Opsi Menaikkan Harga BBM


(dok. industri.bisnis.com)

Pascapelantikan Kabinet Kerja, rencana Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi- JK) untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi terus menguat. Rencananya, kenaikan harga BBM bersubsidi itu akan dilakukan sebelum 1 Januari 2015 (Kompas, 30 Oktober 2014). Dari kacamata politik fiskal, upaya menaikkan harga BBM bersubsidi jelas akan memberikan keuntungan bagi ruang fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pemerintah akan mempunyai alokasi dana yang cukup untuk menerapkan program-program kerakyatan yang digagas pada masa kampanye lalu. Mengacu pada skenario kenaikan harga pemerintah sebesar Rp 3.000,00 (46,1 persen) dan apabila kenaikan dilakukan sebelum 1 Januari 2015, maka  pemerintah akan dapat melakukan upaya penghematan anggaran hingga Rp 159 triliun. Bandingkan dengan alokasi anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tahun 2014 yang hanya dikisaran Rp 80, 611 triliun. Apabila penghematan anggaran tahun 2015 yang mencapai Rp 159 triliun itu bisa dialihkan untuk Kemendikbud, maka dapat dipastikan pengembangan infrastruktur pendidikan menjadi lebih cepat dan akan banyak pelajar yang bisa melanjutkan pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi. Maka seperti yang pernah diungkapkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, lebih baik alokasi dana subsidi itu dipergunakan untuk pengembangan infrastruktur dan program padat karya dari pada dihabiskan dijalanan.
Mempunyai Efek Domino
BBM bisa dikatakan masih menjadi “jantung” ekonomi nasional. Maka, gagasan Pemerintahan Jokowi- JK untuk menaikkan harga BBM hampir pasti akan mempunyai efek domino bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan rakyat, utamanya untuk golongan tidak mampu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014, jumlah penduduk miskin di negara ini masih sangat banyak, yaitu tak kurang dari 28,28 juta penduduk. Sementara di tahun yang sama, Bank Dunia juga merilis tak kurang 50 juta (20 persen) penduduk Indonesia masuk dalam kategori penduduk hampir miskin (near poor). Itulah sebabnya, rencana Pemerintahan Jokowi- JK untuk menaikkan harga BBM itu perlu dibarengi dengan upaya-upaya mitigasi yang tepat. Jika tidak, bukan mustahil bila kenaikan harga BBM itu berpotensi menyebabkan 50 juta penduduk kategori hampir miskin terjerumus ke dalam jurang kemiskinan. Hal ini sangat logis mengingat deviasi penduduk kategori hampir miskin dan kategori miskin sangat tipis, yaitu sekitar Rp 50.000,00.
Di sisi lain, menarik dicermati bahwa upaya menaikkan harga BBM yang dilakukan pemerintah selama ini nyatanya tak berdampak signifikan bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidup rakyat miskin. Malah sebaliknya, menimbulkan kesengsaraan dan semakin mendekatkan rakyat pada jurang kemiskinan yang lebih dalam. Realitas yang terjadi selama ini ketika harga BBM telah naik, maka harga-harga kebutuhan pokok juga akan melonjak tinggi. Dampaknya, pemenuhan biaya hidup semakin sulit dan tekanan gejolak batin yang dirasakan rakyat miskin semakin besar. Itulah sebabnya, gagasan Pemerintahan Jokowi- JK untuk menaikkan harga BBM bersubsidi patut dipikirkan secara matang, baik dari perspektif skenario kenaikan harga yang akan dipakai maupun dari perspektif upaya mitigasinya. Dengan begitu, langkah pemerintah untuk menaikkan harga BBM kali ini tidak hanya memberikan keuntungkan bagi ruang fiskal APBN saja. Akan tetapi, juga turut memberikan dampak positif bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidup rakyat Indonesia secara menyeluruh.
Opsi Kenaikan Harga
Merujuk simulasi kenaikan harga yang dilakukan Bank Indonesia, setiap kelipatan kenaikan harga BBM sebesar Rp 1.000,00 maka akan menciptakan kenaikan inflasi sebesar1,2 persen. Artinya, jika gagasan Pemerintahan Jokowi- JK untuk menaikkan harga BBM sebesar Rp 3.000,00 direalisasikan secara mentah, hal itu akan mendongkrak nilai inflasi hingga mencapai 3,6 persen. Imbasnya, kenaikan harga-harga kebutuhan pokok menjadi tidak bisa dikontrol. Kondisi ini jelas semakin menyengsarakan rakyat miskin yang bahkan tak pernah sekalipun menikmati subsidi BBM. Mafhum diketahui, banyak rakyat miskin yang tak memiliki kendaraan bermotor, sehingga tidak pernah merasakan manfaat subsidi BBM secara langsung. Itulah sebabnya, Pemerintahan Jokowi- JK mesti berhati-hati dalam merealisasikan rencana menaikkan harga BBM tersebut. Setidaknya, ada dua opsi strategi kenaikan harga yang bisa dilakukan oleh Pemerintahan Jokowi-JK agar tidak menimbulkan gejolak yang semakin memberatkan hidup rakyat miskin.
Pertama, strategi kenaikan bertahap. Ambil skenario kenaikan harga BBM sebesar Rp 3.000,00 per liter sebagaimana yang pernah diungkapkan mantan Penasihat Senior Tim Transisi Jokowi- JK, Luhut Binsar Pandjaitan. Maka, Pemerintahan Jokowi- JK bisa merealisasikannya dengan dua atau tiga tahap. Bisa dilakukan dengan menaikkan harga sebesar Rp 1.000, 00 sebanyak tiga tahap maupun menaikkan harga sebesar Rp 1.500,00 sebanyak dua tahap. Dengan begitu, lonjakan nilai inflasi dampak dari kenaikan harga BBM masih bisa dikontrol. Kedua, strategi kenaikan “tertutup”. Strategi ini mengacu pada prinsip pemberian subsidi secara selektif dan dibatasi, serta dilakukan dengan pendampingan (Kasali, 2012). Dalam konteks ini, kenaikan harga BBM diterapkan dari lingkaran terluar yang tidak bersinggungan langsung dengan kesejahteraan dan hajad hidup  rakyat miskin, misalnya mobil atau motor berpelat hitam. Kemudian, menuju ke lingkaran yang bersingunggan langsung dengan hajad hidup rakyat miskin, misalnya kendaraan transportasi umum, baik untuk barang maupun penumpang (orang). Dengan begitu, selain lonjakan nilai inflasi akibat kenaikan harga BBM bisa ditekan, distribusi BBM bersubsidi juga akan semakin tepat sasaran. Apabila dipetakan secara serius, kedua strategi kenaikan harga BBM ini tentu akan dapat mendorong terciptanya politik energi yang sehat tanpa harus mengorbankan kesejahteraan dan hajad hidup rakyat miskin. Sudah saatnya Pemerintahan Jokowi- JK berani mengambil kebijakan yang tidak populis demi mengakhiri sengkarut nasional BBM bersubsidi. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar