![]() |
(Dok. investor.co.id) |
Tentara tidak boleh menjadi alat suatu
golongan atau orang siapapun juga!. Demikianlah amanat Panglima Besar Jenderal
Sudirman yang disampaikan pada saat konferensi Tentara Keamanan Rakyat (TKR),
12 November 1945 di Yogyakarta. Ketegasan Panglima Besar Jenderal Sudirman
membawa prajurit negara (militer) menjauhi ranah politik tentu bukan tanpa
sebab. Keterlibatan militer dalam politik hanya akan merusak kompetisi politik,
mendistorsi kebijakan politik, serta menciptakan keresahan sosial dalam rangka bargaining politik keamanan (Ikrar Nusa
Bhakti, 1999). Argumen tersebut bukan tanpa bukti nyata. Pada era Orde Baru,
militer mempunyai pengalaman yang cukup pahit imbas dari “dijerumuskan” oleh
penguasa ke dalam pusaran kekuasaan. Kala itu, militer dikendalikan dan
dikuasai sedemikian rupa, sehingga turut aktif di dalam lembaga eksekutif,
legislatif, bahkan yudikatif. Selain itu, militer juga kerap menjadi kuda
tunggang pemerintah sipil untuk meloloskan kebijakan-kebijakannya. Akibatnya,
terjadi apa yang disebut oleh Samuel Huntington dengan political decay (pembusukan politik), berwujud instabilisasi
politik, inefisiensi perekonomian, inkonsistensi kebijakan, dan inkonsistensi
penegakkan hukum. Bagi internal militer sendiri, baik ditubuh TNI (dulu ABRI)
maupun Polri berakibat pada lemahnya internal institusi, rendahnya apresiasi
masyarakat, dan juga impian menuju prajurit-prajurit TNI/ Polri profesional
menjadi semakin jauh dari harapan.
Harga
mati
Petuah-petuah yang telah diamanatkan
oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman, menjadi harga mati bagi TNI/ Polri untuk
selalu ditegakkan bila tak ingin terjerumus oleh bujuk rayu elite politik di
negara ini. Hanya saja, dalam pagelaran elektoral Pemilu Presiden (Pilpres)
2014 kali ini, tantangan TNI/ Polri untuk menjaga netralitas institusinya
benar-benar sangat diuji. Terlebih lagi, dua kandidat calon presiden (capres)
yakni Prabowo Subianto dan Joko Widodo (Jokowi) sama-sama telah memamerkan
dukungan kalangan purnawiran TNI/ Polri kepada publik beberapa waktu lalu.
Tindakan yang dilakukan kedua capres tersebut jelas adalah bentuk tantangan di
depan mata bagi netralitas TNI/ Polri. Bukan tidak mungkin tentunya para
purnawirawan tersebut bisa menggaet petinggi-petinggi TNI/ Polri yang masih
aktif untuk memberikan dukungan secara diam-diam. Buktinya, di beberapa daerah
telah ditemukan anggota bintara pembina desa (Babinsa) yang mengarahkan
masyarakat untuk memilih capres tertentu. Pada hakikatnya, sikap netral TNI/
Polri dalam setiap pagelaran elektoral telah dijamin oleh konstitusi. Netralitas
TNI ditegaskan melalui UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Pada pasal 2 huruf
(d) UU tersebut menyebutkan bahwa jati diri TNI adalah tentara profesional,
yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak
berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta
mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi
sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional
yang telah diratifikasi. Sementara, netralitas Polri ditegaskan melalui UU
Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri. Pasal 28 ayat 1 UU tersebut menyebutkan,
Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada
kegiatan politik praktis. Maka, mau tak mau secara konstitusi menjadi keharusan
bagi TNI/ Polri untuk tetap mengedepankan netralitas sikap politiknya di dalam
setiap pagelaran elektoral.
Celah
Kerawanan
Meski netralitas TNI/ Polri telah dinyatakan
secara tegas dalam konstitusi, namun harus diakui bahwa konstitusi tetap tidak
bisa menjamin bahwa TNI/ Polri akan 100% bersikap netral dalam Pilpres. Inkonsistensi
penegakkan hukum terlebih lagi jika melibatkan orang-orang “berpangkat” masih
menjadi kendala utama di negara ini. Selain itu, terdapat pula beberapa celah
kerawanan yang secara nyata bisa dimanfaatkan oleh tim sukses masing-masing
capres untuk “menjerumuskan” TNI/ Polri agar mau bermain dibelakang layar. Pertama, pengalaman “terjerumus” politik
praktis yang relatif lama pada era Orde Baru, yakni sekitar 30 tahun.
Pengalaman historiografi yang cukup panjang tersebut jelas akan membawa
pengaruh sikap politik pada tubuh TNI/ Polri. Kedua, banyaknya purnawirawan TNI/ Polri yang secara
terang-terangan menyatakan dukungan politiknya kepada dua kandidat capres.
Bukan mustahil, jika para purnawirawan tersebut nantinya memanfaatkan
hubungannya dengan mantan bawahannya yang masih aktif untuk memperoleh
keuntungan tertentu demi kemenangan capres yang didukung. Ketiga, masih minimnya alokasi anggaran bagi TNI/ Polri, khususnya
alokasi anggaran alutsista dan anggaran kesejahteraan personel. Tak heran jika
kemudian isu peningkatan alokasi anggaran TNI/ Polri selalu menjadi jualan yang
menarik bagi para capres untuk menggoda netralitas TNI/ Polri, tak terkecuali
di Pilpres 2014 kali ini. Karena itu, TNI/ Polri harus mampu
meletakkan netralitas sikap politik mereka sejalan dengan profesionalismenya.
Dengan kata lain, netralitas sikap politik mutlak harus terintegrasi langsung
dengan profesionalisme TNI/ Polri. Dalam pandangan Samuel
P. Huntington, diartikan bahwa profesionalitas militer tidak hanya dalam
konteks mahir dalam menggunakan senjata dan dilatih dalam tugasnya saja, tetapi
juga harus dapat menggunakan kemampuan analisis, pandangan luas, imajinasi, dan
pertimbangan. Sekali lagi, pagelaran Pilpres 2014 mendatang menjadi ajang
pembuktian bagi TNI/ Polri untuk bisa membuktikan netralitasnya dalam ranah
politik. Bila kedua institusi militer tersebut berhasil mempertahankan
netralitasnya dengan tidak bermain “di belakang layar”, maka dapat dipastikan
apresiasi dan kepercayaan publik pada kedua institusi tersebut akan meningkat.
Wallahu a’alam!
Dipublikasikan dalam Opini Republika edisi 9 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar