Skenario Perselisihan Elektoral Hasil Pilpres



Pascareformasi, mempersengkatakan hasil rekapitulasi Pemilu Presiden (Pilpres) ke Mahkamah Konstitusi (MK), sudah menjadi hal yang jamak terjadi. Demikian pula pada penyelenggaraan demokrasi elektoral pilpres 2014 ini, pasangan Prabowo Subianto- Hatta Radjasa yang dinyatakan kalah dari pasangan Joko Widodo- Jusuf Kalla oleh KPU RI juga membawa hasil pilpres tersebut untuk disengketakan di MK. Permohonan sengketa hasil pilpres tersebut dilayangkan oleh tim kuasa hukum Prabowo Subianto- Hatta Radjasa 3 hari pasca ketok palu KPU terhadap hasil rekapitulasi (25/7). Kubu Prabowo Subianto- Hatta Radjasa menilai bahwa telah terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) pada penyelenggaraan pilpres. Bahkan menurut salah satu anggota tim hukum pasangan tersebut, Maqdir Ismail menilai bahwa seharusnya kliennya yang memenangkan pilpres ini. Menurutnya, Prabowo Subianto- Hatta Radjasa seharusnya mendapatkan 67.139.153 suara (50,25 persen), sementara Joko Widodo- Jusuf Kalla hanya 66.435.124 suara (49,74 persen).
Ditinjau dari perspektif hukum, langkah mengajukan sengketa hasil pilpres ke MK setidaknya memiliki tiga landasan utama, yaitu Pasal 24C Ayat 1 UUD 1945, Pasal 201 Ayat 1 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Maka, langkah yang diambil Prabowo Subianto- Hatta Radjasa semestinya tidak perlu menjadi polemik di masyarakat karena sudah sesuai dengan amanat konstitusi. Selain itu, masyarakat semestinya juga turut mendorong terciptanya situasi yang kondusif, terutama selama MK melakukan persidangan. Isu-isu penggerakan massa ke MK, hendaknya dihindari. Dengan kondisi yang kondusif maka hal tersebut akan membantu MK mengeluarkan keputusan hasil sengketa pilpres yang terbaik bagi kedua kandidat yang bersaing di pilpres maupun bagi masyarakat di daerah.
Sulit Dibuktikan
Berdasarkan keputusan KPU Nomor 535/ Kpts/ KPU/ Tahun 2014, Pasangan Joko Widodo- Jusuf Kalla dinyatakan memenangkan pilpres 2014 dengan memperoleh 70.997.833 suara (53,14 persen). Sementara, pasangan Prabowo Subianto- Hatta Radjasa hanya memperoleh 62.576.444 suara (46,85 persen). Dengan begitu, ada selisih sebanyak 8.421.389 suara diantara kedua kandidat. Artinya, dalam kalkulasi angka, jika Prabowo Subianto- Hatta Radjasa ingin memenangkan gugatan, mereka harus membuktikan minimal telah terjadi penggembosan 4,21 juta suara milik mereka atau penggelembungan 4,21 juta suara yang menguntungkan kubu Joko Widodo- Jusuf Kalla.
Hanya saja, pernyataan mantan ketua MK yang sekaligus juga merupakan mantan ketua Tim Pemenangan Prabowo Subianto- Hatta Radjasa, Mahfud MD yang menyatakan jangankan memindahkan satu juta suara, memindahkan seratus ribu suara dalam pilkada saja sulit, membuktikan bahwa gugatan Prabowo Subianto- Hatta Radjasa akan mendapatkan hambatan serius. Dengan kata lain, seandainya memang benar terjadi manipulasi suara dalam penyelenggaraan pilpres, maka ketika di MK pembuktian terjadinya manipulasi hingga 4,21 juta suara menjadi hal yang sangat sulit dilakukan. Di sisi lain, secara logika politik, melakukan manipulasi suara hingga sebanyak itu tentu bukan hal yang mudah dilakukan, baik oleh penyelenggara pemilu maupun tim kubu lawan. Seperti diketahui, penyelenggaraan pilpres dilakukan secara berjenjang dan di dalam setiap tahapan rekapitulasinya selalu disaksikan oleh saksi dari kedua kandidat, Bawaslu, Panwaslu, dan bahkan beberapa lembaga independent pun turut mengawal rekapitulasi tersebut. Artinya, celah-celah yang membuka potensi untuk melakukan manipulasi suara sudah sangat diminimalisasikan. Sehingga, jikapun benar terjadi kecurangan, maka kalkulasi suaranya sangat mustahil bila mencapai angka 4,21 juta suara.
Indikasi Kekalahan Gugatan
Tanpa bermaksud untuk mendahului keputusan MK, namun indikasi kekalahan gugatan hasil pilpres 2014 yang diajukan oleh Prabowo Subianto- Hatta Radjasa di MK begitu kentara terlihat. Setidaknya ada, 3 (tiga) indikasi yang memperlihatkan peluang kemenangan gugatan Prabowo Subianto- Hatta Radjasa sangat tipis. Pertama, internal koalisi Merah Putih yang sudah tidak sesolid dulu lagi, berbeda dengan kondisi pada saat sebelum pencoblosan pilpres. Salah satunya terlihat dari perbedaan sikap politik antara capres dan wapresnya mengenai hasil penetapan KPU. Capres koalisi Merah Putih, Prabowo Subianto secara tegas menolak hasil pilpres, sementara wapresnya Hatta Radjasa secara tersirat menerima keputusan KPU. Kedua, materi gugatan yang dibuat terkesan terburu-buru. Terbukti, terdapat beberapa bagian yang mengalami salah ketik sehingga maknanya pun menjadi tidak tepat. Ini menunjukkan bahwa tim hukum Prabowo Subianto- Hatta Radjasa tidak siap sepenuhnya dalam mengajukan gugatan hasil pilres ke MK.
Ketiga, tuduhan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang dilayangkan kubu Prabowo Subianto- Hatta Radjasa lazimnya hanya bisa dilakukan oleh pihak yang mempunyai kekuatan politik di dalam struktur pemerintahan. Dalam konteks ini, koalisi Merah Putih yang mengusung Prabowo Subianto- Hatta Radjasa lebih memiliki peluang untuk melakukan kecurangan TSM dari pada kubu Joko Widodo- Jusuf Kalla. Pasalnya, mayoritas parpol pengusung koalisi tersebut adalah parpol yang duduk di pemerintahan saat ini, sebut saja seperti Demokrat, Golkar, dan PKS. Namun terlepas dari itu semua, menghormati dan melaksanakan apapun keputusan MK nantinya harus menjadi harga mati bagi seluruh rakyat di negeri ini. Dengan begitu, kedewasaan berpolitik bangsa ini akan terus membaik dari waktu ke waktu. Semoga!

Dimuat dalam Opini Pikiran Rakyat edisi 12 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar