanye hitam yang ditujukan untuk Prawowo yaitu isu permintaan
kewarganegaraan Yordania, isu keterlibatan Prabowo dalam penculikan dan
kerusuhan 1998, serta isu pemukulan pada saat pendaftaran pasangan
capres-cawapres di KPU (20/5). Di negara ini, kampanye hitam memang masih dipandang
sebagai jurus ampuh untuk menjatuhkan lawan politik dalam perebutan kursi
kekuasaan. Fenomena ini menunjukkan bahwa etika berpolitik elitis di negeri ini
masih sangat buruk serta tidak siap untuk menerima kekalahan politik. Oleh
sebab itu, peran KPU, Bawaslu, dan partai politik sangat diperlukan untuk
mencegah masifnya kampanye hitam dalam Pilpres 2014 kali ini. Harus ada
tindakan tegas dari lembaga-lembaga tersebut yang menunjukkan tidak mentolerir
penggunaan kampanye hitam.
Celah
Kerawanan
Menurut Rice dan Paisley, kampanye
adalah keinginan seseorang untuk mempengaruhi opini individu dan publik,
kepercayaan, tingkah laku, minat, serta keinginan audiensi dengan daya tarik
komunikator yang sekaligus komunikatif. Maka, munculnya kampanye hitam pada
agenda Pilpres 2014 kali ini mengindikasikan setidaknya tiga hal. Pertama, ketiadaan komunikator politik
(juru kampanye) yang ulung. Harus diakui, sepeninggal Soekarno negara ini tak
lagi mempunyai orator-orator politik yang ulung. Buktinya, dalam setiap
kesempatan kampanye politik, inti acara bukan mendengarkan orasi para juru
kampanye (jurkam) mengenai visi, misi, dan program kerja yang ditawarkan,
melainkan malah bernyanyi dan bergoyang bersama artis-artis ibu kota yang telah
dipersiapkan untuk memeriahkan acara kampanye. Orasi politik biasanya tak lebih
dari sepuluh menit, setelah itu kampanye tak berbeda dengan konser dangdut atau
konser musik lainnya. Karenanya, harus menjadi perhatian dan evaluasi mendalam
bagi parpol, mengapa publik lebih menyukai bergoyang dan bernyanyi dari pada
mendengar orasi politik para jurkam tersebut. Kedua, minimnya daya tarik figur capres-cawapres yang ditawarkan ke
publik. Daya tarik ini bisa berupa prestasi kinerja, sikap dan watak, serta
kehidupan sosial figur capres-cawapres yang ditawarkan. Demi menutupi
kekurangan daya tarik tersebut tim sukses dan konsultan politik cenderung akan
memilih menggunakan kampanye hitam, sehingga kekurangan-kekurangan dari lawan
politiknya juga akan terungkap ke publik. Dengan demikian, publik akan
menemukan dua pasangan capres-cawapres yang sama-sama mempunyai sisi negatif.
Akhirnya, masyarakat akan dihadapkan pada pilihan untuk memilih pasangan
capres-cawapres yang paling baik dari yang terburuk, bukan yang terbaik dari
yang paling baik. Ketiga, keinginan
mempengaruhi opini publik secara radikal dan membabi buta. Kondisi ini tak
lepas dari watak manusia modern yang selalu dihinggapi rasa tidak pernah puas
diri. Rasulallah SAW dalam H.R Bukhari pernah bersabda, “andaikan anak Adam
(manusia) mempunyai satu lembah emas, pasti dia ingin mempunyai dua lembah. Dan
tiada yang dapat menutup mulutnya (menghentikan kerakusan pada dunia) kecuali
tanah (maut)”. Berkaca dari analisa di atas, kampanye hitam jelas menyalahi
segala bentuk norma yang ada, baik norma hukum, kesusilaan, agama, maupun norma politik itu sendiri. Maka
benar apa yang diungkapkan oleh Victor Kamber dalam bukunya “Poison Politics”,
bahwa kampanye hitam itu seperti racun politik yang tidak sehat bagi rakyat. Racun
tersebut akan membunuh nalar berpikir logis rakyat karena yang disajikan adalah
informasi-informasi bohong dan tidak dapat dipertanggung jawabkan. Sehingga,
pada titik tertentu kampanye hitam akan berkontribusi terhadap meningkatnya sikap
antipolitik dan jumlah angka golongan putih (golput).
Pendidikan
Politik Futuristik
Disadari atau tidak, masifnya kampanye
hitam dewasa ini tak luput dari kelalaian pemerintah dan parpol dalam
memberikan pendidikan (edukasi) politik kepada publik. Toh jika memang ada,
pendidikan politik yang dilakukan adalah pendidikan politik yang miskin konsep
dan lemah secara ideologis. Faktanya, pendidikan politik yang ada tak pernah
menyentuh ranah substansial, tetapi hanya mengajarkan hal-hal mendasar tentang
bagaimana cara menggunakan hak pilihnya saja. Maka, penting bagi pemerintah dan
parpol untuk membuat grand design
pendidikan politik yang futuristik dan menyentuh ranah substansial yang selama
ini terabaikan. Jangan sampai apa yang dikhawatirkan oleh Bertold Brecht,
seorang marxist yang menentang Nazi dengan apa yang disebutnya buta politik, terjadi
pada masyarakat di negara ini. Oleh sebab itu, grand design pendidikan politik
yang dibangun haruslah memenuhi setidaknya 3 (tiga) unsur. Pertama, mengandung unsur wawasan politik (political insight) yang luas. Kedua, adanya unsur kesadaran politik
(political insight). Ketiga, adanya apa yang disebut dengan political forming, yaitu konsep
pendidikan yang menekankan pembentukan insan politik yang menyadari kedudukan
(status) politiknya. Akhirnya, sekali lagi publik dan media massa dituntut
untuk aktif mendorong pemerintah dan parpol untuk benar-benar menjalankan fungsinya
dalam memberikan pendidikan politik yang bernalar sehat, beretika, dan bermoral
kepada publik. Dengan begitu, kerapuhan demokrasi yang berwujud masifnya
kampanye hitam, politik uang dan segala bentuk perilaku politik negatif lainnya
tak akan terjadi lagi di ritual elektoral selanjutnya. Semoga!
Dipublikasikan dalam Opini Galamedia 20 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar