Menyikapi Hasil Elektoral Pilpres



(Dok. Article)
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan hasil rekapitulasi suara nasional Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 pada 22 Juli lalu. Hasilnya seperti yang telah diperkirakan oleh beberapa lembaga survei kredibel, pasangan nomor urut 2 yakni Joko Widodo- Jusuf Kalla terpilih menjadi presiden dan wakil presiden periode 2014-2019. Pasangan nomor urut 2 ini mengungguli perolehan suara pasangan nomor urut 1, yakni Prabowo Subianto- Hatta Radjasa dengan selisih 8.421.389 suara. Joko Widodo- Jusuf Kalla memperoleh 70.997.833 (53, 15 %) suara, sementara Prabowo Subianto- Hatta Radjasa memperoleh 62.576.444 (46,85 %) suara.
Rakyat Indonesia patut memberikan apresiasi kepada KPU yang telah menuntaskan kinerjanya dengan baik. Selain itu, seluruh rakyat Indonesia juga patut memberikan apresiasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah intensif mendorong jajarannya untuk turut mengamankan situasi menjelang dan pasca pengumuman rekapitulasi oleh KPU. Namun demikian, keterpilihan Joko Widodo- Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden baru periode 2014-2019 mendatang tak boleh dianggap sebagai akhir dari proses politik demokrasi negara ini. Melainkan harus dianggap sebagai proses awal untuk menuju kesejahteraan rakyat yang lebih baik. Oleh sebab itu, keterpilihan Joko Widodo- Jusuf Kalla pada pilpres kali ini mutlak harus diikuti dengan memberikan kesempatan bekerja kepada mereka untuk menjalankan visi-misinya dengan leluasa.
Di sisi lain, menarik mencermati sikap politik Prabowo Subianto- Hatta Radjasa yang memutuskan untuk menolak dan menarik diri dari proses pilpres 2014 hanya beberapa jam menjelang ketok palu pengumuman rekapitulasi oleh KPU. Kubu Prabowo Subianto- Hatta Radjasa berpendapat bahwa kecurangan masif terjadi dan banyak laporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang tidak digubris oleh KPU. Publik tentu tidak dapat mempersalahkan hak konstitusional yang telah diambil oleh pasangan tersebut. Hanya saja, harus dimengerti juga bahwa proses penyelenggaraan pilpres tersebut adalah berjenjang, mulai dari paling bawah (KPPS) hingga paling atas (KPU Pusat). Keseluruhan proses dilakukan secara terbuka melalui rapat pleno yang juga disaksikan oleh saksi-saksi kedua kubu. Maka, jika ditemukan kecurangan atau pelanggaran dalam pelaksanaannya, seharusnya sudah terselesaikan ditiap-tiap tingkatan. Sehingga, tak ada alasan lagi sebenarnya bagi Prabowo Subianto- Hatta Radjasa untuk menarik diri dan menolak proses pilpres 2014 beberapa jam menjelang ketok palu rekapitulasi oleh KPU.
Tak Logis
Terlepas dari sikap politik Prabowo Subianto- Hatta Radjasa tersebut, mengharapkan proses pilpres yang seratus persen bersih dan demokratis di “era transisi” demokrasi jelas adalah sesuatu yang tak logis. Terlebih lagi, kondisi perekonomian masyarakat masih belum bisa dikatakan baik, maka berbagai jenis praktik kecurangan misalnya politik uang (money politics), jual-beli suara (vote buying), dan mobilisasi suara akan mudah terjadi. Oleh sebab itu, keniscayaan adanya pelanggaran dan kecurangan yang terjadi pada proses elektoral negara ini harus disikapi dengan bijaksana. Dalam artian bahwa semua pihak, utamanya kandidat dan tim sukses yang bersaing harus bahu membahu untuk meminimalisasikan dan selanjutnya menghilangkan berbagai jenis potensi dan praktik kecurangan pemilu. Mereka harus saling mengawasi dan mengingatkan untuk bersama-sama tidak melakukan tindakan yang mencederai proses demokrasi nasional.
Dalam konteks ini, mengakui hasil rekapitulasi yang telah ditetapkan oleh KPU adalah harga mati. Tidak ada kalimat tawar untuk hal tersebut, terlebih lagi malah mengkambing hitamkan KPU atas hasil yang sudah ditetapkan. KPU tentunya telah bekerja sesuai dengan rule of the game yang telah disepakati bersama dalam undang-undang. Di sisi lain, ancaman pidana bagi KPU jika terbukti melakukan pelanggaran juga tidak main-main. UU Nomor 42 Tahun 2008 Pasal 244 menyebutkan, penyelenggara pemilu dan peserta pemilu yang berbuat curang menyebabkan rusak atau hilangnya berita acara pemungutan dan perhitungan suara dan/ atau sertifikat hasil perhitungan suara yang disegel, diancam pidana minimal 12 bulan, maksimal 60 bulan dengan denda minimal Rp 500 juta dan maksimal Rp 1 miliar. Maka, menjadi tugas elit di negara ini untuk mengajarkan menghargai dan menghormati atas kerja keras yang telah dilakukan KPU. Bukan malah sebaliknya, menciptakan opini publik bahwa kecurangan pilpres masif terjadi yang sama artinya tak menghargai dan menghormati kinerja KPU sama sekali.
Bukan Superman
“KPU bukan Superman”, itulah kalimat yang pernah diucapkan oleh Ketua KPU Solo, Agus Sulistyo. Karenanya, sudah sepatutnya kita membantu KPU untuk meningkatkan kinerjanya dengan memberikan saran dan masukan yang membangun. Dengan kata lain, jangan hanya memberikan kritikan saja kepada KPU, melainkan juga harus diikuti dengan solusi yang ditawarkan. Pilpres 2014 yang sebelumnya telah dipersepsikan banyak orang sebagai pilpres paling kompetitif, harus mampu menjadi titik balik transisi demokrasi nasional. Oleh sebab itu, keteladanan dan kebesaran hati elit negeri untuk membantu meningkatkan kualitas KPU mutlak diperlukan.
Seluruh rakyat Indonesia tentu berharap agar rangkaian demokrasi elektoral, mulai dari pemilukada hingga pilpres kali ini bisa segera mendekatkan kesejahteraan kepada rakyat. Karenanya, polemik tentang netralitas maupun kualitas KPU tak perlu dipersoalkan berlarut-larut. Dalam artian bahwa, ketidakpuasan atas kinerja KPU bisa diajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tidak perlu membuat opini berkepanjangan yang terus memojokkan KPU. Sekali lagi, KPU bukan Superman. Oleh sebab itu, mari bersama-sama membantu KPU untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kinerjanya dengan memberikan kritik yang membangun. Dengan begitu, legitimasi dan manfaat demokrasi elektoral yang diselenggarakan KPU akan lebih cepat dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Wallahu a’lam!

Dipublikasikan dalam Opini Harian Analisa edisi 25 Juli 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar