![]() |
(Dok. SH) |
Demokrasi di negara ini benar-benar
sedang mendapatkan ujian pasca berlangsungnya Pemilu Presiden (Pilpres) 2014.
Skandal dualisme orientasi hitung cepat (quick
count) hasil pilpres menjadi ujian pertama yang menyeruak kepermukaan
beberapa jam setelah pemungutan suara selesai. Beberapa lembaga survei merilis quick count hasil pilpres dengan
memberikan keunggulan pada pasangan nomor urut 1, yaitu Prabowo Subianto- Hatta
Radjasa. Sementara, beberapa lembaga survei lainnya merilis quick count hasil pilpres dengan
memberikan keunggulan pada pasangan nomor urut 2, yaitu Joko Widodo- Jusuf
Kalla. Walhasil, publik pun dibuat kebingungan oleh quick count hasil pilpres yang dirilis oleh lembaga-lembaga survei
itu. Ujian selanjutnya yaitu manuver yang dilakukan oleh dewan terhormat negara
ini di Senayan. Tepat sehari sebelum pelaksanaan pencoblosan pilpres 2014, secara
“diam-diam”, mereka mengesahkan Revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
(RUU MD3). Konon, revisi UU tersebut disusun untuk membenahi pasal dan klausa
UU Nomor 27 tahun 2009 yang dianggap sudah tak relevan lagi. Sidang pengesahan
yang dihadiri oleh 476 anggota dewan tersebut, berlangsung cukup alot dan
dramatis. Pasalnya, sejumlah anggota dewan lain, yakni 78 anggota dari PDI P,
19 anggota dari PKB, dan 12 anggota dari Hanura menunjukkan penolakannya dengan
melakukan aksi walk out. Rakyat di
negara ini memang patut prihatin dengan sesat pikir para anggota dewan yang
melakukan pengesahan secara aklamasi tersebut. Bagaimana tidak? UU MD3 yang
telah disahkan tersebut secara nyata hanya berorientasi pada kepentingan mereka
saja, khususnya agar mendapatkan imunitas hukum yang lebih kuat. Kondisi ini
tentu akan menghambat terciptanya penegakkan hukum yang adil dan merata bagi
seluruh rakyat Indonesia. Lebih jauh lagi, aparat penegak hukum, baik Polri
maupun KPK akan mengalami hambatan serius bila menangani persoalan hukum yang
melibatkan anggota dewan, terutama pada perkara korupsi.
Pragmatisme
Wakil Rakyat
Gambaran di atas setidaknya telah
menegaskan betapa nalar wakil rakyat di negara ini selalu pragmatis dan jauh
dari ekspektasi masyarakat. Masyarakat sudah jengah dengan masifnya tindak
pidana korupsi, akan tetapi para wakil rakyat malah mempersempit jalan untuk
memberangus habis kejahatan extra
ordinary crime tersebut. Mereka seolah lupa atau “pura-pura” lupa, bahwa
telah banyak anggota dewan, baik di masa lalu maupun di periode saat ini yang
terjerat tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, revisi dan pengesahan UU MD3
seharusnya mampu mengakomodasi kepentingan para penegak hukum untuk memberantas
habis kejahatan extra ordinary crime
ini, bukan malah sebaliknya. Dalam Pasal 72 ayat (4) menyebutkan bahwa mengenai
pemanggilan paksa dan penyanderaan harus dilakukan atas permintaan DPR. Hal ini
jelas menunjukkan tidak ada komitmen dari DPR sendiri untuk mewujudkan
pemerintahan yang adil dan bersih. Sementara itu, dalam Pasal 245 ayat (1),
menyebutkan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap
anggota DPR yang di duga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan
tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan dan ayat (2) persetujuan tertulis
diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 hari. Klausa pasal
tersebut tentu akan menghambat pemberantasan korupsi, utamanya yang melibatkan anggota
dewan. Dengan birokrasi yang bertele-tele, maka jelas potensi anggota dewan
yang terindikasi terlibat korupsi cukup punya waktu untuk menghilangkan barang
bukti yang ada. Bukan tidak mungkin Mahkamah Kehormatan Dewan baru akan mengeluarkan
izin tertulis tersebut pada hari ke 28 atau ke 29, mengingat batas maksimal
pengeluaran izin adalah 30 hari. Di sisi lain, pengesahan UU MD3 ini juga dapat
dimaknai sebagai kegagalan anggota dewan “terhormat” dalam mewujudkan asas “equality before the law”. Seluruh warga
negara Indonesia, baik masyarakat sipil maupun pejabat pemerintahan berhak
mendapatkan pengakuan, perlindungan, kepastian dan perlakuan hukum yang sama
sebagaimana dimaksud pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Namun, klausa pada
pasal-pasal UU MD3 yang terkait dengan hukum, jelas menyiratkan pemberian
imunitas hukum yang lebih kepada para anggota dewan.
Pelanggengan
Budaya Korup!
Sudah menjadi rahasia umum di
negara ini apabila anggota dewan “terhormat” banyak yang terjerat oleh kasus
korupsi. Hasil penelitian sejumlah lembaga survei bahkan menyimpulkan, DPR
adalah lembaga yang dipersepsikan paling korup. Berdasarkan data yang dirilis
Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Januari 2014, sedikitnya terdapat 88
anggota DPR yang terjerat korupsi. Sementara berdasarkan data Kementerian Dalam
Negeri pada periode yang sama, tercatat 431 anggota DPRD terlibat kasus hukum
dan 83,7 persen diantaranya adalah terlibat pada kasus korupsi. Hal ini tentu tak
lepas dari sesat pikir mereka yang tak pernah mau bekerja secara jujur dan
tulus untuk kepentingan rakyat. Yang utama di nalar mereka secara nyata
hanyalah bagaimana mengembalikan modal pada masa kampanye, dan untuk
selanjutnya memperkaya pundi-pundi kekayaan pribadi. Maka, dengan disahkannya
UU MD3 tersebut, budaya korup agaknya akan terus berlanjut di parlemen baru periode
2014-2019 mendatang. Terlebih lagi, kualifikasi performa parlemen baru
mendatang terindikasi tak akan berbeda jauh dengan kualifikasi performa
parlemen periode saat ini, mengingat incumbent
masih banyak yang kembali terpilih di pemilu legislatif lalu. Imunitas hukum
lebih yang diberikan UU MD3 kepada anggota dewan “terhormat” tentu akan membuat
nyali dan syahwat korupsi mereka semakin besar. Karenanya, mendorong lahirnya
petisi guna mengajukan judicial review
UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi harga mati bagi masyarakat saat ini.
Dengan begitu, keinginan rakyat terciptanya kesetaraan di mata hukum dan
terbebasnya parlemen dari budaya korup bisa terwujud di kemudian hari. Semoga!
Dipublikasikan dalam Opini Sinar Harapan edisi 18 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar