Kekhawatiran Pilpres Dua Putaran


(Dok. Investor.co.id)
Mendekati pelaksanaan pemilu presiden (Pilpres) 2014, ada persoalan penting yang tiba-tiba menyedot perhatian banyak pihak yaitu terkait multitafsir pemenang Pilpres satu putaran. Pangkal persoalannya ialah isi dari Pasal 6A ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Pasal 6A ayat 1 UUD 1945 disebutkan “Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia di lantik menjadi presiden dan wakil presiden”. Ayat tersebut dijabarkan dalam Pasal 159 ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2008, “Jika tidak ada pasangan capres- cawapres yang memenuhi syarat kemenangan yang ada dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945, pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung”. Secara sederhana, tafsir atas Pasal tersebut tentu bisa dipahami bahwa meski hanya ada dua pasangan capres- cawapres di Pilpres 2014, akan tetapi tidak menjamin Pilpres hanya akan berlangsung satu putaran. Pilpres putaran kedua bisa saja terjadi, jika pasangan capres- cawapres yang memperoleh lebih dari 50 persen suara tidak diikuti dengan sebaran minimal 20 persen suara di lebih dari separuh jumlah provinsi di Indonesia. Benarkah demikian?
Sejarah Konstitusi
Dalam alur sejarah perubahan konstitusi, ketika membahas materi sistem pemilu presiden dan wakil presiden, ada dua hal pokok yang patut dicermati. Pertama, ketika dilakukan amandemen, rakyat sedang dalam euforia kebebasan mendirikan partai politik (parpol). Tak heran, bila saat itu parpol-parpol baru banyak yang bermunculan. Imbasnya, klausul perubahan dalam amandemen hanya mengantisipasi bila Pilpres berlangsung lebih dari satu putaran. Kedua, sebaran penduduk yang tidak merata, sehingga memungkinkan pasangan capres- cawapres yang ada hanya berkonsentrasi menggaet suara di Pulau Jawa saja. Bagi kelangsungan demokrasi, hal tersebut tentu sangat berbahaya. Presiden dan wakil presiden hasil dari Pilpres adalah milik seluruh rakyat Indonesia, karena itu logika sederhananya semua capres- cawapres juga harus mempunyai sebaran suara merata di seluruh Indonesia. Walhasil, dalam amandemen itu kemudian dicantumkan syarat sebaran minimal 20 persen suara dilebih dari separuh provinsi di Indonesia. Apabila perkembangan pemikiran saat amandemen 1945 pada waktu itu digunakan sebagai landasan untuk membaca Pilpres 2014 yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon, titik pembahasan menjadi sudah tidak lagi relevan. Pasalnya, pada proses selanjutnya mulai muncul pembatasan-pembatasan jumlah suara dalam pemilu, seperti ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dan ambang batas mengajukan presiden (presidential threshold). Artinya, sebaran minimal 20 persen suara dilebih dari separuh provinsi Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 159 ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2008 harus dimaknai sebagai jembatan menuju Pilpres putaran kedua (second round) bila pemilu diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon. Mengingat Pilpres 2014 hanya diikuti oleh dua pasangan, yaitu Prabowo Subianto- Hatta Rajasa dan Joko Widodo (Jokowi)- Jusuf Kalla, maka penentuan pemenang mestinya tunduk pada frasa “pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden”, sebagaimana termaktub dalam Pasal 6A ayat (4) UUD 1945.
Tak Perlu Khawatir
Meski hingga kini masih terjadi perbedaan pendapat mengenai kemungkinan terjadinya Pilpres putaran kedua (second round), masyarakat seyogianya tidak perlu khawatir terlalu berlebihan. Berkaca dari pengalaman Pilpres 2009 yang diikuti oleh tiga pasangan yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)- Boediono, Jusuf Kalla- Wiranto, dan Megawati- Prabowo, pasangan SBY- Boediono mampu memenangkan Pilpres tersebut secara meyakinkan. SBY- Boediono tidak hanya unggul mutlak dengan meraih persentase suara sekitar 60 persen, akan tetapi juga mampu melewati sebaran suara minimal 20 persen di lebih dari setengah jumlah provinsi di seluruh Indonesia. Artinya, kecil kemungkinan syarat minimal 20 persen sebaran suara tidak terpenuhi oleh pemenang Pilpres 2014, terlebih lagi karena hanya diikuti oleh dua pasangan calon. Lebih dari itu, masing-masing pasangan saat ini memang adalah figur yang merupakan top of mind di masyarakat. Prabowo Subianto telah mengiklankan diri hampir lima tahun terakhir melalui berbagai media, sehingga sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat sebakai bakal calon presiden. Begitu juga dengan Jokowi, beberapa tahun terakhir ini sudah dikenal luas di seantero negeri, karena pencapaian prestasi kerja dan karirnya yang luar biasa. Pun demikian dengan masing-masing pasangan cawapresnya, baik Hatta Rajasa maupun Jusuf Kalla adalah orang-orang yang saat ini memiliki integritas sekaligus elektabilitas yang mampu menunjang kemenangan bagi capresnya. Hatta Rajasa dengan perjalanan waktu yang dilewatinya dibeberapa pos kementerian membuat kemampuan dan popularitasnya diakui oleh masyarakat. Sementara, Jusuf Kalla telah dikenal luas sebelumnya sebagai figur yang gesit dan responsif dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kenegaraan. Faktor-faktor itulah yang nantinya akan membawa salah satu dari pasangan capres- cawapres dalam Pilpres 2014 ini mampu memenuhi syarat dari konstitusi saat ini. Sehingga, elite politik, pengusaha, dan masyarakat sipil tidak perlu khawatir lagi akan terciptanya kepastian politik yang lebih lama. Namun yang tidak kalah penting adalah multitafsir ini harus segera diakhiri dan diberikan kekuatan hukum tetap demi legalitas serta keberlangsungan pemilu-pemilu di masa yang akan datang. Semoga!

Dipublikasikan dalam Opini Riau Pos edisi 16 Juni 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar