![]() |
(Dok. Koran Jakarta) |
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan hasil rekapitulasi suara nasional Pemilu Presiden
(Pilpres) 2014. Detik-detik menuju dilakukannya pengumuman rekapitulasi suara
nasional pun hingga kini masih terasa sangat menegangkan. Itulah bukti bahwa persaingan
antara pasangan nomor urut 1 yakni Prabowo Subianto- Hatta Radjasa dan pasangan
nomor urut 2 yakni Joko Widodo- Jusuf Kalla pada pilpres kali ini begitu kompetitif.
Di sisi lain, munculnya dualisme orientasi hitung cepat (quick count) hasil pilpres yang berbeda, juga menambahkan
ketegangan tersendiri di masyarakat. Maka benar persepsi banyak orang bahwa
pilpres kali ini adalah pilpres yang paling kompetitif dan dramatis. Persaingan
di segala lini begitu kentara terlihat, selain itu munculnya relawan-relawan
menjadi fenomena tersendiri di pergelaran pilpres kali ini. Boleh jadi, ini
merupakan titik balik dari transisi demokrasi nasional yang pada pergelaran
pilpres sebelumnya sempat meninggi angka pemilih golongan putihnya. Maka,
momentum ini harus tetap dijaga dan dipelihara oleh semua lapisan masyarakat. Dengan
begitu, partisipasi aktif masyarakat dalam pemilu akan terus meningkat dan
transisi demokrasi akan segera mendapatkan hasilnya, yakni terciptanya negara
demokrasi yang hakiki. Hanya saja, potensi ancaman untuk merawat momentum
tersebut selalu ada. Potensi ancaman terdekat tentu adalah munculnya isu-isu
kerusuhan dan amuk massa yang terjadi pada 22 Juli 2014. Penulis sangat yakin,
baik Prabowo Subianto- Hatta Radjasa maupun Joko Widodo- Jusuf Kalla adalah
figur politik dan negarawan sejati. Karenanya, munculnya isu-isu tersebut
barangkali adalah upaya pihak ketiga untuk memperkeruh suasana politik dan
keamanan nasional pasca diumumkannya rekapitulasi suara nasional oleh KPU. Di
sinilah diperlukan teladan dari kandidat pasangan capres- cawapres untuk
menunjukkan kebesaran hati dalam menerima apapun hasil yang diumumkan oleh KPU.
Presiden dan wakil presiden terpilih tentu saja tidak perlu jumawa, karena
keterpilihannya adalah awal dari tugas beratnya untuk mendekatkan seluruh
masyarakat Indonesia pada kesejahteraan di segala lini, baik ekonomi, sosial,
mapun politik. Sementara, capres- cawapres yang tidak terpilih tak perlu merasa
kalah dan mewujudkannya dalam amarah maupun amuk massa. Karena, mereka masih
mempunyai tanggung jawab sebagai figur terdepan untuk mengingatkan presiden dan
wakil presiden terpilih jika tak benar-benar menjalankan amanah dari suara yang
diberikan oleh mayoritas rakyat Indonesia.
Netralitas
KPU
Terlepas dari kebesaran hati dan
keteladanan yang harus ditunjukkan oleh masing-masing capres- cawapres,
netralitas KPU juga menjadi faktor yang sangat penting dalam mewujudkan pilpres
yang adil dan bersih bagi demokrasi nasional. Peran KPU menjadi vital,
mengingat legitimasi hukum keterpilihan presiden dan wakil presiden selanjutnya
hanya ada ditangan KPU. Karenanya, kita perlu mengingatkan internal KPU mulai
dari tingkat daerah hingga pusat agar tidak coba-coba untuk berbuat curang
dengan mendistorsi, memanipulasi ataupun melakukan kejahatan pemilu yang
mencederai suara pemilih dengan mengubah hasil rekapitulasi suara pilpres. KPU
harus benar-benar memahami bahwa segala bentuk keberpihakkan terlebih lagi
sampai mengubah hasil pemilu adalah termasuk tindak pidana yang harus
mendapatkan hukuman setimpal. Dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden Pasal 243 disebutkan, setiap orang yang dengan
sengaja merusak atau menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel,
dipidana penjara minimal 12 bulan, maksimal 36 bulan dan denda maksimal Rp 36
juta. Selanjutnya dalam pasal 244 juga disebutkan, penyelenggara pemilu dan
peserta pemilu yang berbuat curang menyebabkan rusak atau hilangnya berita
acara pemungutan dan perhitungan suara dan/ atau sertifikat hasil perhitungan
suara yang disegel, diancam pidana minimal 12 bulan, maksimal 60 bulan dengan
denda minimal Rp 500 juta dan maksimal Rp 1 miliar. Ancaman hukuman ini harus benar-benar
ditegakkan, utamanya bagi penyelenggara pemilu yang memang sudah seharusnya
berkewajiban menjaga netralitas dan independensinya di dalam proses pemilu, tak
terkecuali untuk pergelaran pilpres 2014 kali ini. Pasalnya, bukan tidak
mungkin apabila dalam proses rekapitulasi suara ada oknum penyelenggara pemilu
yang tergoda menerima rasuah dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Bijaksana
Pada hakikatnya, apapun hasil pilpres
yang ditetapkan KPU harus disikapi dengan bijaksana oleh semua lapisan
masyarakat. Masyarakat seyogianya mendukung siapapun presiden dan wakil
presiden yang terpilih. Bukan tidak mungkin apabila presiden dan wakil presiden
terpilih ternyata bisa benar-benar mendekatkan rakyat pada kesejahteraan hidup.
Lebih dari itu, esensi dari pilpres bukan hanya pada aspek keterpilihan saja,
melainkan juga pemberian kesempatan presiden dan wakil presiden untuk bekerja
menjalankan visi dan misinya dalam roda pemerintahan. Oleh sebab itu,
keterpilihan mutlak harus diikuti dengan pemberian kesempatan bekerja dengan
mendukung rencana ataupun kebijakan yang akan dilakukan oleh presiden dan wakil
presiden terpilih. Dengan begitu, masyarakat baru bisa merasakan hasil dari
proses demokrasi yang selama ini telah menyita waktu, emosi dan pikiran
mayoritas rakyat Indonesia. Pilpres harus mampu membawa hasil positif, utamanya
bagi rakyat negara ini. Karena itu, polemik maupun kontroversi yang bisa
membawa hasil pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk disidangkan seyogianya
dihindari. Secara tersirat, meski kampanye hitam dan berbagai finah merebak
dalam masa kampanye, akan tetapi pada proses pencoblosan hingga rekapitulasi
suara adanya pelanggaran relatif minim. Dengan kata lain, bukan hal yang
mendesak sebenarnya apabila hasil rekapitulasi suara nasional yang ditetapkan oleh
KPU harus dibawdisengketakan ke MK. Hendaknya, MK menjadi jalan terakhir yang
ditempuh apabila kecurangan pilpres masif terjadi dan terdapat indikasi
ketidaknetralan penyeleggara pemilu. Maka, makna dan esensi presiden dan wakil
presiden terpilih menjadi kabur dan layak untuk disengketakan di MK. Hanya saja
untuk saat ini, indikasi ke arah tersebut jelas belum terlihat. Netralitas dan
independensi KPU masih terlihat berdiri kokoh di garda terdepan penyelenggaraan
demokrasi elektoral pilpres 2014. Di sisi lain, kecurangan-kecurangan ditingkat
daerah juga segera mendapatkan respon dari penyelenggara pemilu di daerah dan
aparat penegak hukum. Beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang terindikasi
terdapat kecurangan, langsung dilakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU). Di
Jakarta misalnya, setidaknya ada 13 TPS yang melakukan PSU. Sebelumnya, tim
Prabowo- Hatta melaporkan ada 5.841 TPS yang diduga melakukan pelanggaran
administrasi. Namun, setelah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI Jakarta
melakukan verivikasi, hanya 16 TPS yang terbukti terjadi pelanggaran dan harus
melakukan PSU. Sementara, di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta PSU hanya
terjadi di dua TPS yakni TPS 3 Desa Giripurwo, Kecamatan Girimulyo dan di TPS
11 Desa Bendungan, Kecamatan Wates. PSU tentu menjadi salah satu bukti bahwa
sengketa pelanggaran di TPS sudah diselesaikan dengan baik oleh KPU. Oleh sebab
itu, hasil pilpres semestinya diterima dengan lapang dada dan besar hati oleh
semua kalangan. Kita semua tentu berharap agar hasil pilpres bisa segera
memberikan manfaat kepada seluruh rakyat Indonesia. Karenanya, kita semua patut
berdoa agar hasil pilpres yang ditetapkan KPU pada hari ini bisa diterima oleh
semua kalangan, tanpa harus ada lagi perselisihan di MK. Semoga!
Dipublikasikan dalam Gagasan Koran Jakarta edisi 23 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar