![]() |
(Dok. Nasional.Inilah.com) |
Berkaca dari dua kali era pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), subsidi BBM menjadi permasalahan pelik dan
dilematis yang hingga kini belum dapat dituntaskan. Celakanya, visi-misi kedua
pasangan capres- cawapres yang akan bertarung di Pilpres 2014, yakni Prabowo-
Hatta dan Joko Widodo (Jokowi)- Jusuf Kalla, tidak memberikan ketegasan terkait
penyelesaian persoalan klasik tersebut. Dalam artian bahwa tidak ada satu
pasangan pun yang berani mengatakan secara tegas tentang penghapusan subsidi
BBM ini. Padahal, penghapusan subsidi BBM pada akhirnya adalah hal mutlak yang
harus dilakukan negara demi menyelamatkan APBN dan kepentingan masyarakat
secara luas. Tim sukses dari pasangan Prabowo- Hatta, Drajad Wibowo secara
tersirat mengungkapkan bahwa prioritas utama adalah tidak menaikkan harga BBM
bersubsidi. Mekanisme penekanan anggaran subsidi BBM dilakukan dengan pengenaan
instrumen pajak atau cukai tambahan bagi masyarakat mampu yang menggunakan BBM
bersubsidi. Sementara tim sukses Jokowi- Jusuf Kalla, Darmawan Prasojo
mengungkapkan subsidi BBM akan dikurangi secara bertahap dalam jangka waktu
empat tahun ke depan. Mekanisme tersebut akan dibarengi dengan konversi BBM ke
gas dan penyiapan energi alternatif. Jika ditelaah, maka politik subsidi BBM
yang ditawarkan oleh kedua pasangan capres- cawapres tersebut jelas belum
memenuhi aspek antisipatif, komprehensif, dan berkesinambungan. Mekanisme yang
ditawarkan cenderung hanya sebatas pada pertimbangan populis semata. Oleh sebab
itu, harapan terselesaikannya isu klasik subsidi BBM pada pundak presiden baru
mendatang, agaknya masih jauh dari kenyataan.
Tumor
Ganas
Sudah menjadi rahasia umum saat ini bila
subsidi BBM telah menjelma menjadi tumor ganas bagi kelangsungan hidup
berbangsa dan bernegara. Subsidi BBM tidak lagi sebatas membelenggu dan
merongrong APBN, melainkan telah pula merongrong akun lancar (current account), membuat semu laju
tingkat inflasi, memicu penyelundupan BBM, melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak
rasional, dan yang lebih mendasar lagi mengiris-iris rasa keadilan. Maka,
menjadi tantangan utama sebenarnya bagi presiden dan wakil presiden terpilih
mendatang untuk menuntaskan persoalan ini. Realisasi subsidi BBM tahun lalu
hendaknya menjadi patokan dan cambuk pelecut untuk melakukan perubahan dan
perbaikan pada APBN. Lihat saja bagaimana porak porandanya APBN tahun 2013
lalu, dalam rancangan pembangunan jangka menengah (RPJM) 2009-2014, anggaran
subsidi BBM tercantum hanya Rp 51,1 triliun. Adapun realisasinya sebesar Rp 210
triliun, artinya pelonjakkannya lebih dari 4 kali lipat. Sementara pada APBN
2014, dari total belanja subsidi sebesar Rp 333,7 triliun, sebanyak Rp 225,68
triliun atau 80 persennya tersedot untuk anggaran subsidi BBM. Dengan kata
lain, semua pos-pos subsidi harus mengalah untuk kepentingan subsidi BBM. Maka
jelas tidak ada aspek keseimbangan dan keadilan dalam praktik subsidi BBM yang
dijalankan sekarang ini. Pada dasarnya, subsidi BBM memang masih dibutuhkan
oleh negara ini. Hanya saja, terlalu besarnya subsidi yang diberikan berakibat
pada perbedaan harga pasar dengan harga subsidi yang cukup jauh. Eksesnya,
barang subsidi ini menjadi barang “seksi” sehingga banyak orang tertarik untuk
berspekulasi. Pada akhirnya, subsidi yang menjadi bagian dari pengeluaran
negara tidak cukup berhasil untuk menjamin keberhasilan pembangunan itu
sendiri. Tetapi yang terjadi adalah, kesenjangan (gap) si kaya dan si miskin semakin jauh. Fenomena tersebut bukan
tidak bisa dianalisa. Merujuk data dari Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas
Bumi (BPH Migas) tahun 2013, sekitar 94 persen penikmat subsidi BBM adalah
orang menengah dan orang kaya. Sementara, orang miskin yang menikmati subsidi
hanya sekitar 6 persen saja. Maka, wajar bila pada akhirnya si kaya semakin
kaya, dan si miskin menjadi semakin miskin.
Membutuhkan
Subsidi
Harus diakui, saat ini sebagian besar rakyat
Indonesia jelas masih membutuhkan subsidi BBM dari pemerintah. Maka, menjadi
dilematis bagi dua pasangan kandidat presiden dan wakil presiden mendatang
untuk secara tegas menjabarkan visi-misinya terkait subsidi BBM. Mengurangi
atau mencabut seluruh subsidi BBM akan berdampak positif bagi anggaran keuangan
negara, namun pasti tidak populis di mata masyarakat. Sementara jika tidak
mengurangi atau mencabut subsidi BBM, sama halnya mendidik rakyat untuk boros
dan merugikan keuangan negara. Oleh sebab itu, masyarakat patut menyimak secara
seksama debat capres- cawapres terakhir pada 5 Juli 2014 mendatang. Debat
tersebut akan mengangkat tema “Pangan, Energi, dan Lingkungan”. Artinya, bakal
terjadi perdebatan menarik antara kedua kadidat presiden- wakil presiden
mengenai visi- misi mereka dalam mengelola energi, khususnya yang terkait
dengan pemberian subsidi BBM. Dalam konteks ini, masyarakat patut mencermati
pendekatan dan strategi yang ditawarkan oleh kedua kandidat presiden- wakil
presiden dalam menuntaskan persoalan BBM bersubsidi. Apakah kemudian pendekatan
yang ditawarkan hanya imajiner, sulit diimplementasikan, tetapi populis di mata
rakyat?. Atau, pendekatan yang memang bisa diimplementasikan, tetapi tidak
populis di mata masyarakat. Mengutip ucapan Hillary Rodham Clinton, “adalah
sebuah tantangan bagaimana berpolitik sebagai suatu seni merealisasikan apa
yang tak mungkin menjadi mungkin”. Maka, menjadi tantangan bagi Prabowo
Subianto- Hatta Rajasa dan Joko Widodo- Jusuf Kalla untuk memaparkan visi- misi
penanganan subsidi BBM secara gamblang
di debat terakhir capres- cawapres 5 Juli mendatang. Dengan begitu, debat
capres- cawapres benar-benar bisa menjadi momentum bagi rakyat untuk memantapkan
pilihannya pada pasangan capres- cawapres yang tepat. Wallahu a’lam bish-shawab!
Dipublikasikan dalam Opini Serambi Indonesia edisi 18 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar