Meninjau Skenario Kenaikan Harga BBM Bersubsidi


(dok. detik.co)

Pada hakikatnya, tidak banyak yang diinginkan oleh rakyat dari para penguasa negeri ini. Yaitu, agar harga-harga kebutuhan pokok, utamanya kebutuhan akan makanan sehari-hari dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat. Kondisi inilah yang sekiranya kurang dicermati oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi (17/11). Presiden Jokowi hanya memitigasi dampak kenaikan harga BBM melalui kartu-kartu saktinya, yaitu Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KSS). Padahal, jika ditelaah lebih dalam kartu-kartu sakti tersebut merupakan bentuk mitigasi lanjutan, bukan mitigasi utama bagi rakyat miskin. Misalnya KIS, kartu ini tentu sangat membantu meringankan beban pembiayaan masyarakat miskin bila ada yang terkena gangguan kesehatan (sakit). Namun perlu dipahami bahwa tidak setiap hari penduduk miskin akan sakit, tetapi dapat dipastikan bahwa setiap hari mereka membutuhkan makanan untuk tetap bertahan hidup. Terkait hal inilah sebenarnya diperlukan kejelian dari pemerintah dalam mengelola dampak kenaikan harga BBM bersubsidi.
Menelisik dari akar masalah itulah, pemerintah mutlak meninjau kembali skenario kenaikan BBM bersubsidi yang digunakan. Dalam konteks ini, harga-harga kebutuhan pokok ikut melonjak karena alat transportasi yang digunakan menggunakan harga BBM bersubsidi yang sama dengan yang dikenakan pada kendaraan pelat hitam (pribadi) maupun kendaraan pelat merah (pemerintah). Padahal bila pemerintah lebih cermat dengan skenario kenaikan harga BBM yang digunakan, bisa saja kenaikan harga BBM diterima dengan baik oleh masyarakat tanpa memunculkan pelbagai demonstrasi dan penolakan . Misalnya, bila kenaikan harga BBM hanya diperuntukan bagi kendaraan pelat hitam dan pelat merah saja. Sementara mode transportasi publik, baik barang maupun orang tidak dikenakan kenaikan harga. Maka, harga-harga kebutuhan pokok tidak akan meningkat signifikan. Sehingga, tetap terjangkau oleh daya beli masyarakat menengah ke bawah.
Dua Langkah Penting
Mahfum diketahui, munculnya pelbagai penolakan dan demonstrasi kenaikan harga BBM bersubsidi selama ini lebih disebabkan karena imbasnya terhadap kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Sementara di sisi lain, pendapatan yang diperoleh masyarakat nilainya cenderung tetap. Sehingga, kondisi itu berpotensi menambah dan memunculkan penduduk-penduduk miskin baru. Celakanya, persoalan ini kemudian tak jarang malah dipolitisasi oleh para politikus busuk yang ingin merongrong jalannya roda pemerintahan. Walhasil, kesejahteraan dan kelangsungan hidup rakyat miskinlah yang selalu menjadi korban. Itulah sebabnya, untuk memitigasi bertambahnya jumlah penduduk miskin pascakenaikan harga BBM bersubsidi, paling tidak ada dua hal yang penting untuk dilakukan Pemerintahan Jokowi- JK saat ini.
Pertama, merevisi skenario kenaikan harga BBM bersubsidi. Kenaikan harga cukup diberlakukan bagi kendaraan pelat hitam dan pelat merah saja. Namun untuk mode transportasi publik, baik barang maupun orang tetap menggunakan harga lama. Dengan begitu, substansi utama imbas kenaikan harga BBM yaitu melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok dapat diatasi. Kedua, memperbarui validitas data penduduk miskin. Data ini diperlukan untuk menyokong program kartu-kartu sakti Jokowi agar tepat sasaran. Apabila upaya-upaya tersebut dipetakan secara serius, maka pokok-pokok substansi dampak dari kenaikan harga BBM bersubsidi bisa diredam. Harga kebutuhan pokok akan tetap terjangkau, sementara ketahanan masyarakat di sektor utama lainnya, seperti kesehatan dan pendidikan tetap ter-cover melalui tiga kartu sakti jokowi. Akhirnya, Pemerintahan Jokowi- JK harus peka terhadap kondisi sosial- ekonomi masyarakat saat ini. Kenaikan harga BBM bersubsidi tidak boleh menambah penderitaan rakyat miskin, tetapi harus mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. Bila terjadi sebaliknya, maka kenaikan harga BBM bersubsidi yang baru dilakukan patut dievaluasi. Wallahu a’lam!

Dimuat dalam opini Tribun Jogja edisi 25 November 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar