![]() |
(Doc. SuaraIslam.com) |
Fenomena jilboobs, belakangan ini telah menjadi salah
satu wacana hangat yang menyita perhatian publik. Fenomena ini berkembang pesat
seiring munculnya akun-akun di media sosial yang mengafiliasi konten-konten
muslimah yang mengenakan jilboobs.
Bahkan, salah satu akun di media sosial Facebook
bernama Jilboobs Community mampu
menyedot perhatian publik hingga mendapatkan empat ribu lebih likes
dihalamannya. Secara etimologi, istilah jilboobs
ini terdiri dari dua kata, yaitu jilbab yang notabene merupakan busana islami
kaum muslimah, dan boobs yang
bermakna dada wanita atau orang dungu. Istilah ini disematkan untuk menyindir
perempuan muslimah yang mengenakan hijab, akan tetapi sangat ketat sehingga
setiap bagian lekuk tubuhnya terlihat jelas, utamanya pada bagian dada.
Fenomena faktual seperti ini sebenarnya
bukan yang pertama kali terjadi, sebelumnya fenomena serupa juga pernah terjadi
pada tahun 2012 lalu. Hanya saja, istilah yang digunakan waktu itu berbeda,
yaitu jilbab gaul dan jilbab funky.
Namun, terlepas dari apapun istilah yang disematkan, fenomena-fenomena tersebut
jelas menyalahi ketentuan berbusana muslim yang syar’i sebagaimana yang telah
diriwayatkan dalam Al qur’an. Imam besar Masjid Istiqlal, Musthofa Ali Yakub
mengemukakan setidaknya ada empat batasan busana muslimah yang syar’i, yaitu
tempat tutup aurat, tidak transparan, tidak tembus pandang, dan tidak menyerupai
lawan jenis (Ribut Lupiyanto, 2014). Dalam konteks ini, secara kasat mata
busana jilboobs memang telah bisa
menutupi seluruh bagian tubuh muslimah yang mengenakannya. Akan tetapi, secara
harfiah esensi jilboobs sangatlah
jauh dari nilai-nilai berbusana muslim yang syar’i. Oleh sebab itu, menjadi
penting bagi seluruh umat Islam, utamanya kaum muslimah untuk saling menegur
dan mengingatkan terkait busana yang dikenakannya. Jika busana yang dikenakan
dirasa sudah pantas dan sesuai kaidah Islam, maka terus pergunakanlah. Namun
sebaliknya, jika ada teguran yang mengungkapkan bahwa busana yang dikenakan
kurang pantas bagi muslimah, maka segera introspeksi diri dan tinggalkan busana
tersebut.
Simbol
Tingkat Kesalehan
Munculnya fenomena jilboobs jelas menjadi dilema bagi muslimah di tanah air. Jilbab
yang notabene sudah menjadi simbol tingkat kesalehan perempuan muslim di Tanag
Air, menjadi buruk nilainya di mata masyarakat. Mereka yang mengenakan jilboobs dianggap hanya ingin terlihat
modis saja, akan tetapi tidak menghiraukan syariat berhijab yang syar’i. Lebih
parah lagi, tak jarang masyarakat yang menilai bahwa muslimah yang mengenakan jilboobs hanya ingin menarik perhatian
lawan jenisnya saja. Alhasil, jilbab tak lagi mempunyai nilai-nilai Islami yang
bisa dibanggakan. Pada akhirnya, muslimah yang berhijab dan telah sesuai dengan
syariat Islam, di mata sebagian masyarakat sama buruknya dengan muslimah yang
mengenakan jilboobs. Menurut pemilik
label busana muslim La Perle Collection,
Ira Mutiara, fenomena jilboobs ini
muncul karena kurangnya pemahaman sebagian hijabers (pengguna hijab) soal cara
berhijab yang syar’i. Dengan kata lain, para muslimah ingin mengenakan hijab,
akan tetapi di sisi lain mereka tetap ingin tampil modis. Niat hati yang masih
setengah-setengah inilah yang kemudian menciptakan peluang lahirnya berbagai
macam dan jenis busana hijab kreatif namun belum tentu syar’i menurut kaidah
Islam.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Bani
dalam bukunya “Jilbab Al- mar’ah Al-
muslimah Fil Kitabi Was Sunnati”, memberikan gambaran tentang
batasan-batasan berhijab yang syar’i menurut kaidah Islam. Yaitu, menutupi seluruh
badan selain yagn dikecualikan, tidak berfungsi sebagai perhiasan, kainnya
harus tebal, harus longgar sehingga tidak menggambarkan bentuk tubuhnya, tidak
diberi wewangian (parfum), tidak menyerupai laki-laki, tidak menyerupai wanita
kafir, dan bukan libas syuhrah (pakaian popularitas). Maka, jilboobs meskipun dari sisi luar nampak
seperti berhijab, akan tetapi secara harfiah sesungguhnya esensi jilboobs sangat jauh dari nilai-nilai
Islami dalam berhijab. Di dalam Q.S Al- Azhab ayat 59, secara eksplisit
disebutkan bahwa salah satu fungsi berhijab bagi muslimah adalah untuk
melindungi diri mereka dari kemungkinan adanya gangguan. Akan tetapi, jika
mengenakan jilboobs malah sebaliknya.
Perempuan-perempuan yang senang mengenakan jilboobs
justru berpotensi untuk mendapatkan gangguan dari pihak luar, misalnya
pelecehan seksual dalam bentuk pandangan mata atau bahkan yang paling ekstrim
sampai ancaman pemerkosaan.
Namun demikian, dalam konteks ini menghakimi
maupun mem-bulying jilboobers (pengguna
jilboobs) secara sepihak jelas adalah
bukan jalan terbaik untuk keluar dari fenomena jilboobs ini. Sebab, tindakan seperti itu hanya akan membuat mereka
merasa semakin dilecehkan saja. Bukan tidak mungkin, akibat penghakiman sepihak
dan bullying yang terus menerus
dilakukan malah akan membuat mereka melepaskan dan meninggalkan hijabnya.
Itulah sebabnya, untuk mengatasi fenomena jilboobs
ini harus dilakukan dari dua sisi, yaitu dari sisi internal dan eksternal. Dari
sisi internal, mutlak dilakukan pemahaman terhadap cara-cara berbusana muslim
yang syar’i sebagaimana dijelaskan dalam surat al- Ahzab ayat 59 dan an- Nur
ayat 31. Sementara dari sisi eksternal, Kementerian Agama (Kemenag) dan Majelis
Ulama Indonesia (MUI) perlu berelaborasi dengan para desainer dan pelaku
industri busana muslimah guna mendorong lahirnya busana muslim kreatif, akan
tetapi tetap syar’i sesuai dengan kaidah Islam.
Otokritik
yang Membangun
Jika dicermati, mayoritas jilboobers itu adalah mereka yang masih
tergolong remaja. Santrock (2003: 26), mengungkapkan bahwa batasan usia remaja
adalah antara usia 12 tahun hingga usia 21 tahun. Mengacu hal tersebut, maka peran
pendidikan di sekolah menjadi sangat penting untuk membentengi logika remaja
dari hal-hal negatif, termasuk membentengi diri dari propaganda (hasutan) untuk
mengenakan jilboobs. Itulah sebabnya,
implementasi kurikulum 2013 (K-13) yang baru saja diterapkan secara nasional
pada tahun ajaran baru kali ini, paling tidak harus mampu menjadi garda
terdepan sebagai upaya antisipasi menekan propaganda penggunaan jilboobs. Secara teknis, proses
pembelajaran yang dilakukan selain fokus pada pemahaman materi, juga harus
menekankan pentingnya pemahaman moral dan etika kepada siswa, utamannya dalam
hal berbusana.
Namun demikian, upaya yang dilakukan
untuk menekan propaganda penggunaan jiboobs
di sekolah, hendaknya mengedepankan cara-cara persuasif. Misalnya, dengan
memberikan teguran secara halus, selalu memberikan contoh berbusana muslim yang
syar’i dan selalu menekankan nilai-nilai agama dalam berbusana. Upaya persuatif
akan mempunyai dampak jangka panjang dari pada menggunakan upaya-upaya yang
bersifat paksaan maupun otoriter (Burgon & Huffer, 2002). Selain itu, upaya
persuasif akan bisa mendorong lahirnya kesadaran dari dalam diri sendiri. Kesadaran
dari dalam diri sendiri inilah yang sebenarnya penting diperlukan untuk
membendung propaganda jilboobs, baik dari media sosial maupun propaganda dari
teman-teman sebaya dilingkungannya.
Akhirnya, munculnya fenomena jilboobs ini harus disikapi sebagai
otokritik yang membangun bagi umat Islam, utamanya kaum muslimah. Otokritik
tersebut harus dijadikan landasan untuk tidak kembali terjerumus ke dalam
lubang yang sama. Evaluasi dan introspeksi diri mutlak dilakukan, sehingga
keteguhan hati dalam berhijab menjadi benar-benar murni hanya karena Allah SWT
semata. Dengan begitu, tuntutan bagi kaum muslimah untuk bisa mejalankan ajaran
agamanya secara total dan sempurna (kaffah)
bisa dilakukan. Wallahu a’lam!.
Dimuat dalam Opini Serambi Indonesia edisi 30 Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar