![]() |
(dok. nasional.news.viva.co.id) |
Gagasan Bambang Arianto (BA) bertajuk
“Kartu (Tri)Sakti” di kolom Aspirasi Banjarmasin Post (11/11) menarik untuk
didiskusikan lebih lanjut. Menurutnya, langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan
tiga kartu sakti, yaitu Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar
(KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KSS) merupakan wujud politik pembuktian
Jokowi kepada masyarakat terkait realisasi janji-janji kampanye masa lalu. Jika
demikian yang terjadi, maka program kartu sakti Jokowi tersebut patut
diapresiasi dan layak diberikan dukungan secara menyeluruh. Celakanya, aroma
politik pencitraan masih saja sangat kental dibalik dikeluarkannya kartu-kartu
sakti tersebut. Ada dua hal yang menarik untuk disoroti terkait kemungkinan
politik pencitraan dibalik dikeluarkannya kartu-kartu sakti Jokowi ini.
Pertama,
sebagaimana yang dijelaskan BA bahwa
sumber pendanaan kartu-kartu sakti Jokowi berasal dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) 2015 yang dibuat oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), maka
bisa dikatakan program itu juga merupakan bagian kelanjutan dari program yang
pernah dibuat oleh SBY. Hanya, nomenklaturnya berbeda dan cakupan wilayahnya
diperluas. Faktanya, hampir disetiap kesempatan Jokowi maupun
menteri-menterinya tidak pernah mengakui bahwa kartu sakti merupakan bagian
dari kelanjutan program SBY. Padahal, di APBN 2015 yang dibuat SBY jelas tidak
tertuliskan nomenklatur maupun mata anggaran untuk KIS, KIP, dan KKS. Kedua, skenario diluncurkannya kartu
sakti mirip dengan skenario dikeluarkannya Bantuan Langsung Sementara
Masyarakat (BLSM) di era SBY, yaitu menjelang akan dinaikannya harga bahan
bakan minyak (BBM) bersubsidi. Sehingga, bila harga BBM bersubsidi naik, Jokowi
mempunyai tameng kuat untuk melindungi popularitasnya agar tidak jatuh signifikan.
Tantangan
Jokowi
Presiden Jokowi mutlak merancang
skenario implementasi tiga kartu sakti tersebut secara komprehensif dan efektif
untuk menjawab berbagai asumsi negatif yang mewarnai diluncurkannya kartu-kartu
sakti itu. Tak ada salahnya untuk bekerja cepat, sesuai tagline-nya selama ini, yaitu kerja, kerja, dan kerja. Hanya saja,
jangan sampai melupakan kualitas out put
dari program kerja yang diluncurkan. Singkat kata, jangan sampai tiga kartu
sakti tersebut nasibnya akan sama seperti BLSM maupun BLT (Bantuan Langsung
Tunai) di era SBY yang pada akhirnya secara gamblang terbuka bahwa
program-program tersebut hanya pencitraan politik semata. Faktanya, selain
banyak yang tidak tepat sasaran, BLSM maupun BLT tidak mampu mendorong
terciptanya peningkatan kesejahteraan rakyat secara signifikan. Walhasil,
jumlah penduduk miskin tak pernah berkurang signifikan, padahal konon baik BLSM
maupun BLT ditujukan untuk menyelamatkan dan mendorong peningkatan
kesejahteraan rakyat miskin.
Dalam konteks ini, agar out put program tiga kartu sakti yang
diluncurkan Jokowi bisa berjalan optimal dan turut mendorong percepatan
peningkatan kesejateraan rakyat miskin, maka penting diperhatikan tiga hal. Pertama, data penerima kartu harus
jelas, yakni berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) atau data faktual di
lapangan. Maka, menjadi penting bagi pemerintah pusat untuk berkoordinasi
secara intensif dengan pemerintah daerah agar data yang digunakan terjaga
validitasnya. Kedua, proses
distribusi kartu harus transparan. Jangan sampai muncul penerima ganda di
lapangan. Jika hal itu terjadi, maka Jokowi harus bersiap-siap mendapatkan
rapor merah dari legislatif dan masyarakat terkait kebijakan “pertamanya”
pascadilakntik menjadi presiden. Ketiga,
adanya jaminan atas kualitas pelayanan bagi masyarakat yang memegang
kartu-kartu sakti tersebut. Itulah sebabnya, pemerintah mesti meningkatkan
mekanisme pelayanan dan pengawasan agar tidak terjadi tindakan diskriminatif
lembaga pelayan publik kepada rakyat miskin. Misalnya, jangan sampai ditemukan
pemegang KIS ditolak oleh puskesmas tertentu dengan berbagai macam alasan.
Optimalisasi
Kartu (Tri)Sakti
Pada hakikatnya, jika dikelola melalui
skenario pengelolaan yang mumpuni, Kartu (Tri)Sakti Jokowi ini mempunyai
potensi besar untuk mengentaskan rakyat miskin dari belenggu kemiskinan. Sebab,
regulasi dan arah program mampu menyentuh langsung ke pokok substansi persoalan
kemiskinan negeri ini. Prinsip pendistribusiannya mengacu pada Pasal 33 UUD
1945, yaitu hanya disalurkan untuk penduduk miskin saja. Sehingga, rakyat
miskin benar-benar dapat merasakan manfaatnya. Melalui skenario tersebut, maka
percepatan dan peningkatan kesejahteraan penduduk miskin jelas lebih terjamin. Berbeda
dengan kebijakan subsidi BBM, regulasi dan arah program tidak jelas, bahkan
cenderung menyimpang dari amanat Pasal 33 UUD 1945. Sebab, baik orang kaya
raya, kaya, sederhana, miskin, hingga miskin sekali semuanya bisa mendapatkan
subsidi BBM dengan leluasa. Padahal, subsidi semestinya diutamakan dan
diperuntukkan hanya untuk penduduk miskin saja.
Celakanya lagi, alokasi subsidi BBM
secara nyata lebih banyak dinikmati oleh orang-orang yang mampu. Hasil studi International Monetary Fund (IMF) tahun
2010 menunjukkan bahwa 80 persen subsidi dinikmati oleh penduduk berpendapatan
menengah ke atas. Baru sisanya, 20 persen dinikmati penduduk berpendapatan
menengah ke bawah. Maka tak heran bila penduduk kaya semakin kaya raya, dan
penduduk miskin tidak pernah bisa mentas dari jurang kemiskinan. Sebab,
penduduk miskin negeri ini yang jumlahnya sangat banyak, nyatanya hanya
mendapatkan manfaat sangat kecil dari kebijakan subsidi BBM yang diterapkan. Nalar
berfikir seperti itulah yang harus dirubah dan direvolusi mental melalui
implementasi Kartu (Tri)Sakti Jokowi. Rakyat miskin harus dan mutlak merasakan
manfaat subsidi lebih besar dari pada orang-orang kaya. Dengan begitu, harapan
berjuta-juta penduduk miskin negeri ini untuk bisa hidup sejahtera bukan hal
yang mustahil terwujud. Semoga!.
Dimuat dalam opini Banjarmasin Post edisi 12 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar