![]() |
(dok. berdikarionline.com) |
Hampir sebulan wacana mengenai kenaikan
harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menjadi isu dan bahan diskusi menarik
di pelbagai lini media massa, baik media massa cetak maupun elektronik. Bahkan
dalam dua minggu terakhir, isu kenaikan harga BBM bersubsidi ini sampai memicu
munculnya pelbagai aksi demonstrasi di beberapa daerah. Di Jakarta, sejumlah
mahasiswa dan pelbagai elemen masyarakat menggelar aksi demonstrasi menentang
kenaikan harga BBM bersubsidi di depan kampus Universitas Kristen Indonesia
(UKI). Hal serupa juga terjadi di Makassar, gabungan mahasiswa dan pelbagai
elemen masyarakat menggelar aksi demonstrasi menolak kenaikan harga BBM
bersubsidi di depan kampus Universitas Indonesia Timur (UIT). Dampak lain yang
tak kalah meresahkan dari isu kenaikan harga BBM bersubsidi ini tentu saja
adalah kelangkaan stok BBM. Kondisi ini terekam dari adanya antrian-antrian
panjang kendaraan bermotor di beberapa stasiun pengisian bahan bakar umum
(SPBU).
Kondisi serupa akan terus berulang dari
masa ke masa apabila tidak ada political
will dan political action
dari
pemerintahan saat ini untuk mengkaji politik anggaran yang digunakan dalam
mengelola kebijakan BBM bersubsidi selama ini. Bahkan pada saat tertentu di
tahap paling kritis, yaitu ketika kuota konsumsi BBM bersubsidi meningkat
pesat, harga minyak dunia melambung tinggi, dan nilai tukar rupiah atas dollar
AS melemah signifikan, maka kekacauan sendi-sendi kehidupan dalam negeri hanya tinggal
menunggu waktunya saja. Mafhum diketahui bahwa BBM masih menjadi “jantung
perekonomian” nasional saat ini. Hampir semua sektor perekonomian dalam negeri
masih mengandalkan BBM sebagai roda penggerak utama, khususnya untuk sektor
transportasi dan sektor industri. Dalam konteks inilah, Presiden Joko Widodo
(Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) harus segera mengambil peranan untuk
merevitalisasi filosofi politik anggaran dalam mengelola BBM bersubsidi.Harus diakui, politik anggaran BBM
bersubsidi yang diterapkan di era pemerintahan-pemerintahan terdahulu memang
membuat masyarakat selalu berada pada zona nyaman. Celakanya di sisi lain,
politik anggaran yang diterapkan ternyata sangat berdampak pada lambatnya
pembangunan dan pemerataan infrastruktur nasional. Merujuk rilis The Global Competitiveness Report 2013- 2014,
terlihat secara jelas kondisi infrastruktur nasional yang masih sangat
memprihatinkan. Kondisi infrastruktur Indonesia berada pada peringkat 61 dari
148 negara yang disurvei. Di kawasan ASEAN, kondisi infrastruktur nasional
tersebut jauh tertinggal dari Singapura (peringkat 2) dan Malaysia (peringkat
29). Sejalan dengan kondisi infrastruktur yang sangat memprihatinkan, maka
dapat dipastikan laju peningkatan kesejahteraan rakyat juga akan berjalan
lambat. Faktanya, rilis Bank Dunia di tahun 2014 ini menunjukkan 50 juta
penduduk (20 persen) masih tergolong penduduk rentan miskin (near poor), lalu diperkuat rilis Badan
Pusat Statistik (BPS) pada bulan Maret 2014 yang mengkonfirmasi sebanyak 28,28
juta penduduk masuk kategori penduduk miskin. Maka sangat jelas, tingkat
efektivitas subsidi BBM yang dalam lima tahun terakhir nilainya tak kurang dari
Rp 714 triliun tidak berbanding lurus dengan manfaat yang dirasakan oleh
masyarakat secara luas.
Pergeseran
Filosofi
Rendahnya percepatan peningkatan dan
pemerataan kesejahteraan rakyat secara umum menunjukkan bahwa politik anggaran
BBM bersubsidi yang digunakan selama ini tidak tepat. Bahkan, bisa dikatakan cenderung
menguntungkan golongan menengah ke atas saja. Merujuk hasil studi International Monetary Fund (IMF) tahun
2010 menunjukkan bahwa 80 persen subsidi dinikmati oleh penduduk berpendapatan
menengah ke atas. Baru sisanya, 20 persen dinikmati penduduk berpendapatan
menengah ke bawah. Mengkonfirmasi realitas tersebut, maka yang terjadi adalah
ketimpangan pendapatan antara penduduk kaya dan penduduk miskin menjadi semakin
tajam. Hal ini tercermin dari tingginya rasio gini di masyarakat saat ini yang
mencapai 0,413 melonjak dari 0,320 di tahun 2004. Dampaknya bisa dengan mudah
ditebak, yaitu penduduk kaya semakin cepat menjadi kaya raya. Sementara,
penduduk miskin tetap saja mengalami kesulitan yang berarti untuk bisa mentas
dari jurang kemiskinan. Itulah sebabnya, perlu pergeseran filosofi atas politik
anggaran BBM bersubsidi yang telah digunakan selama ini.
Dalam konteks ini, rencana Presiden
Jokowi untuk menaikkan harga BBM bersubsidi sesungguhnya patut diapresiasi. Sebab,
pertimbangannya jelas bukan semata-mata untuk menyehatkan postur Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saja. Hal ini telah dipertegas oleh
pernyataan Wapres Jusuf Kalla bahwa pemerintah berencana mengalihkan subsidi
BBM ke sektor-sektor produktif bagi masyarakat. Kondisi ini jelas berbeda 180
derajat dengan kenaikan harga BBM bersubsidi yang pernah terjadi di era
pemerintahan-pemerintahan terdahulu. Semuanya hanya berorientasi pada postur
APBN saja. Di mana pada saat harga minyak melambung tinggi atau kurs nilai
rupiah atas dollar AS melemah signifikan, maka hampir pasti BBM bersubsidi
mengalami kenaikan harga. Pergeseran filosofi dalam mengelola politik anggaran
BBM bersubsidi inilah yang saat ini sebenarnya sedang ditawarkan oleh
Pemerintahan Jokowi- JK kepada masyarakat. Subsidi BBM tidak dikelola untuk habis
“dibakar” di jalanan, tetapi disalurkan tepat sasaran (targeted) untuk mendorong laju percepatan peningkatan kesejahteraan
rakyat, utamanya bagi rakyat miskin.
Tidak mudah memang untuk mengubah
filosofi yang terlanjur melekat dalam pengelolaan anggaran BBM bersubsidi sejak
negara ini berdiri hingga sekarang. Terlebih lagi, filosofi politik anggaran
yang diterapkan secara nyata mampu menghipnotis rakyat sehingga meluputkan
pandangan bahwa pada hakikatnya BBM adalah barang mewah, terbatas, dan tidak
dapat diperbaharukan. Akibatnya konsumsi BBM sulit dikontrol dan cenderung meningkat
dari tahun ke tahun. Efek domino dari kondisi itu tentu saja memaksa pemerintah
untuk kembali meningkatkan alokasi subsidi BBM. Kondisi ini akan terus terjadi
dan berputar-putar saja hingga ada pembenahan dalam pengelolaan politik
anggaran BBM bersubsidi. Itulah sebabnya, rencana Presiden Jokowi untuk
mengalihkan subsidi BBM ke sektor-sektor produktif patut diberikan kesempatan
seluas-luasnya. Karenanya masyarakat tak hanya perlu untuk berifikir secara
cerdas, tetapi juga perlu berfikir secara adil dan bijaksana. Jangan sampai
program saja belum dijalankan apalagi masih digodok skenarionya, tetapi sudah
dihujat dan pesimistis terhadap hasilnya.
Tantangan
Jokowi- JK
Kesalahan pengelolaan politik anggaran
BBM bersubsidi yang diterapkan selama ini, harus diakui memang memberikan
tantangan tersendiri bagi Pemerintahan Jokowi- JK untuk merealisasikan
gagasannya mengalihkan subsidi BBM ke sektor-sektor produktif. Oleh sebab itu,
skenario revitalisasi politik anggaran BBM bersubsidi yang ditawarkan kepada
masyarakat mesti efektif dan mudah dipahami. Dalam konteks ini, skenario yang
ditawarkan untuk melindungi kesejahteraan rakyat miskin melalui peluncuran
“kartu sakti”, yaitu Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP),
dan Kartu Keluarga Sejahtera (KSS) bisa dikatakan sebagai langkah yang tepat. Secara
logika, tentu lebih realistis melindungi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat
miskin melalui program yang langsung menyentuh ke pokok substansi persoalan
dari pada dilepas melalui kebijakan yang bersifat terbuka (massal). Hanya saja
sebagai catatan, agar kartu-kartu sakti tersebut nantinya tidak bernasib sama seperti
pelbagai program pendahulunya (BLSM, PKH, Raskin), maka perlu diberikan
dukungan tabulasi data yang akurat dan mumpuni. Sehingga, implementasi
kartu-kartu tersebut ke depannya bisa terarah, fokus, dan tepat sasaran.
Namun ada satu hal yang tak kalah
penting akan tetapi hingga kini belum dijelaskan secara lugas oleh Pemerintahan
Jokowi- JK terkait pengalihan subsidi BBM ke sektor-sektor produktif. Yaitu skenario
pengalihan subsidi BBM untuk pembangunan dan pemerataan infrastruktur nasional.
Skema rancangan infrastruktur seperti apa yang akan dibangun dan dibutuhkan mendesak
oleh negara ini sama sekali belum dijelaskan kepada publik. Padahal, skema itu
sangat penting untuk memberikan kepercayaan kepada publik terkait komitmen
Pemerintahan Jokowi- JK dalam membangun infrastruktur nasional. Presiden Jokowi
memang beberapa kali mengungkapkan keinginannya untuk membangun tol laut, tetapi
faktanya program itu hingga kini juga belum dikaji secara masif. Rakyat jelas
tidak ingin lagi terkena tipu daya dibalik keinginan pemerintah mengalihkan
subsidi BBM ke sektor-sektor produktif. Namun faktanya, hingga kini kemiskinan
masih tetap menggurita dan keberadaan infrastruktur publik tetap minim. Pemerintahan
Jokowi- JK mesti peka dalam membaca kondisi itu, jangan sampai malah menipu (lagi)
rakyat. Semoga!.
Dimuat dalam opini Serambi Indonesia edisi 19 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar